AKHLAQ
TASAWUF
PERTEMUAN
1
PEMBAHASAN
AKHLAK
A.
Pengertian Akhlak
Secara
etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq dalam bentuk jama’,
sedang mufradnya adalah khuluq Selanjutnya makna akhlak secara etimologis akan
dikupas lebih mendalam. Kata khuluq (bentuk mufrad dari akhlaq) ini berasal
dari fi’il madhi khalaqa yang dapat mempunyai bermacam-macam arti tergantung
pada mashdar yang digunakan. Ada beberapa kata Arab seakar dengan kata
al-khuluq ini dengan perbedaan makna. Namun karena ada kesamaan akar kata, maka
berbagai makna tersebut tetap saling berhubungan. Diantaranya adalah kata
al-khalq artinya ciptaan. Dalam bahasa Arab kata al-khalq artinya menciptakan
sesuatu tanpa didahului oleh sebuah contoh, atau dengan
kata lain menciptakan sesuatu dari tiada. Dan yang bisa melakukan hal ini
hanyalah Allah, sehingga hanya Allahlah yang berhak berpredikat Al-Khaliq atau
Al-Khallaq sebagaimana yang diungkapkan dalam QS. al-Hasyr ayat 24
هُوَ
اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ
dan
QS. Yasin ayat 81 yang berbunyi
بَلَى
وَهُوَ الْخَلَّاقُ الْعَلِيمُ
Disamping
itu masih ada arti lain yaitu, pertama mereka-reka/merekayasa, misalnya dalam
QS. Al-Mu’minun ayat 14
فَتَبَارَكَ
اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
diartikan
Maha Suci Allah Sang Perekayasa yang terbaik, dan QS. Al-Ankabut ayat 17 yang
berbunyi
وَتَخْلُقُونَ
إِفْكاً
diartikan
...dan kalian mereka-reka bohong. Kedua, al-din (agama) misalnya QS. Al-Nisa
ayat 119
فَلَيُغَيِّرُنَّ
خَلْقَ اللّهِ
diartikan
...maka mereka benar-benar merubah ciptaan (agama) Allah (yang berupa
hukum-hukum-Nya). Ketiga, rusak, misalnya artinya memakaikan pakaian rusak.
Arti lain yang hampir mirip dengan al-khiluq adalah kata khalaqa yang artinya
bergaul dengan orang lain, seperti ungkapan syair: Artinya: Pergaulilah orang
lain dengan pergaulan yang baik, Jangan seperti anjing yang menggonggongi
orang). Kemudian kata al-khalaq yang diartikan bagian yang baik, seperti
disebutkan dalam al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 102
مَا
لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ
diartikan:
Dan tidak ada baginya bagian yang baik di akhirat (nanti).
Arti-arti
di atas mempunyai konsekuensi logis dalam penggunaan kata al-khuluq yang
diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Sehingga dapat
dijelaskan al-khuluq (budi pekerti) mengandung segi-segi penyesuaian dengan
makna di atas. Oleh karena itu, al-khuluq itu sifatnya diciptakan oleh si
pelaku itu sendiri, dan ini bisa bernilai baik (ahsan) dan buruk (qabih)
tergantung pada sifat perbuatan itu. Kemudian al-khuluq itu bisa dianggap baik
dengan syarat memenuhi aturan-aturan agama. Sifat al-khuluq itu tidak hanya
mengacu pada pola hubungan kepada Allah, namun juga mengacu pada pola hubungan
dengan sesama manusia serta makhluk lainnya. Bila khuluq seseorang itu baik
maka ia akan mendapatkan kebaikan (kebahagiaan) di akhirat nanti.
Selanjutnya
kata al-khuluq ini juga mengandung segi-segi penyesuaian dengan perkataan
al-khalaq yang berarti ciptaan serta erat hubungannya dengan kata al-Khaliq
yang berarti pencipta, dan perkataan makhluq yang berarti yang diciptakan.
Perumusan pengertian tersebut timbul sebagai media yang memungkinkan adanya
hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk
lainnya. Sehingga pola-pola hubungan ini menjadi pembahasan ruang lingkup akhlak.
Inilah
ciri khusus kata akhlak dalam bahasa Arab yang digunakan untuk menyebut
perangai manusia dalam kajian bahasa (etimologi).
Sementara
itu dari sudut terminologi (istilah), ada banyak pendapat yang mengemuka-kan
istilah akhlak. Diantaranya adalah yang dikemukakan Al-Ghazali: Akhlak
adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Maka bila sifat itu memunculkan perbuatan baik dan terpuji
menurut akal dan syariat maka sifat itu disebut akhlak yang baik, dan bila yang
muncul dari sifat itu perbuatan-perbuatan buruk maka disebut akhlak yang buruk.
Pengertian
di atas memberikan pemahaman bahwa al-khuluq disebut sebagai kondisi atau sifat
yang terpatri dan meresap dalam jiwa sehingga si pelaku perbuatan melakukan
sesuatu itu secara sepontan dan mudah tanpa dibuat-buat, karena seandaianya ada
orang yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk
dilakukan (mungkin karena terpaksa atau mencari muka), maka bukanlah orang
tersebut dianggap dermawan sebagai pentulan kepribadiannya. Sifat yang telah
meresap dan terpatri dalam jiwa itu juga disyaratkan dapat menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan lagi.
Ibnu
Maskawih memberikan definisi senada mengenai istilah khuluq sebagai
berikut: Khuluq ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan
perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran.
Dijelaskan
pula oleh Ibnu Maskawaih bahwa keadaan gerak jwa tersebut meliputi dua hal.
Yangpertama, alamiah dan bertolak watak, seperti adanya orang yang mudah marah
hanya karena masalah yang sangat sepele, atau tertawa berlebihan hanya karena
suatu hal yang biasa saja, atau sedih berlebihan hanya karena mendengar berita
yang tidak terlalu memprihatinkan. Yang kedua, tercipta melalui
kebiasaan atau latihan. Pada awalnya keadaan tersebut terjadi karena
dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian menjadi karakter yang melekat
tanpa dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa akhlak merupakan manifestasi iman, Islam, dan ihsan yang
merupakan refleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada diri
seseorang sehingga dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan tidak tergantung
pada pertimbangan berdasar interes tertentu. Sifat dan jiwa yang melekat dalam
diri seseorang menjadi pribadi yang utuh dan menyatu dalam diri orang tersebut
sehingga akhirnya tercermin melalui tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari
bahkan menjadi adat kebiasaan. Oleh karena itu secara singkat Ahmad
Amin menyatakan: Khuluq ialah membiasakan kehendak.
Yang
dimaksud dengan ‘adah ialah perbuatan yang dilakukan berdasarkan kecende-rungan
hati yang selalu diulang-ulang tanpa pemikiran dan pertimbangan yang rumit;
sedang-kan yang melakukan dengan iradah ialah menangnya keinginan untuk
melakukan sesuatu setelah mengalami kebimbangan untuk menetapkan pilihan
terbaik diantara beberapa alternatif. Apabila iradah sering terjadi pada
diri seseorang, maka akan terbentuk pula pola yang baku, sehingga selanjutnya
tidak perlu membuat pertimbangan-pertimbangan lagi, melainkan secara langsung
melakukan tindakan yang sering dilaksanakan tersebut. Definisi yang terakhir
ini mendukung dua definisi di atas dengan penjelasan secara rinci tentang
pembiasaan kehendak. Dimana Zakki Mubarak menegaskan bahwa arti kehendak itu
adalah sesuatu yang membangkitkan hati pada apa yang ia ketahui yang sesuai
dengan tujuan, baik itu tujuan sementara ataupun tujuan yang akan datang.
Kembali
pada masalah akhlak yang dibatasi sebagai suatu kondisi atau sifat yang
tertanam dalam jiwa manusia. Keadaan atau sifat ini bisa merupakan watak atau
pembawaan sejak lahir, seperti pemarah, penakut, mudah risau, pemberani,
dermawan dan sebagainya, dan bias merupakan hasil pembiasaan atau latihan yang
kadang-kadang sumber asalnya dengan mempertimbangkan dan berpikir tentang
perbuatan yang akan dilakukan kemudian berlangsung terus menerus sehingga
sedikit demi sedikit sifat itu meresap dalam jiwa dan menjadi akhlak. Dan
memang harus diakui bahwa manusia dilahirkan dengan membawa seperangkat watak,
ada yang berwatak baik, berwatak buruk dan ada pula yang berwatak diantara baik
dan buruk. Watak-watak tersebut turut menentukan bentuk akhlak seseorang disamping
faktor pembiasaan dan latihan tadi.
Dalam
pembahasan tentang akhlak sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan
akhlak, yakni istilah etika dan moral. Berikut ini akan dikupas pengertian
etika dan moral.
1)
Etika
Etika,
seperti halnya dengan istilah yang menyangkut ilmiah lainnya berasal dari
bahasa Yunani kuno yaitu, ethos. Kata ethos dalam bentuk tunggal mempunyai
banyak arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan,
adat, akhlak, watak perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak
taetha artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti inilah yang menjadi latar
belakang terbentuknya istilah “etika” yang oleh filosuf besar Yunani,
Aristoteles (384-322 sM) sudah dipakai sebagai filsafat moral.
Jika
dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan dengan
membedakan tiga arti:1) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan dan masyarakat, 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak, 3) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak). Dari ketiga pengertian ini dapat dijelaskan
secara unit beserta contoh-contohnya. Pertama, etika dipakai dalam
arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya etika Budha,
etika Islam, Etika Nasrani dan lain-lain. Secara singkat arti ini dapat
dirumuskan sebagai sistem nilai. Kedua, etika berarti kumpulan
asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Misalnya beberapa
tahun yang lalu Departemen Kesehatan Republik Indonesia menerbitkan sebuah kode
etik untuk seluruh rumah sakit di Indonesia yang diberi judul “Etika Rumah
Sakit Indonesia (ERSI)”.Ketiga, etika mempunyai arti sebagai ilmu tentang yang
baik dan yang buruk. Etika bisa dikatakan ilmu bila kemungkinan-kemungkinan
etis (asas-asas dan nilai-nilai yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja
diterima dalam suatu masyarakat sering kali tanpa disadari menjadi bahan
refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika disini sama
artinya dengan filsafat moral. Dalam pengertian ketiga inilah umumnya definisi
etika diberikan.
Berikut
ini adalah definisi etika dalam pengertian pertama, yaitu nilai mengenai benar
dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat. Di dalam New Master
Pictorial Encyclopedia dikatakan: ethics is the science of moral philosophy
concerned not with fact, but with value; not with the character of, but the
ideal of human conduct. Dengan kata lain, etika adalah ilmu tentang filsafat moral,
tidak mengenai fakta, melainkan tentang nilai-nilai dan moral berkaitan dengan
tindakan manusia, melainkan tentang idenya.
Sementara
itu, dalam Dictionary of Education disebutkan bahwa Ethics; the study of human
behaviour not only to find the trurth of things as they are, but also to
enquire into the worth or goodness of human actions. Selanjutnya dirumuskan
sebagai berikut the science of human conduct, concerned with judgment of
obligation (tightness or wrongess, oughtyness) and judgment of value (goodness
and badness). Dengan kata lain, bahwa etika adalah ilmu tentang tingkah laku
manusia yang berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban yang menyangkut
masalah kebenaran kesalahan, atau keputusan, serta ketentuan tentang nilai yang
menyangkut kebaikan maupun keburukan.
Kedua
definisi di atas mengarah pada pembahasan etika dalam pengertian ilmu yang
menjadi topik pembahasan filsafat yang dalam obyeknya mengandalkan
rasionalisasi akal pikkan. Sehingga etika sebagai salah satu cabang filsafat
yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik dan
buruk, maka ukurannya adalah akal pikiran. Atau dengan kata lain, melalui akal
orang dapat mementukan nilai baik dan buruknya perbuatan. Dikatakan baik karena
akal menentukannya baik, dan sesuatu dianggapnya buruk karena akal
menentukannya buruk. Sehingga akal merupakan sumber dasar etika. Disinilah yang
membedakan etika dengan yang lainnya. Dengan demikian tidak salah bila
dirumuskan bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana
yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh mana yang
diketahui oleh akal pikiran.
Berdasarkan
pengertian di atas, secara sederhana etika dapat digunakan dalam dua
pengertian, yaitu pengertian empiris dan filosofiis. Pegertian empiris ini
berdasarkan pada penelitian psikologis dan sosiologis tentang perbuatan manusia
yang termotivasi oleh perasaan, kemauan dan pengaruhnya terhadap orang lain.
Dan inilah yang biasa disebut etika praktis yang berhubungan dengan prilaku
individu maupun kolektif. Sedangkan pengertian filosofis ini merupakan hasil
kontempelasi tentang apa yang disebut baik maupun buruk, apa yang boleh
dilakukan dan yang dilarang. Sehingga tujuannya adalah untuk menjelaskan
norma-norma atau keputusan-keputusan perbuatan manusia tentang nilai-nilai
moral, yang sering dianggap sebagai etika teoritis. Etika dalam filsafat
dibatasi sebagai filsafat tentang moral, yaitu mengenai kewajiban manusia serta
tentang yang baik dan yang buruk, sehingga ia berfungsi menjawab pertanyaan
mengenai bagaimana hak orang yang mengharapkan orang lain tunduk terhadap suatu
norma dan orang dapat menilai norma itu. Karena etika mempunyai sifat dasar
kritis, maka ia juga berfungsi untuk mempersoalkan norma yang berlaku. Etika
dapat mengantar orang kepada kemampuan untuk bersikap kritis dan rasional,
untuk membentuk pendapatnya sendiri dan bertindak sesuai dengan apa yang
dipertanggungjawabkannya sendiri. Hal ini didukung oleh pendapat Franz Magnis
Suseno bahwa, Etika dapat menjadi alat pemikiran rasional dan bertanggung jawab
bagi si ahli ilmu masyarakat, pendidik, politikus dan pengarang, serta bagi
siapa saja yang tidak diombang-ambingkan oleh kegoncangan norma-norma
masyarakat sekarang. Karena etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas,
maka yang dihasilkannya secara langsung bukanlah kebaikan, melainkan suatu
pengertian yang lebih mendasar dan kritis.
Dengan
demikian sangat jelas, bahwa etika sangat mendasarkan diri pada kemampuan akal
pikiran dalam menentukan baik dan buruk, dan tentunya jelas berbeda dengan
istilah moral yang meskipun obyek dan arti etimologinya sama.
2)
Moral
Bila
kata etika berasal dari Yunani kuno, maka moral ini berasal dari bahasa Latin,
yaitu jamak dari mose yang berarti adat kebiasaan. Kedua istilah ini kadang-kadang
digunakan dalam pengertian yang sama, karena memang istilah moral dapat
disimpulkan bahwa artinya sama dengan etika dalam pengertian nilai-nilai dan
norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam suatu
masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya dikatakan bahwa perbuatan
orang tersebut tidak bermoral. Dengan demikian yang dimaksudkan adalah
perbuatan orang itu dianggap melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang
berlaku dalam masyarakat.
Sebaliknya
bila dikatakan orang itu bermoral, maka artinya orang tersebut telah mematuhi
nilai-nilai dan norma-norma yang dipegangi oleh masyarakat yang menilainya.
Sehingga contoh-contoh di atas memberikan kesan bahwa term moral itu selalu
berkonotasi positif. Padahal sebetulnya pengertiannya tidak sesempit itu karena
secara harfiah moral itu diartikan adat kebiasaan manusia dalam berperilaku
maka ia bisa berkonotasi positif maupun negatif, bisa baik dan bisa buruk
tergantung sifat perbuatan itu.
Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dalam Dictionary of Education, bahwa moral ialah a
term used to delimit those characters, traits, intentions, judgments, or acts
which can appropriately, be designated as right, wrong, good, bad. Karena moral
itu merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap
aktifitas manusia dengan nilai baik atau buruk, benar atau salah, maka moral
ini lebih terlihat praktis, dan merupakan penjabaran dari nilai yang diyakini
sebagai suatu identitas yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran,
perasaan, keterikatan dan perilaku. Artinya istilah moral ini membutuhkan tolok
ukur yang digunakan. Kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai
perbuatan manusia (baik atau buruk) dengan tolok ukur akal pikiran, maka dalam
pembahasan moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang hidup dalam masyarakat,
yang dapat berupa adat istiadat, agama dan aturan-aturan tertentu. Dalam hal
ini Hamzah Ya’qub mengatakan bahwa yang disebut moral adalah sesuai dengan
ide-ide umum tentang tindakan manusia mana yang baik dan yang wajar.
Senada
dengan Hamzah Ya’qub, secara detail dalam Ensiklopedi Pendidikan disebutkan
bahwa moral adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai
hidup (moral) juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menunjukan baik dan
buruk. Maka untuk mengukur tingkah laku manusia (baik dan buruk) dapat dilihat
dari penyesuaiannya dengan adat istiadat yang umum diterima masyarakat, yang
meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Karena itu dapat dikatakan,
baik atau buruk yang diberikan secara moral hanya bersifat lokal. Inilah yang
membedakan antara etika dan moral. Perbedaan lain antara etika dan moral adalah
etika lebih banyak bersifat teoritis, sedang moral lebih banyak bersifat
praktis, etika memandang tingkah laku manusia secara universal (umum),
sedangkan moral secara lokal, etika menjelaskan ukuran yang dipakai, moral
merealisasikan ukuran itu dalam perbuatan.
3)
Perbedaan Akhlak, Etika Dan Moral
Istilah
akhlak, etika dan moral sering digunakan dalam konotasi yang sama dalam percakapan
sehari-hari, sehingga seolah-olah tak ada bedanya. Padahal ketiga istilah
tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Hal ini dapat dimaklumi karena
ketiganya mempunyai obyek yang sama, yakni baik dan buruk.
Perlu
dibedakan antara akhlak sebagai perilaku, yang sudah dipaparkan di atas, dan
akhlak sebagai ilmu. Akhlak sebagai ilmu dapat dianalogikan dengan etika
sebagai ilmu yang pembahasannya menjadi isu filsafat. Salah satu pengertian
ilmu filsafat yang cukup mewakili adalah ungkapan Ahmad Amin yang mengatakan
bahwa ilmu akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan
apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan
melakukan apa-apa yang harus diperbuat. Pengertian di atas hampir tidak ada
bedanya dengan pengertian etika, sehingga kadang-kadang disamakan antara ilmu
akhlak dan etika. Namun jika diteliti secara seksama, maka sebenarnya antara
keduanya mempunyai segi-segi perbedaan. Sedangkan pada etika dan moral yang
membedakan adalah pada tolok ukurnya. Jika dalam etika untuk menentukan nilai
perbuatan manusia (baik atau buruk) dengan tolok ukur akal pikiran maka dalam
pembahasan moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang hidup dalam masyarakat,
yang dapat berupa adat istiadat, agama dan aturan-aturan tertentu.
Inti
pengertian di atas adalah harus ada seperangkat nilai yang mengatur manusia
untuk berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan, yaitu kebaikan tertinggi (summon
banum) yang dalam teori etika tolok ukurnya adalah akal pikiran secara
universal tanpa memandang ia hidup di mana dan kapan, serta memeluk agama apa.
Sedangkan dalam akhlak (dalam hal ini adalah akhlak Islam) merupakan
seperangkat nilai untuk menentukan baik dan buruk tolok ukurnya adalah
al-Qur’an dan al-Sunnah.
Bagi
umat Islam al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan way of life untuk mengatur segala
perilakunya, sehingga segala perilakunya tidak boleh lepas dari keduanya. Hal
ini tidak berarti manusia tidak bebas memilih yang dalam pembahasan akhlak atau
etika merupakan unsur utama yang harus dipertimbangkan karena suatu perbuatan
dapat dinilai itu harus ada kebebasan. Namun seseorang yang sudah menentukan
pilihannya untuk memeluk Islam yang artinya berserah diri dan tunduk pada
kemauan Allah, akan terikat pada sistem nilai-nilai Islam. Sebaliknya bila
seseorang menentukan pilihannya pada yang lainnya, ia akan terikat dengan
sistem nilai-nilai lain, karena tak ada konsep bebas yang mutlak kecuali hanya
milik Allah yang tak terikat ruang dan waktu.
Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa akhlak Islam adalah sistem nilai yang mengatur
pola sikap dan tindakan manusi di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah
ajaran Islam dengan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber nilainya serta
ijtihad sebagai metode berpikirnya. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud
mencakup pola hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk dengan dirinya
sendiri) dan alam. Pola hubungan dalam akhlak Islam ini saling berhubungan
sehingga orang dapat dikatakan berakhlak mulia apabila ia baik hubungannya
dengan Allah, dengan sesama manusia maupun dengan makhluk lainnya.
B.
Ruang Lingkup Akhlak
Dalam
membahas persoalan ruang lingkup akhlak, Kahar Masyhur menyebutkan bahwa ruang
lingkup akhlak meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap
penciptaan-nya, terhadap sesama manusia seperti dirinya sendiri, terhadap
keluarganya, serta terhadap masyarakatnya. Disamping itu juga meliputi
bagaimana seharusnya bersikap terhadap makhluk lain seperti terhadap malaikat,
jin, iblis, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
Ahmad
Azhar Basyir menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia
sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk
penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai
makhluk ciptaan Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi akhlak pribadi, akhlak
keluarga, akhlak sosial, akhlak politik, akhlak jabatan, akhlak terhadap Allah
dan akhlak terhadap alam.
Dalam
Islam akhlak (perilaku) manusia tidak dibatasi pada perilaku sosial, namun juga
menyangkut kepada seluruh ruang lingkup kehidupan manusia. Oleh karena itu
konsep akhlak Islam mengatur pola kehidupan manusia yang meliputi:
1)
Hubungan antara manusia dengan Allah Seperti akhlak terhadap Tuhan
2)
Hubungan manusia dengan sesamanya
Hubungan
manusia dengan sesamanya meliputi hubungan seseorang terhadap keluarga-nya
maupun hubungan seseorang terhadap masyarakat.
a)
Akhlak terhadap keluarga yang meliputi: akhlak terhadap orang tua, akhlak
terhadap isteri, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak
terhadap sanak keluarga.
b)
Akhlak terhadap masyarakat yang meliputi: akhlak terhadap tetangga, akhlak
terhadap tamu, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap
sanak keluarga.
3)
Hubungan manusia dengan lingkungannya. Akhlak terhadap makhluk lain seperti
akhlak terhadap binatang, akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan, dan akhlak terhadap
alam sekitar.
4)
Akhlak terhadap diri sendiri
PERTEMUAN
2
C.
Dasar-Dasar Akhlak
1)
Al-Qur'an
وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya:
Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlak sangat mulia. (QS.
Al-Qalam:4).
Pujian
Allah ini bersifat individual dan khusus hanya diberikan kepada Nabi Muhammad
karena kemuliaanakhlaknya. Penggunaan istilah khulukun ‘adhim menunjukkan
keagungan dan keanggunan moralitas rasul, yang dalam hal ini adalah Muhammad
SAW. Banyak Nabi dan rasul yang dsebut-sebut dalam Al-Qur’an, Tetapi hanya
Muhammad SAW yang mendapatkan pujian sedahsyat itu. Dengan lebih tegas Allah
pun memberikan penjelasan secara transparan bahwa akhlak Rasulullah sangat
layak untuk dijadikan standar modal bagi umatnya, sehingga layak untuk
dijadikan idola yang teladani sebagai uswah hasanah, melalui firman-Nya:
Artinya:
Sungguh bagi kamu pada diri Rasulullah ituo terdapat suri taula dan yang baik …
2)
Al-Hadits
Dalam ayat al-Qur’an telah diberikan penegasan bahwa Rasulullah merupakan
contoh yang layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya. Disamping itu, ayat
tersebut juga mengisyaratkan bahwa tidak ada satu “sisi-gelap” pun yang ada
pada diri Rasulullah, karena semua isi kehidupannya dapat ditiru dan
diteladani. Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa Rasulullah sengaja
diproyeksikan oleh Allah untuk menjadi “lokomotif” akhlak umat manusia secara
universal, karena Rasulullah diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin. Hal ini
didukung pula dengan hadits yang berbunyi:
Artinya:Sesungguhnya
saya ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa karena akhlak menempati posisi kunci dalam
kehidupan umat manusia, maka substansi misi Rasulullah itu sendiri adalah untuk
menyem-purnakan akhlak seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak yang
mulia. Yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana substansi akhlak
Rasulullah itu. Dalam hal ini, para sahabat pernah bertanya kepada isteri
Rasulullah, yakni Aisyah r.a. yang dipandang lebih mengetahui akhlak rasul
dalam kehidupan sehari-hari, maka Aisyah menjawab:
Artinya:
Substansi akhlak Rasulullah itu adalah al-qur’an.
Dari jawaban singkat tersebut diketahui bahwa akhlak Rasulullah yang tercermin
lewat semua tindakan, ketentuan, atau perkataannya senantiasa selaras dengan
al-qur’an, dan benar-benar merupakan praktek riil dari kandungan al-qur’an.
Semua perintah dilaksanakan, semua larangan dijauhi, dan semua isi al-qur'an
didalaminya untuk dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
D.
Tujuan Akhlak
Tujuan
akhlak adalah mencapai kebahagiaan hidup umat manusia dalam kehidupannya, baik
di dunia maupun akhirat. Jika seseorang dapat menjaga kualitas mu’amalah
ma’allah dan mu’amallah ma’annas, isnya Allah akan memperoleh rida-Nya. Orang
yang mendapat rida Allah niscaya akan memperoleh jaminan kebahagiaan hidup baik
duniawi maupun ukhrawi.
Seseorang
yang berakhlakul karimah pantang berbohong sekalipun terhadap diri sendiri dan
tidak pernah menipu apalagi menyesatkan orang lain. Orang seperti ini biasanya
dapat hidup dengan tenang dan damai, memiliki pergaulan luas dan banyak relasi,
serta dihargai kawan dan disegani siapapun yang mengenalnya. Ketenteraman hidup
orang berakhlak juga ditopang oleh perasaan optimis menghadapi kehidupan
ukhrawi lantaran mua’amalah ma’alahnya sudah sesuai dengan ketentuan Allah
sehingga tidak sedikitpun terbetik perasaan khawatir untuk “mampir” di neraka.
Ketenteraman
dan kebahagiaan hidup seseorang tidak berkorelasi positif dengan kekayaan,
kepandaian, atau jabatan. Jika seseorang berakhlak al-karimah, terlepas apakah
ia seorang yang kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau rendah, memiliki
jabatan tinggi, rendah, atau tidak memiliki jabatan sama sekali, insya Allah
akan dapat memperoleh kebahagiaan.
E.
Urgensi Akhlak
Saat
ini kita berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya
mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern,
melainkan juga mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi
multimedia misalnya, yang berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi
cepat didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, serta lebih mudah dan enak
untuk dinikmati. Namun, di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah
cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik
keluarga yang semula sarat norma susila dan norma susila.
Kita
harus kaya informasi dan tak boleh ketinggalan, jika tidak mampu dikatakan
tertinggal. Tetapi terlalu naif rasanya jika mau mengorbankan kepribadian hanya
untuk mengejar informasi dan hiburan. Disinilah akhlak harus berbicara,
sehingga mampu menyaring “ampas negatif “ teknologi dan menjaring saripati
informasi positif.
Dengan
otoritas yang ada pada akhlakul karimah, seorang akan berpegang kuat pada
komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar pengembangan
akhlak, sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah akidah yang
kokoh, akhlak, pada hakekatnya merupakan manifestasi akidah. Akidah yang kokoh
berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
Mencermati
Fenomena aktual di tengah masyarakat kita dapat diperoleh kesimpulan sementara
bahwa sebagian hegemoni media secara umum, hegemoni televisi terasa lebih
memunculkan dampak negatif bagi kultur masyarakat kita. Tidak dipungkiri adanya
dampak positif dalam hal ini, meski terasa belum seimbang dengan “pengorbanan”
yang ada.
Televisi
yang sarat muatan hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa dengan
berbagai tayangan yang seronok penuh janji kenikmatan, keasyikan, dan
kesenangan. Belum lagi penayangan film laga yang berbau darah, atau iklan yang
mengeksploitasi aurat. Adanya sekat-sekat kultur dipandang tidak relevan di era
global ini, sehingga sensor dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan tidak
diperlukan lagi. Menghadapi fenomena seperti ini hanya satu tumpuan harapan
kita, yakni pendarahdagingan akhlak melalui keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Adanya
fenomena yang harus dicermati dan dicarikan solusi. Munculnya mall di kota-kota
besar, satu sisi membuat orang betah berbelania di ruang-ruang sejuk yang sarat
dengan dagangan tertata rapi dan warna-warni, tetapi disisi lain sebagian mall
mulai difungsikan untuk mejeng bagi ABG dan mencari sasaran “pasangan sesaat”
dengan imbalan materi maupun kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan
bina moral serentak untuk menanamkan akhlakul karimah serasa tidak dapat
ditunda lagi.
Belum
lagi munculnya tempat hiburan malam yang dilengkapi dengan minuman keras serta
peredaran obat-obat terlarang yang banyak menimbulkah korban-korban generasi
muda. Menghadapi persoalan ini di samping perlunya pengawasan orang tua terhadap
putera-puterinya di rumah disertai contoh yang baik dalam berakhlakul karimah
juga diperlukan tindakan represif dari aparat terkait. Upaya menumbuhkembangkan
akhlakul karimah merupakan taggung jawab bersama, yakni keluarga, sekolah,
pemerintah, dan masyarakat. Keempat institusi tersebut memiliki tanggung jawab
bersama untuk mendarahdagingkan akhlakul karimah, terutama di kalangan generasi
muda.
Munculnya
fenomena amukan massa di beberapa kota besar yang ditandai dengan pembakaran
pusat pertokoan, penghancuran tempat ibadah, bahkan perusakan kantor polisi
maupun berbagai kalangan. Untuk menghindari terulangnya serangkaian peristwa
amukan tersebut, di samping perlu dicari akar masalahnya dan diselesaikan,
fenomena tersebut hendaknya dijadikan pemicu gerakan pendidikan moralitas
bangsa, dengan menjadikan akhlakul karimah sebagai acuan utama.
Urgensi
akhlak semakin terasa jika dikaitkan maraknya aksi perampokan, penjambretan,
penodongan, korupsi, manipulasi, dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa
kerja kerjas. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut dilakukan tindakan
represif melalui penanaman akhlakul karimah. Tanpa upaya prefentif, segala
bentuk upaya represif tiak akan mampu menyelesaikan masalah karena semua pelaku
kejahatan selalu patah tumbuh hilang berganti.
Serangkaian
fenomena “miring” tersebut merupakan dampak negatif dari modernitas yang ada di
tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak memungkinkan untuk melarikan
diri dari kenyataan modernitas. Modernitas tidak perlu dijauhi, karena kesalahannya
tidak terletak pada modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat komitmen
nilai dari moralitas bangsa dan umat dalam merespon arus modernitas yang
semakin seulit dibendung.
Didalam
menyongsong kemajuan zaman, bangsa Indonesia harus memiliki moral kualitas
unggul. Bangsa yang unggul dalam perspektif Islam adalah bangsa yang
berakhlakul karimah. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah:
Artinya:
Sesungguhnya yang paling unggul di antara kamu adalah orang yang paling baik
akhlaknya. (H.R. Bukhari).
Bahkan
dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
Artinya:
Yang disebut bagus adalah bagus akhlaknya. (H.R. Muslim).
F.
Kakteristik Akhlak Dalam Ajaran Islam
Islam
memiliki dasar-dasar konseptual tentang ahklak yang komprehensif dan menjadi
karakteristik yang khas. Di antara karakteristik tersebut adalah:
1)
Akhlak meliputi hal-hal yang bersifat umum dan terperinci.
Di
dalam Al-Qur’an ada ajaran akhlak yang dijelaskan secara umum, tetapi ada juga
yang diterangkan secara mendetail. Sebagai contoh, ayat yang menjelaskan
masalah akhlak, secara umum adalah Q.S. An-Nahl (16):90 yang menyuruh perintah
untuk berakhlak secara umum: Untuk berbuat adil, berbuat kebaikan, melarang
perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan. Sedangkan contoh ayat yang menjelaskan
masalah akhlak secara terperinci adalah Q.S. Al-Huujurat (49):12 yang
menunjukkan larangan untuk saling mencela, serta memanggil dengan gelar yang
buruk.
2)
Akhlak bersifat menyeluruh
Dalam
konsep Islam, akhlak meliputi seluruh kehidupan muslim, baik beribadah secara
khusus kepada Allah maupun dalam hubungannya dengan sesama makhluk seperti
akhlak dalam mengelola sumber daya alam, menata ekonomi, menata politik,
kehidupan bernegara, kehidupan berkeluarga, dan bermasyarakat.
3)
Akhlak sebagai buah iman
Akhlak
memiliki karakter dasar yang berkaitan erat dengan masalah keimanan. Jika iman
dapat diibaratkan akar sebuah pohon, sedangkan ibadah merupakan batang, ranting
dan daunnya, maka akhlak adalah buahnya. Iman yang kuat akan termanifestasikan
oleh ibadah yang teratur dan membuahkan akhlakul karimah. Lemahnya iman dapat
terdeteksi melalui indikator tidak teftibnya ibadah dan sulit membuahkan
akhlakul karimah.
4)
Akhlak menjaga konsistensi dengan tujuan
Akhlak
ridak membenarkan cara-cara mencapai tujuan yang bertentangan dengan syariat
sekalipun dengan maksud untuk mencapai tujuan yang baik. Hal tersebut dipandang
bertentangan dengan prinsip-prinsip ahklakul karimah yang senantiasa menjaga
konsistensi cara mencapai tujuan tertentu dengan tujuan itu tersendiri.
G.
Akhlak Karimah
Akhlak
al-karimah adalah akhlak yang terpuji atau akhlak yang mulia di mata Allah Swt.
Akhlak yang terpuji ini merupakan implementasi dari sifat dan prilaku yang baik
dalam diri manusia. Akhlak al-karimah dapat dilihat dari sifat, tingkah laku
maupun perbuatan nabi Muhammad Saw.
Nabi
Muhammad SAW tercatat dalam tinta emas sejarah sebagai pembawa perubahan dunia
yang paling spektakuler, sebagai suri tauladan umat manusia. Hanya dalam waktu
23 tahun Muhammad telah berhasil mendekonstruksi seluruh kehidupan umat manusia
yang sarat kezaliman dan kebiadaban, kemudian merekonstruksinya menjadi sebuah
kehidupan yang sarat nilai luhur. Pada masa kelahiran Rasulullah dikenal
sebagai zaman jahiliyah atau zaman kebodohan. Sekalipun pada masa itu bangsa
arab telah memiliki kebudayaan tinggi bahkan memiliki tingkat kecerdasan
rata-rata, tetapi moralitas etika kehidupan mereka sangat rendah. Hanya dalam
waktu yang relatif singkat, Muhammad SAW telah mampu membangun moralitas dunia
arab atas puing-puing jahiliyah, bahkan mampu membangun peradaban Islam yang
akhirnya melebar ke beberapa penjuru dunia.
Rasulullah
yang mengorbankan revolusi Islam telah berhasil membawa kemenangan gemilang,
meski tidak menyadarkan kekuatan pada perlengkapan perang yang canggih maupun
strategi perang yang jitu. Semua kesuksesan perjuangan Rasulullah tersebut
lebih banyak ditopang oleh kearifan, keberanian, kesadaran dan keadilan yang
didorong oleh semangat menegakkan akhlak al-karimah.
Dengan
akhlak, Rasulullah telah memenuhi kewajiban dan menunaikan amanah. Rasulullah
mengajak umat manusia untuk bertauhid dan menjauhkan umat dari syirik. Di
samping itu, Rasulullah menghargai kepercayaan dan keyakinan orang lain juga
dengan akhlak. Dengan akhlak pula Rasulullah menghadapi musuh di medan perang dan
membangun negara. Lebih dari itu, Rasulullah dalam kondisi apapun dan
berhadapan dengan siapapun senantiasa mempraktekkan akhlak al-karimah secara
nyata dan konsisten.
Semua
orang yang pernah mengenalnya tidak satupun yang tidak mengagumi perilaku dan akhlaknya,
sekalipun ia seorang yang kafir. Kalaupun para pemuka kafir Quraisy membenci
Muhammad dan memburunya, adalah semata-mata karena gerakan dakwahnya yang
dipandang “subversif” karena dianggap telah berbuat makar terhadap “ilah”
mereka yakni dewa-dewa dan patung-patung yang mereka sembah dan muliakan.
Dalam
kehidupan berkeluarga, Muhammad telah menunjukkan diri sebagai kepala rumah
tangga yang tanpa cacat dalam pandangan semua anggota keluarga, masyarakat
sekitarnya, bahkan dalam pandangan semua umatnya. Semua gerak langkah adat
kebiasaannya, bahkan keputusan-keputusannya terdokumentasikan dalam sunnah
rasul dan diteladani oleh semua umatnya akhir zaman.
Dalam
bidang politik Muhammad Saw telah mampu menunjukkan “kelasnya” sebagai
politikus terkemuka, semua keputusan dan langkah politiknya mengindikasikan
muatan akhlakul karimah. Hal tersebut tercermin melalui kemampuannya untuk
meredam konflik antar etnis serta fiksi yang bermuara pada pluralitas, serta
penampilannya sebagai sosok demokrat sejati yang mampu mengakomodasi aspirasi
dan potensi ummat.
Melalui
telaah historis dapat diperoleh serangkaian fakta bahwa sejak masa kanak-kanak,
remaja, dan dewasa tidak diperoleh adanya fakta yang menunjukkan bahwa Muhammad
Saw pernah melakukan suatu tindakan yang agak tercela, apalagi tercela. Bahkan
lingkungan dimana saja beliau berada sepakat memberinya gelar al-amin, yang
berarti orang yang terpercaya. Gelar ini diberikan setelah melampaui ujian
panjang dalam kehidupannya yang tidak pernah ada cacat kebohongan sama sekali,
bahkan selalu diwarnai kejujuran dan kesantunan.
Akhlak
Nabi, yang mencakup sifat, ucapan dan prilakunya adalah cerminan akhlak yang
baik (akhlak al-karimah), sehingga beliau menjadi suri tauladan bagi umatnya di
seluruh dunia. Sebagaimana dalam firman Allah Swt : Artinya: Sungguh bagi kamu
pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik .…
PERTEMUAN
3
PEMBAHASAN
TASAWUF
A.
Asal Usul Kata Tasawuf
1)
Kata tasawwuf adalah bahasa Arab dari kata suf yang artinya bulu
domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai
lambang kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang
pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim
Al-Kufi di Irak (wafat tahun 150H).
2)
Ahl Al-Suffah, yaitu orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke
Medinah yang karena kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan
tak memiliki apa-apa. Mereka tinggal di serambi Mesjid Nabi dan tidur di atas
batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Kata sofa
salam bahasa Eropa berasal dari kata Walaupun hidup miskin, Ahl Suffah berhati
baik dan mulia. Gaya hidup mereka tidak mementingkan keduniaan yang bersifat
materi, tetapi mementingkan keakhiratan yang bersifat rohani. Mereka miskin
harta, tetapi kaya
3)
budi yang mulia. Itulah sifat-sifat kaum sufi.
4)
Shafi yaitu suci. Orang-orang sufi adalah orang-orang yang mensucikan dirinya
dari hal-hal yang bersifat keduniawian dan mereka lakukan melalui latihan yang
berat dan lama. Dengan demikian mereka adalah orang-orang yang disucikan.
5)
Sophia, berasal dari bahasa Yunani, yang artinya hikmah atau filsafat. Jalan
yang ditempuh oleh orang-orang sufi memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh
oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari kebenaran yang berawal dari
keraguan dan ketidakpuasan.
6)
Saf pertama. Sebagaimana halnya orang yang shalat pada saf pertama mendapat
kemuliaan dan pahala yang utama, demikian pula orang-orang sufi dimuliakan
Allah dan mendapat pahala, karena dalam shalat jamaah mereka mengambil saf yang
pertama.
Di
antara kelima asal-usul kata tasawwuf, yang disebut pertama lebih banyak
disebut para ahli sebagai asal kata tasawwuf. Dalam kisah orang-orang Sufi
Masehi dan Yahudi, disebutkan bahwa kebiasaan mereka memakai pakaian yang
berasal dari kulit dan bulu domba yang kasar. Dengan pakaian dari bulu domba
yang kasar dan sederhana itu orang-orang sufi akan terhindar dari sifat riya
dan menunjukkan kezuhudan pemakainya.
B.
Pengertian Tasawuf
Untuk
menyatakan hakekat tasawuf itu sangat sulit, karena tasawuf menyangkut masalah
rohani dan batin manusia yang tidak dapat dilihat. Oleh karena itu ia hanya
dapat diketahui bukan hakekatnya, melainkan gejala-gejalanya yang tampak dalam
ucapan, cara dan sikap hidup para shufi membuat definisi tasawuf tersebut.
Sekalipun demikian para shufi membuat definisi tasawuf berbeda-beda sesuai
dengan pengalaman empiriknya masing-masing dalam mengamalkan tasawuf.
Menurut
Ma’ruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi
sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Ahmad
al-Jariri ketika ditanya seseorang: Apa itu tasawuf ? Ia menjawab: Masuk ke
dalam setiap akhlak yang tinggi (mulia) dan keluar dari setiap akhlak yang
rendah (tercela).
Sementara
Abu Ya’qub al-Susi menjelaskan bahwa shufi ialah orang yang tidak merasa sukar
dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa
nafsu.
Definisi-definisi
di atas menunjukan betapa besarnya peranan akhlak dalam tasawuf. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf ini dimaksudkan sebagai usaha untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pentingnya akhlak atau sopan
santun baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.
Selanjutnya
definisi tasawuf ini mengalami perkembangan, hal ini terlihat dari definisi
yang dikemukakan Dzu al-Nun al-Mishri bahwa tasawuf adalah usaha mengalahkan
segala-galanya untuk memilih Allah, sehingga Allah pun akan memilih seorang
shufi dan mengalahkan segala sesuatu. Dari definisi ini, pembahasan tasawuf
mulai memasuki wilayah cinta ilahi yang dikenal dengan mahabbat. Shufi adalah
orang yang mencintai Allah SWT sampai mengalahkan segala-galanya.
Kemudian
definisi tasawuf berkembang lagi dengan datangnya shufi besar, Abu Yazid al-Bustami
yang mendefinisikan tasawuf dengan shifat al-Haqqi yalbisuha al-Khalqu (sifat
Allah yang dikenakan oleh hambaNya). Hal ini menunjukan adanya perkembangan
definisi dari Abu Yazid yang terkenal dengan syafhahatnya, yaitu: idzhar
al-bathin bi al-‘ibrat badalan min al-isyarat (mengungkapkan secara lisan akan
kondisi bathin atau mengungkapkan pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup
diisyaratkan).
Lebih
jauh Imam al-Junaid mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: al-tashawwuf
antakuna ma’a Allah bila ‘alaqat (tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa
hubungan). Maksudnya, seorang shufi bersama Allah bukan dalam hubungan antara
makhluq dan khaliq, bukan hubungan antara 'abid dan ma’bud. Menurut al-Junaid,
selagi masih ada hubungan berarti masih mempertahankan eksistensi diri, masih
mengakui keberadaan diri makhluq.
Ajaran
tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn Manshur
al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H, karena ia
mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari
ucapannya: ana Allah...ana al-Haqq (aku adalah Allah....aku adalah yang maha
benar).
Di
sini timbul pertanyaan: kenapa al-Hallaj demikian keras mempertahankan
ucapannya yang melanggar syari’ah sehingga ia menerima hukuman gantung, padahal
al-Junaid sebagai gurunya telah memperingatkannya. Alasan al-Halkj: “apa pun
yang akan terjadi, saya tetap mempertahankan ucapan ana Allah ... ana al-Haqq,
karena saya ingin segera menyatu dengan Allah. Gara-gara jasmani saya, saya menjadi
tidak bisa menyatu dengan Allah”. Nampaknya, hukuman gantung bukan hanya tidak
ditakuti oleh al-Hallaj, melainkan justru dirindukannya, karena jasad dirinya
dianggap sebagai penghalang untuk segera menyatu dengan Allah.
Memperhatikan
definisi-definisi tasawuf yang dikemukakan oleh Dzu al-Nun al-Mishri, Abu Yazid
al-Busthami, al-Junaid, dan al-Hallaj, dapat dipahami bahwa tasawuf ini tidak
lagi menekankan masalah ahlak, melainkan sudah membahas masalah hubungan
langsung antara shufi dan Tuhan bahkan berlanjut kepada kemanunggalan antara
shufi dan Tuhan.
Berdasarkan
seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak manusia agar jiwanya
menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
sedekat-dekatnya.
C.
Sumber Ajaran Tasawuf
Dalam
sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan hadist terdapat ajaran yang dapat membawa
kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang
merupakan ajaran dasar dalam mistisisme ternyata ada di dalam al-Qur’an dan
hadits. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 186 menyatakan:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ
Artrinya:
Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku. Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku.
Kata
da’a yang terdapat dalam ayat di atas oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam
arti yang lazim dipakai, melainkan dengan arti berseru atau memanggil. Tuhan
mereka panggil, dan Tuhan memperlihatkan diri-Nya kepada mereka.
Ayat
115 dalam QS. Al- Baqarah juga menyatakan:
وَلِلّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ
Artinya:
Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling disitu (kamu
jumpai) wajah Tuhan.
Bagi
kaum sufi ayat ini mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada, dan dapat
dijumpai. Selanjutnya dalam hadits dinyatakan:
Artinya
: Siapa yang kenal pada dkinya, pasti kenal pada Tuhan.
Hadits
lain yang juga mempunyai pengaruh kepada timbulnya paham tasawuf adalah hadits
qudsi yang berbunyi:
Artinya:
Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin kenal, maka
Kuciptakanlah makhluk dan merekapun kenal pada-Ku melalui diri-Ku.
Menurut
hadist ini, bahwa Tuhan dapat dikenal melalui makhluk-Nya, dan pengetahuan yang
lebih tinggi ialah mengetahui Tuhan melalui diri-Nya.
D.
Tujuan Tasawuf
Sebelum
dikemukakan tujuan tasawwuf, terlebih dulu dijelaskan pengertian “fana” dan
“ma’rifat”. Fana dalam arti filosofis adalah meniadakan diri supaya ada Menurut
ilmu tasawwuf, fana adalah leburnya pribadi pada kebaqaan Allah, di mana
perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa Ketuhanan. Dengan fana hilanglah
sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat bathin), dan kekalnya sifat-sifat
terpuji (taat lahir dan taat bathin). Adapun pengertian ma’rifat adalah
pengetahuan hakiki tentang Tuhan, atau melihat Tuhan dengan hati sanubari.
Tujuan
tasawwuf adalah “fana” untuk mencapai “ma’rifat”. Dalam hal ini ahli-ahli
tasawwuf berkata: Artinya:Tasawwuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa
dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah. Tasawwuf
mengantarkan manusia untuk mendekatkan diri setingkat demi setingkat kepada
Tuhannya, sehingga ia demikian dekat berada di hadirat-Nya.
Dengan
demikian maka tujuan terakhir dari tasawwuf itu adalah berada dekat
sedekat-dekatnya di hadirat Tuhan, dengan puncaknya menemui dan melihat
Tuhannya.
Untuk
memantapkan pemahaman Anda tentang pengertian tasawwuf, Anda perlu mengerjakan
latihan di bawah ini. Sebaiknya latihan ini Anda kerjakan melalui diskusi
bersama teman-teman.
E.
Latar Belakang Timbulnya Tasawuf
1)
Zaman Nabi
Meskipun
secara tekstual tidak ditemukan ketentuan agar umat Islam melaksanakan tasawuf
akan tetapi kegiatan tasawuf telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sebelum
diangkat menjadi rasul, ia telah berulang kali pergi ke Gua Hira dengan membawa
sedikit perbekalan. Tujuannya disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat
kota Mekkah yang sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan
berhala, juga untuk merenung dalam rangka mencari hakekat kebenaran yang
disertai dengan melakukan banyak berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya
menjadi semakin suci.
Peri
hidup Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak didasarkan pada nilai-nilai
material, nilai-nilai yang bersifat duniawi, misalnya mencari kekayaan pribadi,
tetapi bertumpu pada nilai-nilai ibadah, mencari keridhaan Allah Swt Akhlak
mereka demikian tinggi, tunduk, patuh kepada Allah, tawadhu’ (merendah diri) dan
sebagainya, bagaikan tanaman padi, kian berisi kian merunduk. Peri hidup Nabi
dan para sahabatnya yang terpuji (akhlaqul karimah) tersebut antara lain:
a)
Hidup zuhud (tidak mementingkan keduniaan).
b)
Hidup qanaah (menerima apa adanya).
c)
Hidup taat (senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
d)
Hidup istiqamah (tetap beribadah).
e)
Hidup mahabbah (sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi cinta kepada
dirinya dan makhluk lainnya).
f)
Hidup ubudiah (mengabdikan diri kepada Allah).
Sikap
hidup seperti tersebut di atas kemudian diikuti oleh kaum sufi, kemudian
menjadi sikap hidup mereka.
Dari
perilaku kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya serta asal pokok ajaran
tasawwuf di atas, dapat kita artikan bahwa hakikat tasawwuf itu adalah mencari
jalan untuk memperoleh kesempurnaan hidup rohani. Untuk memperoleh kesempurnaan
hidup rohani ini memang tidak mudah, biasanya memerlukan suatu proses, bahkan
kadang-kadang proses itu cukup panjang.
Seorang
sufi yang ternama pada mulanya juga mengagumi hal-hal yang bersifat lahir, yang
dapat diraba dan dirasakan dengan panca-indera, tetapi lama kelamaan kepuasan
merasakan sesuatu yang lahir itu berangsur-angsur surut. Maka sirnalah
keindahan dunia yang bersifat materi dan mereka mencari kepuasan lain. Mereka
menuju alam rohani, yang tidak dapat diraba dengan panca-indera, melainkan
hanya dapat dirasakan dengan perasaan halus.
Seseorang
tidak dapat memahami dan terjun ke dalam tasawwuf, kecuali sesudah roh dan
jiwanya menjadi kuat, demikian kuatnya sehingga ia dapat melepaskan dirinya
dari kemegahan dan keindahan duniawi. Peralihan dari ketidakpuasan merasakan
nikmatnya keindahan duniawi menuju kepada dunia ghaib ibarat kekaguman seorang
anak kecil tentang benda-benda yang terdapat pada alam sekelilingnya. Semua
yang pertama kali dilihatnya dirasa indah dan hebat. Ketika perkembangan
jiwanya meningkat, sehingga apa-apa yang tadinya dipandang indah dan hebat
menjadi kecil dan remeh. Mereka meninggalkan benda-benda itu dan mencari
benda-benda yang dapat memuaskan dirinya.
Jadi
tasawwuf itu pada dasarnya adalah pindah dari suatu hal keadaan kepada suatu
hal keadaan yang lain. Pindah dari alam kebendaan kepada alam kerohaniaan.
Sebagai contoh dikemukakan di sini salah satu sisi kehidupan (pengalaman) salah
seorang sufi yang terkemuka, yaitu Ibn Arabi. Sebagai manusia, ia merasakan
keindahan dunia sebagaimana dirasakan oleh manusia lainnya. Ketika berumur 38
tahun, masa peralihan dari masa muda ke masa tua, ia pergi ke Hejaz dan tinggal
serta berguru pada seorang alim ulama di Mekkah. Gurunya itu mempunyai seorang
anak perempuan yang cantik jelita, ditambah pula dengan budi bahasanya yang
lembut. Perjumpaan Ibn Arabi dengan anak perempuan gurunya itu sangat
mengganggu pikirannya. Ia ingin selalu dekat dengan orang yang disenanginya
itu. Siang dikenang, malam diimpikan. Banyak sudah karangan yang telah
ditulisnya, hanya untuk menggambarkan kekaguman dan kecantikan orang yang
dicintainya. Demikian indahnya rangkaian kalimat yang diciptakan Ibn Arabi sehingga
dapat menjelaskan kepada kita bahwa besar dan kuatnya rasa cinta terhadap
keindahan alam lahir dapat mempengaruhi sikap seseorang. Demikianlah perasaan
yang pernah dialami Ibn Arabi. Salah satu kalimat curahan perasaan yang
bersifat kesenangan duniawi terungkap dalam perkataannya, “Demikian rupa hatiku
terpikat olehnya, pikiran dan jiwaku seakan-akan terbelenggu, sehingga yang
kutuju, setiap nama yang kusebut, namanyalah yang kukehendaki, setiap kampung
kampungnyalah juga seakan-akan yang kumasuki.”
Kata-kata
Ibn Arabi tersebut menunjutkan bagaimana keadaan seseorang yang telah tenggelam
dalam merasakan nikmat pendengaran, penglihatan, dan perasaan hati. Jika
pengaruh itu tidak segera dibersihkan, maka manusia tidak dapat melepaskan diri
dari kecintaannya terhadap dunia yang bersifat materi ini. Ibn Arabi menyadari
akan maksud dan tujuannya datang ke Mekkah ini, ia teringat akan cita-citanya
semula. Lalu ia berusaha untuk dapat melepaskan diri dari belenggu syahwat yang
telah mengikat alam pikirannya. Ikhtiar Ibn Arabi semacam ini dapat kita
katakan permulaan menjauhkan diri dari kesenangan lahir menuju pada kesenangan
rohani, yang boleh kita anggap peralihan kepada tingkat iman yang lebih tinggi.
Perhatian
Ibn Arabi beralih dari bumi ke angkasa raya, meningkat bersama panggilan
jiwanya ke langit, kepada keindahan bintang-bintang yang bertaburan di
cakrawala. Pandangannya berpindah dari ruang yang sempit ke dunia luar yang
lebih luas dan kepada keindahan yang lebih menakjubkan serta mengagumkan. Ia
duduk termenung pada malam hari yang sepi, sambil bertopang dagu, melihat
dengan asyiknya keindahan bintang-bintang.
Dari
contoh di atas dapat kita ketahui bahwa orang-orang sufi meletakkan makna hidup
itu lebih tinggi daripada hidup biasa. Kadang-kadang sampai demikian tingginya,
sehingga sulit difahami oleh orang biasa. Jika mereka membicarakan suatu hukum
dalam Islam, maka yang dipentingkan adalah tujuan dari hukum itu, sehingga
sering ijtihad mereka kelihatannya seolah-olah berbeda dengan
pengajaran-pengajaran ilmu fiqih biasa.
Tasawwuf
atau sufisme sebagaimana halnya dengan aliran-alkan mistik di luar Islam ingin
memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar
bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari tasawwuf adalah
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan
dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi (semedi). Banyak ayat Al-Qur’an
yang menganjurkan kepada manusia agar merenungi alam raya ini dan juga diri
manusia sendiri. Dengan demikian manusia akan mengingat zat penciptanya.
Kekaguman akan keindahan alam, diri manusia, lambat laun akan tercurah rasa
rindu untuk dekat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Jika hidup kerohanian (hidup
sufi) telah merasuki sendi-sendi kehidupan seseorang, maka tidaklah ia merasa
hina dihadapan manusia lainnya sekalipun dengan pakaian bulu domba (suf) yang
kasar. Ia menjadi zuhud (tidak terpikat pada kemewahan dunia, ta’abud
(berbakti), qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada), dan ikhlas. Hidup kerohanian
semacam ini telah dimulai oleh Nabi Muhammad saw, bahkan oleh Nabi-nabi
terdahulu, termasuk Ulul Azmi, yaitu: Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Musa
as, dan Nabi Isa as.
Mengenai
kehidupan Nabi Muhammad saw telah banyak diceritakan, betapa kesederhanaan
rumah tangga beliau sehari-hari. Jangankan perabot rumah tangga yang serba
mewah dan makanan yang lezat-lezat, alat-alat rumah tangga yang sederhana saja
tidak lengkap begitu juga dalam hal makanan, makanan yang biasa untuk makan
sehari-hari saja kadang tidak ada. Ia tidur di atas sepotong tikar bukan di
atas kasur yang empuk, makanan yang dihidangkan istrinya hanyalah sepotong roti
kering yang dengan segelas air minum, dengan sebutir korma atau dua butir
korma.
Dalam
salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari diceritakan bahwa Aisyah
pernah mengeluh kepada keponakannya, Urwah, seraya berkata, “Urwah, lihatlah,
kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan aku bingung karenanya”.
Urwah bertanya, “Jadi, apakah yang kamu makan sehari-hari?” Aisyah menjawab,
“Paling untuk yang menjadi pokok itu adalah korma dan air, kecuali jika ada
tetangga-tetangga Anshar mengantarkan sesuatu kepada Rasulullah, maka dapatlah
kami merasakan seteguk susu”. Rasulullah menegaskan, “Kami adalah golongan yang
tidak makan kecuali kalau lapar dan jika kami makan tidaklah sampai kenyang”.
Dikisahkan
pula pada suatu hari Rasulullah pergi ke masjid. Disana ia berjumpa dengan Abu
Bakar dan Umar. Ia bertanya, “Apa yang menyebabkan sahabat-sahabat ini keluar
masjid?” Abu Bakar dan Umar menjawab, “Untuk menghibur diri dari lapar”.
Rasulullah berkata pula, “Aku pun keluar untuk menghibur laparku. Marilah kita
pergi ke rumah Abul Hasim, barangkali di sana ada sesuatu yang boleh di makan.
Rasulullah
sering berpuasa sunat, maksudnya antara lain agar saat-saat lapar itu tidak
sia-sia, tetap dalam ibadah kepada Allah. Kerap kali pula ia beribadah di
mesjid. Setelah beberapa waktu berada di mesjid, ia pulang ke rumahnya dan
bertanya kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, adakah hari ini sesuatu yang dapat
dimakan?” Tatkala Aisyah menjawab bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat
dimakan, ia kembali lagi ke mesjid dan menghabiskan waktunya untuk sembahyang
sunat. Beberapa saat kemudian ia kembali ke rumahnya dan bertanya kepada Aisyah
tentang makanan, Aisyah menjawab seperti jawaban semula. Hal seperti itu
dilakukan Rasulullah sampai beberapa kali dan mendapat jawaban yang sama,
sampai akhirnya ia mendapatkan sepotong roti di rumahnya dari pemberian Usman
bin Affan.
Aisyah
menerangkan lebih lanjut bahwa keluarga Muhammad dalam sehari tidak pernah
makan sampai dua kali. Makanan disimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti
untuk dimakan tiga orang. Nabi Muhammad-lah yang pertama kali memberikan contoh
tentang hidup sederhana, tentang menerima apa adanya, menjadikan hidup rohani
lebih tinggi daripada hidup kebendaan yang mewah penuh ria, dan mengajak
manusia untuk meninggalkan berburu kekayaan duniawi berlebihan sehingga
melupakan tujuan hidup manusia yang pokok. Ia pula yang mengajarkan bahwa kekayaan
dan kesenangan duniawi itu tidak abadi, oleh sebab itu ia mengajak kepada
manusia untuk meraih kelezatan hidup yang lebih tinggi dan abadi, yakni dengan
mendekatkan diri kepada zat Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Allah SWT. Hidup
kerohanian tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada
Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ
إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya
:
Tidak
Kami ciptakan manusia dan Kami Tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami
dekat kepada manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya. (QS. Al-Qaf
: 16)
juga
firmannya lagi:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ
Artinya:
Jika
hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat, dan
aku akan mengabulkan seruan yang memanggil jika Aku dipanggil (doa orang yang
memanjatkan doa). (QS. Al-Baqarah :186)
Dari
Ibnu Mas’ud diceritakan bahwa ia pernah masuk ke rumah Rasulullah dan
didapatinya Rasulullah sedang berbaring di atas sehelai anyaman daun korma
sampai memberikan bekas pada pipinya. Dengan rasa haru Ibnu Mas’ud bertanya,
“Rasulullah, apakah tidak baik kalau aku mencarkan sebuah bantal untukmu?”
Rasulullah menjawab, “Aku tidak memerlukan itu. Aku di dunia adalah laksana
seorang yang sedang bepergian, sebentar berteduh di kala hari sangat terik di
bawah naungan pohon kayu yang rindang untuk kemudian berangkat lagi dari situ
ke arah tujuannya”.
Sehubungan
dengan harta benda dikisahkan pula bahwa pada suatu hari pernah diletakkan di
hadapan Rasulullah tujuh puluh ribu dirham emas, pada hari itu juga semua uang
emas itu dibagi-bagikan tanpa sekepingpun yang tertinggal. Dalam kaitan dengan
hal ini diceritakan pula dalam sejarah bahwa ketika Nabi sedang sakit dan
menjelang akhir hayatnya, ia teringat bahwa di rumahnya masih tersimpan tujuh
buah dinar emas. Dalam keadaan sakit payah, ia memanggil ahli rumahnya untuk
segera membagi-bagikan mata uang tersebut kepada fakir miskin. Cerita ini
dibenarkan oleh Aisyah yang mengaku bahwa ia lupa kalau ia menyimpan uang itu,
karena kesibukan mengurus Nabi yang sedang sakit Tatkala orang bertanya
kepadanya, apa yang diperbuatnya dengan tujuh dinar itu, ia menjawab, bahwa ia
segera pergi mengambilnya dan menyerahkan kepada Rasulullah Aisyah bertanya
mengenai bagaimana perasaan Rasulullah ketika menghadap Tuhan dengan mata uang
di tangannya. Lalu Rasulullah membagi-bagikan mata uang itu kepada
fakir-miskin, sedangkan ia sendiri pergi menghadap Tuhannya dengan pakaian yang
kasar. Begitu kesederhanaan Rasulullah, sehingga pada waktu wafat pun ia tidak
meninggalkan untuk keluarganya uang barang sedinar atau sedirham pun.
Abdurahman
bin Auf menceritakan, bahwa pada waktu Nabi wafat tidak ada sesuatu yang
ditinggalkannya, kecuali sepotong roti, sebilah pedang, dan seekor keledai yang
biasa menjadi tunggangannya sehari-hari, serta sebidang tanah yang sudah
diwakafkan.
Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tabrani, dan Baihaqi,
Rasulullah bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, supaya Tuhan mencintaimu. Dan
Zuhudlah pada yang ada di tangan manusia supaya manusia pun cinta akan engkau.
Hidup
secara zuhud sudah dilakukan Rasulullah sebelum ia menjadi Rasul Ketika itu Muhammad
suka menyendiri, berkhalwat atau bertafakur di Goa Hira. Di sana ia memikirkan
dan merenungi alam raya ini dengan segala isinya. Ia renungi semua itu dengan
mata hatinya. Dengan demikian pandangan lahir bathinnya menjadi sangat bersih
dan suci, kepribadiannya sangat sempurna. Ia memang seorang manusia seperti
kita, tapi qalbu yang ada di dalam dirinya bersih dan suci, sehingga ia dapat
dengan cepat menerima dan merasa apa yang bersifat suci. Sungguh layak jika
Muhammad menerima wahyu dari Yang Maha Suci. Fiman Allah:
وَكَذَلِكَ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحاً مِّنْ أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ
وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُوراً نَّهْدِي بِهِ مَنْ نَّشَاء مِنْ
عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya:
Dan
demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula
mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang
Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
(QS. Asy Syuura: 52)
Menurut
Syekh Abdul Baqy Surur, bahwa tahannus Rasulullah di Goa Hira, merupakan
cahaya-cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf, itulah cikal-bakal atau
benih-benih pertama bagi kehidupan kerohanian yang disebut dengan ilham hati
atau renungan-renungan Ruhaniyat.
Cara
hidup Nabi di Goa Hira merupakan gambaran yang lengkap bagi kehidupan sufi.
Renungan-renungan Nabi di Goa Hira mengenai alam raya membawanya untuk
merasakan kebesaran dan keagungan Allah. Di tempat yang sunyi sepi itu pula
Nabi melupakan dan memutuskan hubungan, menjauhkan ingatan dari semua makhluk,
hanya ada satu dalam ingatannya, yakni Allah Swt.
Menurut
para ahli tasawuf, cara-cara yang dilakukan Nabi di Goa Hira merupakan
jalan-jalan pertama dan utama untuk sampai kepada kasyaf, untuk memperoleh
limpahan-limpahan ilham dan untuk memperoleh isyraq atau pancaran Nur dari
Allah. Semua itu ibarat jalan adalah jalan yang mendaki, yakni pendakian bathin
ke arah usaha menghubungkan diri dengan Allah yang Maha Pencipta dan Maha
Agung. Sesudah menjadi Rasul, Rasulullah meneruskan taqarub (mendekatkan diri)
kepada Allah dengan berzikir, istighfar, shalat tahajud sampai jauh malam. Ia
memperkuat bathinnya dengan menjalani hidup kerohanian.
Untuk
itulah Rasulullah menyediakan ruangan khusus di samping mesjid Madinah untuk
tempat tinggal dan pendidikan dalam ilmu agama untuk para sahabat Nabi yang
ikhlas mengikuti perjuangan Nabi menyebarkan Islam dan mau menjalani hidup
kerohanian. Mereka itu disebut Ahl Suffah. Pada mulanya jumlah mereka 400
orang, lambat laun bertambah sampai berlipat ganda. Mereka mempunyai akhlak
yang luhur, iman dan keyakinan mereka sangat kuat, ketawakalan dan keikhlasan
mereka sangat luhur. Rasulullah pernah berkata kepada Abu Hurairah, “Ahl Suffah
itu adalah tamu-tamu orang Islam, mereka tidak mempunyai keluarga, tidak
mencintai harta benda, dan tidak terikat kepada seseorang manusia pun, hatinya
hanya tertuju kepada Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah
keteladanan hidup kerohanian dari Rasulullah kemudian menjadi contoh sikap
hidup para sahabatnya. Imam Ghazali berpendapat, “Bahwa aku yakin benar-benar
kaum suffi itulah yang telah menempuh jalan yang dicontohkan oleh Nabi dan yang
dikehendaki oleh Allah Taala.”
2)
Zaman Sesudah Nabi
Setelah
Nabi Muhammad saw wafat, kekhalifahan Islam diteruskan oleh para sahabatnya,
yakni Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib. Meskipun menjadi khalifah atau kepala negara yang biasanya hidup serba
mewah, namun cara-cara hidup mereka tidak sedikitpun mencerminkan hidup mewah
sebagaimana kehidupan raja-raja pada umumnya. Mereka tetap hidup sederhana,
wara’, tawadhu’, zuhud sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi.
Sebagai
contoh berikut ini dikemukakan salah satu sisi dari kehidupan para khalifah
tersebut. Menurut riwayat bahwa Abu Bakar Siddiq hidup dengan sehelai kain
saja. Terhadap lidahnya sendiri ia berkata, “Lidah inilah yang senantiasa
mengancamku”. Dan ia berkata pula, “Apabila seorang hamba Allah telah dimasuki
rasa berbangga diri karena sesuatu dari hiasan dunia ini, Maka Allah akan murka
kepadanya, sampai perhiasan itu diceraikannya.”
Pandangan
hidup beliau adalah bahwa sifat dermawan adalah buah dari taqwa, kekayaan
adalah buah dari keyakinan dan martabat didapat sebagai buah dari tawadhu’.
Umar
bin Khatab pun memiliki jiwa yang bersih dan kesucian rohani yang tinggi.
Rasulullah pernah berkata tentang diri Umar, bahwa Allah telah meletakkan
kebenaran di ujung lidah Umar dan hatinya. Pangkat khalifah yang merupakan
kekuasaan tertinggi tidak mengurangi nilai kehidupan rohaninya, bahkan sejak
menjadi khalifah kehidupan kerohaniannya semakin ia tingkatkan. Pernah pada
suatu ketika datang kiriman zakat dari negeri Yaman, lalu diadakan pertemuan
besar, karena Khalifah hendak memberikan nasihatnya. Dalam nasihat tersebut ia
mengharapkan agar semua yang hadir mematuhi nasihatnya. Tiba-tiba salah seorang
yang hadir berdiri seraya berkata, “Kami tidak akan taat kepada engkau ya,
Amirul Mukminin!”. Khalifah bertanya, “Mengapa?” Lalu orang itu berkata pula,
“Bagaimana kami akan taat, Tuan membagi-bagikan zakat kiriman yang dari Yaman
ini kepada orang lain, sementara Tuan hanya mengambil sebagian kecil saja,
padahal pakaian Tuan hanya satu persalinan, tidak ada pakaian musim panas dan
tidak ada pakaian musim dingin. Sebelum tuan mengambil satu persalinan lagi,
kami tidak akan taat” Mendengar sanggahan orang itu khalifah Umar merasa sulit
untuk menjawab, lalu ia berpaling kepada puteranya yang bernama Abdullah, dan
berkata, “Hai Abdullah, bagaimana menurut pendapatmu?” Abdullah pun berdiri dan
berkata kepada penyanggah itu, “Jika masalahnya hanya pakaian yang satu
persalinan lagi, biarlah saya yang akan menanggungnya.” Mendengar jawaban
Abdullah, orang yang menyanggah tadi merasa puas dan menyatakan akan patuh dan
taat kepada khalifah.
Usman
bin Affan adalah Khalifah yang ketiga. Ia adalah seorang Khalifah yang berada.
Walaupun ia banyak harta, tetapi ia tetap memperhatikan hidup yang sederhana.
Hartanya digunakan untuk menolong yang lemah, untuk perjuangan mengembangkan
agama Islam. Ia terkenal orang yang senantiasa membaca dan menelaah Al-Qur’an,
Tentang Al-Qur’an ia pernah berkata, “Ini adalah surat yang dikirim oleh
Tuhan-Ku. Tidak layak jika ada seorang hamba melalaikan surat dari tuannya.
Hendaklah senantiasa dibaca, agar supaya segala isi surat itu dapat
dijalankannya.” Menurut riwayat, Usman bin Affan wafat dibunuh oleh pemberontak
ketika sedang membaca Al-Qur’an.
Khalifah
Ali bin Abi Thalib pun tidak kurang ketinggian hidup kerohaniannya. Dalam
tugas-tugasnya yang besar dan mulia, menyebabkan ia tidak perduli bahwa pakaian
yang dikenakannya telah robek. Ketika pakaiannya robek, ia sendiri yang
menambalnya. Pernah orang bertanya, “Mengapa sampai begini, Amirul Mukminin?”
Beliau menjawab, “Untuk mengkhusyu’kan hati dan untuk menjadi teladan bagi
orang yang beriman.
Selain
dari sahabat Nabi yang empat sebagaimana disebutkan di atas, hidup kerohanian
juga dilaksanakan oleh sahabat-sahabat vang lain, di antaranya adalah Huzaifah
bin Yaman. Ia terkenal salah seorang sahabat Nabi yang zahid.
Ia
menjadi tempat bertanya pula mengenai ilmu yang pelik-pelik. Umar sering datang
kepada Huzaifah untuk menanyakan apakah pada dirinya terdapat kesalahan atau
tanda-tanda munafik, atau apa sikap-sikap yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam, kadang-kadang Huzaifah mengecam Umar dan Umar pun dengan ikhlas
memperbaiki atas segala kekhilafannya.
Kepopuleran
Huzaifah tersebar ke daerah-daerah di luar negeri Arab. Demikianlah, Hasan
Basri, seorang tokoh sufi yang terkenal datang berguru kepada Huzaifah.
Sahabat
lain yang dengan tegas menentang gaya hidup mewah adalah Abu Dzar Al-Ghiffari.
Ia melihat bahwa ketulusan beragama sudah mulai lemah, karena pengaruh harta,
dan justru hal yang demikian, bahkan pula dilakukan oleh gubernur Muawiyah,
yang semestinya menjadi teladan dengan berani dan terus terang menentang
pengumpulan harta benda untuk kepentingan diri sendiri. Abu Dzar berpegang
kepada ayat Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ
فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya:
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka berita bukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih. (Q.S At-Taubah:34)
Sikap
Abu Dzar yang demikian, oleh Muawiyah dipandang sebagai pengganggu ketenteraman
umum, Abu Dzar dituduh telah membangkang terhadap pemerintah yang sah dan
melemahkan semangat perjuangan. Fitnah ini disampaikan kepada Khalifah Usman.
Akibatnya, Khalifah Usman mengasingkan Abu Dzar ke luar kotaMadinah, ke sebuah
dusun bernama Rizbah.
Dengan
peristiwa yang dialami Abu Dzar ini, mulailah muncul golongan kaum Zahid, yaitu
golongan yang mengutamakan hidup kebathinan dan kerohanian.
Setelah
Abu Dzar orang yang terkenal menentang cara hidup mewah pada masa sahabat,
terkenal pula nama Said bin Zubair seorang tabi’in yang kuat pribadinya. Ia
seorang zahid yang betul berani mengusir siapa saja yang bersalah, walaupun
yang bersalah itu seorang Khalifah, ia mengangkat Gubernur Irak, seorang tokoh
yang gagah perkasa, namun terkenal kejam, bernama Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi.
Hajjaj tidak segan-segan membunuh orang untuk menegakkan kekuasaan Bani Umayah.
Melihat tindakan semena-mena itu, Sa’id Zubair sangat kecewa. Ia tidak takut
sedikitpun kepada keperkasaan Hajjaj dan tetap berani menegurnya. Tentu saja
Hajjaj merasa tersinggung. Maka dituduhnya seorang pencinta Ali, bermadzhab
Syi’ah, yaitu Mashab yang sangat dibenci saat itu. Sa’id pun ditangkap dan
dijatuhi hukuman mati. Ketika akan dibunuh, Hajjaj berkata kepada algojo,
“Jangan hadapkan mukanya ke arah kiblat, biar dia mati membelakangi kiblat.
Sa’id menjawab, “Kemana pun engkau hadapkan mukaku, disanalah wajah Allah.”
PERTEMUAN
4
F.
Pembahasan Akhlak Tasawuf
Hubungan
antara akhlak dengan tasawuf sangatlah erat bisa dikatakan seperti dua mata
uang, karena untuk mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-proses yang
biasanya dilakukan oleh kalangan mutashawwifin (pengamal tasawuf). Sementara
bagian yang terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian akhlak yang mulia
disamping hal-hal yang terkait dengan kebutuhan.
Apa
yang dilakukan kalangan mutashawwifin akhirnya akan membuahkan pada akhlak
mulia. Namun demikian tidak semua kajian dan pengalaman tasawuf masuk ke bidang
akhlak. Oleh karena itu akhlak tasawuf adalah proses-proses pencapaian akhlakul
karimah melalui metode tasawuf yang diilhami oleh kehidupan para salafus
shalih.
Akhlak
tasawuf ini menjadi penting untuk menghindari kajian akhlak yang hanya berada
pada tataran pemikiran dan wacana yang tentu akan jauh untuk dapat memberikan
bekas pada mahasiswa menjadi orang-orang yang memiliki akhlak mulia. Dilain
pihak akhlak tasawuf juga berguna untuk membatasi kajian salah satu aspek dalam
dunia tasawuf, yaitu tasawuf akhlaki, yang berarti mengesampingkan tasawuf
falsafi.
Secara
singkat akhlak tasawuf memfokuskan pada dataran Tazkiyah al-Nafs (penyucian jiwa)
yang sering diistilahkan juga dengan tathahur, tahaquq dan takhaluq,
membersihkan diri dari sifat madzmumah (tercela) dan menghiasi dengan akhlak
mahmudah (terpuji). Hal yang perlu di perhatikan adalah faktor dari sekedar
fikri (pemikiran) dan nadzari (teoritis).
Selama
ini terlalu banyak orang berbicara akhlak akan tetapi tidak bisa memberi
sibghah menjadikan mahasiswa berakhlakul karimah. Hal ini terjadi karena
pembahasan akhlak biasanya hanya berbicara pada ranah kognitif tanpa disertai
ranah afektif dan psikomotorik. Yang terjadi banyak mahasiswa mendapatkan nilai
tinggi dalam mata kuliah akhlak akan tetapi rendah akhlaknya. Sehingga dari
penyajian akhlak tasawuf secara komprehensif ini diharapkan pembelajaran akhlak
dapat diperoleh hasil semaksimal.
PERTEMUAN
5
SUMBER-SUMBER
AKHLAK TASAWUF
1.
Sumber-Sumber Akhlak Tasawuf
Perlu
diberikan penjelasan lebih dahulu mengapa kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits
dijadikan dasar pokok ajaran Islam. Seperri diketahui, umat Islam memahami dan
meyakini agama Islam sebagai agama “wahyu”. Artinya ajaran agama Islam dibangun
dan didasarkan dari hasil pemikiran, penalaran, perenungan dan semacamnya,
melainkan berdasar "wahyu". Wahyu dipahami dan diyakini umat Islam
secara keseluruhan sebagai kalam Allah SWT (Ucapan Allah SWT) yang tersalurkan
pesan-pesan yang dimuat di dalamnya kepada umat manusia lewat perantaraan
utusan Allah SWT. Kalam Allah SWT ini tidak pernah diintervensi (dicampuri)
oleh manusia dalam hal ini para utusan Allah SWT, baik dari segi substansi
materi maupun instrument kebahasaannya. Begitulah yang diyakini oleh umat manusia
secara keseluruhan sepanjang kesejarahannya. Sementara itu, penjelas dalam
rangka implementasi konkret kalam Allah SWT tersebut dalam kehidupan nyata
sehari-hari umat manusia, utamanya umat Islam, maka pada ucapan, perbuatan dan
persetujuan (taqrir) utusan Allah SWT dalam hal ini Rasulullah Muhammad SAW,
yang disebut al-Hadits. Secara ringkas, al-Hadits merupakan jabaran
fungsional-praktikal dari al-Qur'an yang menyebabkan al-Qur’an jadi living
(hidup) dalam praktek kehidupan, terutama pada masa Rasulullah SAW hidup.
Sementara itu pula metode dan prosedur untuk memahami muatan al-Qur’an disebut
ilmuTafsir.
Oleh
karena ajaran Islam memiliki dasar pokok berupa Qur’an dan al-Hadits, maka
dengan sendirinya Akhlak Tasawuf yang menjadi bagian dari hasil pemahaman
terhadap ajaran Islam itupun sumbernya juga harus dari al-Qur’an dan al-Hadits.
2.
Sumber Al-Qur’an dan Al-Hadits
a.
Sumber Al-Qur’an
Al-Qur’an
menurut bahasa berarti “bacaan” atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah masdar yang
diartikan dengan ism maf’ul yaitu maqru berarti yang dibaca.
Menurut
istilah ahli syara’ al-Qur’an ialah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai mukjizat bagi beliau, wahyu itu diturunkan dalam bahasa
Arab dan disampaikan kepada masyarakat ramai secara mutawatir, baik dengan
lisan maupun tulisan, dan orang yang membaca wahyu mendapat pahala dari Allh
SWT.
Allah
SWT menurunkan al-Qur’an secara berangsur-angsur, sehingga penurunan seluruhnya
memakan waktu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari, yakni mulai dari malam 17
Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW hingga tanggal 9 Dzulhijjaah
hari haji wada’ tahun ke 10 H, atau tahun 63 dari hari kelahiran Nabi.
Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6236 ayat. Sedang kalimatnya
menurut hitungan sebagian ahli 74434 dan hurufnya 325345 huruf. Semuanya
dinukilkan kepada manusia secara mutawatir.
Sebagai
patokan hukum agama Islam, Al-Qur’an di dalamnya terdapat nash-nash yang juga
mengupas tentang akhlak tasawuf.
Istilah
Akhlak Tasawuf terdiri dari dua kata yaitu, akhlak dan tasawuf. Berikut ini
akan dipaparkan sumber dari al-Qur’an mengenai akhlak dan tasawuf.
1)
Akhlak
Dalam
al-Qur’an kata yang berkaitan dengan akhlak diantaranya adalah surat
as-Syu’ara’ ayat 137, yang berbunyi:
إِنْ
هَذَا إِلَّا خُلُقُ الْأَوَّلِينَ
Artinya:
(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang dahulu.
Lalu
dalam surat al-Qalam ayat 4 berbunyi:
وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya:
Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlak sangat mulia.
Dua
ayat ini, baik dilihat dari asal kata dan muatan kata, dapat dijadikan dasar
untuk mengatakan bahwa istilah akhlak memang terdapat dalam al-Qur’an. Hanya
saja bila dilihat dari konteks ayat, terdapat perbedaan muatan akhlak di
dalamnya. Dalam surat as-Syu’ara ayat 137 istilah akhlak diartikan sebagai
“adat kebiasaan buruk” dari seorang umat nabi Hud AS., sedangkan istilah akhlak
yang termuat dalam surat al-Qalam ayat 4 adalah dalam konteks budi pekerti yang
agung atau luhur” dari sosok nabi Muhammad SAW. Berdasarkan keterangan
tersebut, maka akhlak dapat disebut “akhlak yang baik” dan juga disebut “akhlak
yang buruk”.
2)
Tasawuf
Istilah
tasawuf secara eksplisit kebahasaan tidak pernah disebut dalam al-Qur’an.
Sebagian besar ulama tasawuf sepakat bahwa masalah tasawuf tersebut secara
implisit (tersirat) dan termuat dalam istilah “zuhud”. Sementara itu istilah
zuhud ( ) yang berarti orang yang tidak merasa tertarik terhadap sesuatu, hanya
terdapat satu kali ditulis dalam al-Qur’an yaitu dalam surat Yusuf ayat 20:
وَشَرَوْهُ
بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ وَكَانُواْ فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ
Artinya:
Dan mereka menjual yusuf dengan harta yang murah, yaitu beberapa dirham saja,
dan mereka (anggota kafilah dagang) itu tidak merasa tertarik hati mereka
terhadapnya (Yusuf).
Dari
cara penelusuran payung ayat seperti di atas, maka banyak konsep dalam ajaran
Tasawuf (yakni ajaran tasawuf yang telah disistem menjadi sebuah disiplin ilmu
fann al-‘ilm) yang dicari-carikan paying ayatnya dalam al-Qur’an, sekedar
contoh yang dikutipkan dari beberapa kata kunci mengenai maqam (terminal
ruhani), antara lain kata-kata kunci: taubat, sabar, faqr, zuhud, tawakkal,
mahabbah, ma’rifah, ridha dan sebagainya.
Kata
kunci “taubat” antara lain di dasarkan pada Surat al-Baqarah ayat 222:
إِنَّ
اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya
: . . . .Seseungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan Dia
menyukai orang-orang yang menyucikan diri.|
Kata
kunci “sabar” antara lain didasarkan pada surat al-Mu’min atau Ghafir ayat 55
yang berbunyi:
فَاصْبِرْ
إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ
Artinya:
Maka bersabarlah engkau, karena sesungguhnya janji Allah itu benar.....
Kata
kunci “Faqr”' dikaitkan dengan surat Thaha ayat 2:
مَا
أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
Artinya:
Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar menjadi sengsara.
Kata
kunci “tawakkal” dikaitkan dengan surat ath-Thalaq ayat 3 berbunyi:
وَمَن
يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Artinya:
....dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan) nya.
Kata
kunci “mahabbah” dikaitkan antara lain dengan surat Ali Imran ayat 31:
قُلْ
إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
Artinya:
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mencintaimu dan Dia akan mengampuni dosa-dosamu....”
Kata
kunci “ma’rifah” dikaitkan antara lain dengan surat Qaf ayat 16:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ
إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya:
Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat dengannya daripada urat lehernya.
Yang
terakhir kata kunci “ridla” dikaitkan dengan surat al-Maidah ayat 119:
رَّضِيَ
اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya:
....Allah ridla terhadap mereka dan merekapun ridla terhadap-Nya; itulah
keberuntungan yang sangat besar.
Mencermati
contoh-contoh ayat di atas, maka dalam peristilahan maqam ada beberapa kata
kunci yang dari asal kata-katanya memang dapat dirujukan pada al-Qur’an,
seperti kata kunci “taubat” (Surat al-Baqarah ayat 222), “sabar” (Surat
al-Mu’min/Ghafir ayat 55), “zuhud” (Surat Yusuf ayat 20), “tawakkal” (Sura
at-Thalaq ayat 3), “mahabbah” (Surat Ali Imran ayat 31), “ridla” (Surat
al-Maidah ayat 119). Sementara itu kata kunci “faqr” (Surat Thaha ayat 2) dan
kata kunci “ma’rifah” (Surat Qaf ayat 16) dipahami secara implisit terhadap
muatan pesan ayat-ayat tersebut.
Selain
itu kandungan al-Qu’an juga memuat ajaran-ajaran tasawuf, antara lain:
a)
Memperbaiki aqidah dan meluruskan aqidah umat yang sudah rusak binasa oleh
kehendak nafsu buruk.
b)
Menetapkan aturan-aturan hukum dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia
dengan sesamanya dan manusia dengan benda.
c)
Membersihkan hati, sehingga haluan hidup tampak dengan jelas. Karena hati yang
telah bersih akan menumbuhkan perangai-perangai yang terpuji dan akhlak yang
mulia. Allah SWT berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا
فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
Hai manusia telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan pernyembah bagi
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman.
Al-Qur’an
ini yang menjadi sumber pertama dan utama dari tasawuf Islam. Dari al-Qur’an
ini dapat digali pelajaran-pelajaran untuk menjadi obat hati dan penawar jiwa
yang sedang menderita penyakit-penyakit riya’, hasad, takbur, ujub dan
sebagainya.
d)
Kandungan al-Qur’an yang lain ialah kisah-kisah umat purbakala seperti kaum
‘Ad, Tsamud dan lain-lain, atau kisah-kisah pribadi seperti kisah para Rasul,
Khidir, Dzul Qarnain dan sebagainya yang semuanya itu untuk menjadi wa’ad dan
wa’id atau menjadi targbib yang menggemarkan orang berbuat taat dan menakuri
mereka dari berbuat jahat. Yang juga patut dicatatkan di sini dalam kaitannya
dengan pencarian sumber dalam ayat-ayat al-Qur’an ini adalah bahwa nampaknya
para shufi (pelaku kehidupan thasawuf) lebih merasa mantap jika dasar aktifitas
ketasawufan mereka itu dapat didukung dalam al-Qur’an. Sebabnya adalah bahwa
sumber dalam ayat-ayat al-Qur’an itu kewibawaannya dianggap lebih tinggi dari
pada diambilkan dari al-Hadits, misalnya. Kemantapan seperti ini antara lain
disebabkan al-Qur’an oleh seluruh umat Islam tidak diragukan lagi kebenarannya,
baik dari segi susunan kebahasaan, redaksi dan isi pesannya. Sementara itu
keshahihan al-hadits masih perlu dikoreksi. Sebab, harus diakui tidak semua
hadits adalah shahih, baik itu dari sudut sanad (periwayatan dari satu
periwayat kepada periwayat yang lainnya) ataupun dari sudut matan (wujud teks
hadits yang bersangkutan). Bahkan ada hadits yang digolongkan palsu (maudlu’).
Karena itu al-Qur’an menjadi sumber pertama sedangkan al-Hadits menjadi sumber
kedua, apabila dalam al-Qur’an belum dijelaskan secara terang maka rujukan
keduanya adalah al-Hadits.
b.
Sumber Al-Hadits
Sumber
hukum ini berarti merujuk terhadap Sunnah Nabi yang disebut dengan al-Hadits.
Menurut etimologi bahasa, as-Sunnah berarti jalan yang harus dijalani. Menurut
ahli Syara’, Sunnah ialah jalan yang dijalani dalam bahasa, karena telah biasa
dijalani oleh Rasulullah SAW, dan para ulama salaf yang salih sesudah wafat
Rasul SAW.
Sunnah
itu ada kalanya qauliyah yaitu, segala yang diucapkan oleh Nabi SAW, adakalanya
Sunnah bersifat fi’liyah, yaitu segala yang diperbuat Nabi Saw untuk syariat,
adakalanya taqririyah, yaitu segala perbuatan sahabat di hadapan Nabi atau Nabi
melihat orang mengerjakan sesuatu tanpa teguran dari beliau. Dan adakalanya
Sunnah itu tarkiyah yaitu suatu perbuatan yang mungkin dilaksanakan oleh Nabi,
tetapi beliau tidak mau mengerjakannya.
Istilah
Sunnah ini kemudian lebih biasa dipakai dengan istilah Hadits. Hadits (Sunnah)
adakalanya shahih dan adakalanya dha’if. Hadits shahih ialah yang mempunyai
sanad yang tersambung sampai kepada Nabi Saw, semua sanadnya tidak cacat dan
matan haditsnyapun tidak bertentangan dengan al-Qur'an. Adapun Hadits yang
dla'if adalah kebalikan dari yang shahih.
Dalam
kedudukannya sebagai sumber, Hadits atau As-Sunnah mendapat tempat sesudah
al-Qur’an, hal ini sesuai dengan bunyi hadits:
Artinya:
Aku tinggalkan padamu dua pedoman, sekali-kali kamu tidak akan sesat sesudahnya
selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik).
Pada
penjelasan Hadits ini akan diuraikan sumber-sumber dari al-Hadits yang
berkaitan dengan akhlak tasawuf.
1)
Akhlak
Istilah
akhlak yang dikaitkan dengan al-Hadits memang ada dasarnya. Di sini akan
dikutipkan beberapa hadits yang secara eksplisit menyinggung istilah akhlak
tersebut sebagai berikut:
Nabi
berkata:
Artinya:Bahwasannya
aku dibangkitkan (diutus) adalah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak. (HR.
Baihaqy).
Hadits
lain menyebutkan:
Artinya
:Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling baik
akhlaknya (H.R.Tirmidzi).
Pesan
yang dimuat oleh kedua hadits di atas adalah searah, yaitu bahwa masalah akhlak
sangat dipentingkan berkaitan dengan masalah kerisalahan (keutusan) Nabi
Muhammad Saw dan juga berkaitan dengan masalah keimanan (keyakinan teguh bagi
seluruh manusia Islam.
2)
Tasawuf
Berkaitan
dengan sumber dari al-Hadits mengenai tasawuf, semua ulama tasawuf hampir
sepakat mengatakan bahwa istilah tasawuf belum pernah dikenal dalam
hadits-hadits Rasulullah Muhammad SAW. Justru yang diperkenalkan oleh
Rasulullah Saw adalah istilah ihsan. Salah satu potongan hadits yang berbicara
tentang ihsan menyatakan sebagi berikut:
Artinya:(Tamu
Rasulullah) bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang disebut ihsan? Nabi
menjawab: Hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka
jika engkau tidak dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia
melihatmu (HR. Muslim)
Jika
direnungkan secara mendalam, sebenarnya ajaran ihsan ini sudah sangat mendalam.
Di sini sudah ditekankan adanya unsur kesadaran dan penghayatan ketuhanan.
Allah Swt seolah-olah sebagai pengontrol pada prilaku manusia dan sekaligus
sangat dekat dengan manusia dalam kehidupannya. Sayangnya istilah dan konsep
ini tidak dikembangkan lebih lanjut oleh para ulama Islam sampai tingkat
pelaksanaan teknis. Malahan mengintroduksi istilah baru yang diberi nama
“tasawuf”. Tetapi begitulah kenyataan kesejarahan umat Islam yang harus diakui,
walaupun sebenarnya getir menerimanya.
Al-Qur’an
memang layak menjadi sumber muatan ajaran Akhlak Tasawuf, Sebab, muatan
al-Qur’an pada hakekatnya adalah dunia akhlak. Bahkan ada sebutan yang
dinyatakan oleh Siti Aisyah bahwa akhlak Nabi Muhammad Saw adalah “akhlak
al-Qur’an”. Sementara Nabi menyampaikan bahwa kebangkitannya menjadi seorang
Rasul adalah juga dalam kerangka besar penyempurnaan akhlak. Pernyataan Rasul
tersebut dikuatkan oleh al-Qur'an:
Artinya
: Sungguh adalah dalam diri Rasulullah itu bagimu sebagai suri tauladan yang
baik (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
Hari Akhir dan dia banyak menyebut Allah.
Pada
hakekatnya akhlak yang dibangun oleh al-Qur’an adalah akhlak yang mendapat
pencerahan berdasar prinsip ihsan, yang bagi penyuka istilah tasawuf disebut
akhlak tasawuf. Jika disiplin menurut peristilahan al-Qur’an dan al-Hadits,
maka istilah yang lebih tepat adalah akhlak ihsan.
Sosok
Nabi Muhammad yang dijadikan sumber keteladanan akhlak tasawuf (akhlak ihsan)
adalah segala tindakan nabi yang menyangkut kerisalahan (kerasulan), bukan yang
bersifat basyariyah (biologis). Tindakan Nabi yang bersifat basyariyah ini
misalnya gaya berjalan, gaya berlari, cara berkedip, macam suara (intonasi
suara), cara tersenyum dan sebagainya. Ini semua adalah pembawaan lahir.
Sementara itu, yang berkaitan dengan kerisalahan (kerasulan) menyangkut norma
atau aturan yang dituntunkan oleh Allah Swt lewat kalam-Nya (wahyu). Disitulah
baru terjadi proses uswatun khasanah (keteladanan yang baik). Pribadi dalam
konteks kerisalahan (kerasulan) yang senantiasa disinari oleh wahyu inilah yang
memungkiikan Nabi Muhammad SAW memiliki sifat ma’shum (terjaga dari prilaku
ma’siyat) atau prilaku yang keluar dari garis kerisalahannya). Dapat dibayangkan
betapa berat diri Nabi dalam membina dan mempertahankan dirinya sebagai sosok
yang uswatun khasanah yang senantiasa harus terjaga dari prilaku ma’siyat
(sifat ma’shum) itu. Hanya orang-orang yang benar-benar terpilih dan manusia
pilihan saja yang sanggup memikul tugas seperti ini.
PERTEMUAN
6
LATAR
BELAKANG TIMBULNYA STUDI TENTANG
AKHLAK
TASAWUF
A.
Latar Belakang Timbulnya Studi Tentang Akhlak Tasawuf
1.
Latar Belakang Studi Akhlak
Ketika
Nabi Muhammad diutus (dibangkitkan menjadi rasul), keadaan moralitas suku-suku
di Arabia menurut para ahli sejarah Islam bisa disebut sebagai zaman jahiliyah.
Dalam zaman itu dapat dicatatkan hal-hal sebagai berikut:
1)
Jual beli hamba sahaya. Hamba sahaya ini biasanya berasal dari tawanan perang
antar suku. Suku yang kalah dalam perang langsung dijadikan budak (hamba
Sahaya) bagi suku yang menang. Sebagaimana diketahui, dalam masyarakat dikenal
istilah ayyam al-‘arab yang artinya hari-hari orang Arab yang diselimuti dengan
suasana siap perang. Bagi suku-suku yang memiliki oase atau sumber-sumber air
untuk keperluan ternak, maka mereka harus senantiasa siap untuk berperang untuk
mempertahankan hak milik mereka dari incaran musuh yang terus menerus
mengintai. Untuk itu, sudah menjadi tradisi bahwa bagi kaum pria sejak kecil
dilatih untuk memanah, berenang dan segala jenis alat perang lain. Mereka
sangat bangga jika dalam suku mereka lahir anak laki-laki, lalu biasanya
melakukan pesta di kalangan mereka. Jelasnya, pada waktu itu terjadi adagium:
siapa kuat dialah yang menang dan memiliki. Karena itu, bagi suku yang kuat
maka merekalah biasanya yang memiliki banyak budak (hamba sahaya). Lalu
terjadilah transaksi jual beli budak itu.
2)
Mengubur bayi perempuan. Kaum perempuan waktu itu dianggap sebagai sarana reproduksi
anak atau pemuas keinginan biologis kaum pria. Pria yang memiliki banyak isteri
adalah kebanggaan. Karena dalam peperangan yang biasanya keras dan brutal itu
perlu kecepatan dan kelincahan gerak, maka kaum perempuan dianggap menyulitkan.
Karena itu jumlahnya dibatasi. Untuk itu, jika jumlah perempuannya sudah
dianggap cukup maka bayi perempuan dikubur hidup-hidup.
3)
Mengurangi timbangan dan ukuran. Mata pencaharian terpokok waktu itu
adalah berdagang. Agar cepat dapat untung perdagangannya, maka mereka cenderung
licik dalam menimbang dan mengukur barang dagangannya.
4)
Menyembah berhala. Untuk meraih keuntungan yang berlebih, mereka juga merasa
perlu meminta roh-roh nenek moyang dengan cara menyembah patung-patung
(berhala) dari batu yang dibuat sendiri.
5)
Melakukan nujum nasib dan minum minuman keras, Mereka suka sekali dalam hal
ramal-meramal nasib, termasuk suka pesta lewat minum-minuman keras.
6)
Melakukan tindakan riba. Yaitu melakukan utang piutang dengan cara
bunga-berbunga. Akibatnya sangat mencekik leher para peminjam utang. Dan masih
banyak lagi hal-hal yang bersifat negatif.
Dalam
kondisi seperti itulah Rasulullah SAW lahir dan hidup. Rasulullah SAW sangat
prihatin melihat kenyataan kehidupan sosial seperti itu. Oleh karena itu sangat
logis jika Rasulullah SAW memproklamasikan bahwa kerisalahannya (kebangkitannya
menjadi seorang rasul) adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan akhlak
masyarakat pada waktu itu. Jadi, kesadaran tentang akhlak sudah ada sejak
Rasulullah Saw masih hidup. Keteladanan Nabi Muhammad SAW juga dalam kerangka
pembangunan akhlak.
Dalam
perjalanan sejarah berikutnya, para ulama mulai mencoba mensistematisasikan
praktek akhlak al-Qur’an dan keteladanan Rasulullah Saw ini. Tokoh yang mencoba
mensistematisasikan akhlak ini antara lain adalah Ibnu Miskawih (932-1030 M)
yang menulis kitab Tahdzib al-Akhlaq. Setelah itu disusul oleh Abu Ahmad
al-Ghazali (1056-1111 M) dan lain sebagainya. Sejak itu perhatian terhadap
masalah akhlak terus berkembang, apalagi setelah dunia Islam mulai berkenalan
dengan filsafat Barat tentang etika.
2.
Latar Belakang Studi Tasawuf
Seperti
diketahui pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, tidak dikenal sebutan
tasawuf. Yang ada justru dari Rasulullah Saw ketika beliau mengintrospeksi
istilah “ihsan”, yang digandengkan dengan istilah “iman” dan “Islam”. Setelah
Rasulullah wafat masuklah ke zaman Khulafa’al-Rasyidin yang dalam sejarah Islam
dicatatkan 4 (empat) orang sahabat dekat Rasulullah yang meneruskan
pemerintahan (khalifah) Islam yang berpusat di Madinah. Sahabat Nabi tersebut
adalah, Abubakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan All bin Abi Thalib.
Setelah pemerintahan Ali bin Abi Thalib berakhir, bergeserlah sistem
pemerintahan Islam itu mirip dengan kekaisaran Romawi atau Persia. Seiring dengan
mulai terjadinya pergeseran itu, nampaknya masalah kemewahan hidup yang
terpusat di pusat-pusat pemerintahan membuat gerah bagi sebagian umat Islam
waktu itu. Kelompok ini beranggapan bahwa cara dan gaya hidup para penguasa dan
para lingkaran elit waktu itu telah keluar dari contoh hidup dari Rasulullah
SAW. Kelompok inilah yang kemudian menyisihkan diri untuk mencermati ulang dan
mencontoh kehidupan Rasulullah Saw. Sikap menentang arus ini dimulai dari kota
Basrah dengan tokohnya antara lain Hasan al-Basri dan kota Kufah yang relative
disebut lebih pedalaman (dengan tokohnya Abu Hasyim al-Kufi).
Mula-mula
para penentang gaya hidup mewah tersebut melakukan amaliah nyata dalam
kehidupan sehari-hari sejauh kepahaman mereka tentang bagaimana cara hidup Rasulullah
Saw. Lama-kelamaan apa yang mereka lakukan itu dikemas dengan istilah-istilah
teknis, misalnya istilah maqam, hal, suluk dan sebagainya. Dari sinilah mulai
disiplin ilmu tasawuf.
Dalam
perjalanan selanjutnya, kehidupan sufistik itu kemudian melebar menjadi lembaga
tarekat setelah al-Ghazali mempopulerkan tentang tasawuf ini melalui kewibawaan
kitab-kitabnya. Lalu timbulah peristilahan yang lebih kompleks lagi, seperti
zawiyah, mursyid, muraqabah, tawajjuh, wall dan sebagainya.
Kehidupan
tasawuf dan berbagai perkembangannya itu arahnya adalah untuk menambah
ketajaman umat Islam terhadap akhlak. Sehingga studi akhlak dan tasawuf di
kalangan Sunni lebih dikenal disiplin Ilmu Akhlak Tasawuf.
B.
Fungsi Akhlak Tasawuf
a.
Fungsi Umum
Secara
umum fungsi akhlak tasawuf ini dapat dilihat dari dua aspek yaitu, pertama
menyangkut kesejarahan akhlak tasawuf sejak lahir dan paradigmanya masih
tersisa sampai sekarang dan kedua, memotret realitas fungsi akhlak tasawuf yang
ditangkap oleh manusia modern dewasa ini. Satu persatu akan digambarkan sebagai
berikut:
Untuk
aspek pertama, yaitu menyangkut kesejarahan akhlak tasawuf sejak lahir dan
paradigmanya masih tersisa sampai sekarang. Maka akhlak tasawuf akan dapat
berfungsi sebagai:
1)
Mengembalikan akhlak Rasulullah Saw menjadi acuan kehidupan sehari-hari umat
Islam.
Di
sini, format akhlak Rasulullah Saw harus menjadi koridor umat Islam terutama
dalam mengarungi lautan kenikmatan dan kemewahan kehidupan duniawi, agar tidak
kebablasan. Ini bukan harus kembali ke dalam padang pasir seperti zaman
Rasulullah Saw, melainkan agar umat Islam tidak jatuh ke dalam Lumpur
Kenikmatan dan kemewahan duniawi dan meninggalkan sifat religiusitas dan
kesederhanaan mereka. Fungsi pertama ini mencuat karena setiap kali para elite
pemerintahan dan perekonomian itu diingatkan lewat himbauan keakhlakan
Rasulullah Saw kebanyakan didengar sambil lalu. Akibatnya dari pihak
pengritiknya menjadi mengeras, tidak cair. Para petinggi pemerintahan dan
perekonomian ini lebih komitrnen terhadap “kekuasaan” daripada dakwah islamiyah
(dalam arti teknis).
2)
Menyeimbangkan kehidupan duniawi yang serba hingar bingar dengan kehidupan
spiritual yang serba teduh dan hening. Atau dengan kata lain, memasukan nilai
spiritualitas terhadap setiap sektor kehidupan. Dengan adanya fungsi ini,
sebagai misal, mulai popular sebutan “fiqh sufistik”. Ini terjadi pada masa
Al-Ghazali yang mengintroduksi nuansa sufistik ke dalam fiqh agar pelaksanaan
fiqh tidak sekedar formalisme (yang kehilangan ruh). Spiritualitas, dalam
fungsi ini, diharapkan memberi warna untuk meningkatkan kadar religiusitasnya.
Dunia pemerintahanpun juga mulai diintervensi oleh al-Ghazali dengan akhlak
tasawuf ini dengan cara melayangkan surat-surat kepada para elitik di
pemerintahan.
Pada
wilayah grass-root (akar rumput) menyeruak kehidupan tarekat (dengan segala
plus minusnya) agar kehidupan berdasar akhlak tasawuf bisa menjadi imbangan
bagi kehidupan para elitik pemerintahan dan perekonomian. Di sini sudah terjadi
pengkutuban antara “elitik pemerintahan” dengan “populis kerakyatan” yang
aberbasis pada akhlak tasawuf. Untuk aspek pertama ini terdapat dampak yang
kurang menguntungkan pula, yaitu ketika lembaga tarekat masuk ke wilayah
grass-root (akar rumput) secara luas di tengah-tengah masyarakat. Dampak ini
ialah timbulnya proses-proses elitisasi dalam lembaga tarekat. Di dalamnya
mulai menancap kuat atratifikasi social antara lapisan yang disebut “mursyid”
dengan lapisan yang disebut “murid”. Hubungan dari kedua lapisan ini sangat
vertikal (paternalistik, kebapakan). Dengan demikian ada dua lapisan social
yang nampak, yaitu “pemerintah-rakyat” dan “mursyid-murid”. Kalangan awam
terjepit oleh pengaruh wibawa dua lapisan di atasnya, yaitu pemerintah (dalam
konteks pemerintahan), dengan mursyid (dalam konteks sosial keagamaannya).
Kondisi ini sebenarnya tidak boleh terjadi, terutama untuk lembaga tarekat.
Namun kenyataannya masih berlangsung sampai detik sekarang ini. Adagium seperti
“kewalian”, “keberkahan”, “kualat”, “karamah”, “weruh sadurunge winarah” dan
sebagainya masih terdengar nyaring sampai detik sekarang ini. Jika hal ini
terus menerus masih terjadi, maka akan menjadi batu hambatan terkonstruksinya
akhlak tasawuf yang lebih elegan (anggun) dalam menghadapi perbaikan social di
zaman global seperti sekarang ini.
Untuk
aspek kedua, akhlak tasawuf berfungsi sebagai:
3)
Peneduh jiwa karena hilangnya kebermaknaan hidup dalam zaman kemajuan ilmu dan
tekhnologi. Dalam masyarakat yang sudah maju, nampaknya mulai timbul kemuakan
dan kebosanan serta rasa kekosongan makna hidup yang luar biasa. Piranti dan
servis kesejahteraan hidup hampir terpenuhi semuanya. Pasar, toko, super market
(bahkan sekarang mulai ada hyper market), mall, ruang pameran dan sebagainya
telah dipenuhi segala macam kebutuhan dan piranti hidup. Orang-orang modern
dewasa ini seolah-olah telah dimanjakan oleh keadaan. Mereka menjadi merasa
kurang tertantang. Akibatnya kebosanan menjadi-jadi, alam kondisi jiwa dan
psikologis seperti itu nampaknya fungsi Pertama dari aspek ke dua ini menjadi
niscaya. Orang mengatakan hilangnya kebermaknaan hidup ini pasti mengiringi
bagi sebuah proses kemajuan yang secara terus menerus akan diusahakan dan
diraih oleh umat manusia, baik pada masa kini maupun masa mendatang.
4)
Pengeram psikologis dari kehidupan yang diwarnai penuh persaingan (kompetisi).
Dalam suasana seperti itu bagi kelompok manusia yang merasa kurang kuat dalam
bersaing, sementara tuntutan untuk ingin bersaing juga tidak surut, maka
timbullah stress (tekanan psikologis yang berat). Dalam kondisi orang seperti
ini maka akhlak tasawuf merupakan medium untuk mengendor ketegangan psikisnya.
Disinilah fungsi kedua akhlak tasawuf untuk aspek kedua ini menjadi niscaya.
5)
Penguat kesadaran kebersamaan hidup. Pada zaman yang maju dalam hal ekonomi, ilmu,
teknologi rasa keakuan (egoisme) cenderung menguat tajam. Bisa dikatakan citra
individualisme menguasai di seluruh sector kehidupan. Karena egoisme meninggi,
maka rasa keterancaman menjadi menguat. Orang lain yang sebenarnya menjadi
kawan justru dianggap sebagai lawan atau musuh yang dianggap terus mengintai
yang akan menyerangnya. Dalam kondisi seperti itu ketegangan psikologis
(psychologicaltension) menjadi meninggi, maka timbullah kecemasan (anxety),
bahkan ketakutan (phobia). Karena itu orang menjadi haus terhadap pemecahan apa
yang harus dilakukannya. Akhlak tasawuf mengajarkan perlunya kesadaran
kebersamaan dalam kehidupan. Bahwa di alam dunia yang fana ini tidak ada orang,
kelompok, bangsa, bahkan Negara yang dapat hidup senang sendiri dan dapat hidup
sendiri. Yang ada adalah adanya saling ketergantungan (dependency) satu sama
lainnya. Jika kesadaran kebersamaan hidup ini berhasil dihayati dan dibiasakan
dalam kehidupan, maka kecemasan dan ketakutan akan menurun tajam. Ketika
menghadapi orang lain, maka tidak dianggap sebagai lawan atau musuh yang akan
menyeranginya, melainkan sebagai calon kawan dan teman untuk berbagi pendapat
dan perasaan. Falsafah Barat yang mengintroduksi pandangan individualisme,
hak-hak asasi dan “pasar bebas”, maka orang ingin menguasai sebanyak banyaknya
dan kalau perlu seluruhnya (kemilikan tunggal). Oleh karena itu akhlak tasawuf
cenderung mampu menjadi paying perlindungan akan mampu berkiprah dalam kondisi
seperti ini. Dalam akhlak tasawuf ditekankan prinsip “keadilan dan kesetaraan”.
Dua prinsip ini dalam dunia modern sekarang ini sering terjadi
hambatan-hambatan dalam pelaksanaan atau prakteknya.
Ada
sebuah tantangan untuk fungsi aspek ke dua akhlak tasawuf, yaitu adanya opini
baru dengan munculnya apa yang disebut “etika global”. Konsep ini dirilis
pertama kali dirilis oleh Hans Kung guru besar kajian agama di Universitas
Tubingen Jerman. Gagasan ini lalu di deklarasikan dalam forum pertemuan
Parlement of the World’s Religions (Parlemen Agama-agama Dunia). Teks final deklarasi
“etika global” ini ditanda tangani hampir 200 orang delegasi agama-agama dunia.
Dalam menghadapi perkembangan etika global seperti ini, maka sudah semestinya
studi akhlak tasawuf harus bekerja keras agar tidak kalah lajunya dalam
menghadapi perkembangan kemajuan dunia dengan segala perubahan social yang ada
di dalamnya. Adalah tidak dapat diterima kalau dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa
Islam (dengan symbol kerasulan Muhammad SAW) adalah rahmatan lil ‘alamin, lalu
daya paying akhlak tasawuf hanya terbatas lingkupnya untuk umat Islam saja.
Parlemen Agama-agama Dunia ketika merumuskan deklarasi etika global berdasar
kerjasama internasional secara organisatoris yang rapih dan terencana. Bukan
suatu kemustahilan jika umat Islam akan merumuskan Akhlak Tasawuf untuk
memenuhi tuntutan rahmatan lil 'alamin. Barangkali kuncinya terletak pada niat
bulat, kemauan bekerja keras dan manajemen kerja secara organisatoris yang
rapih dan terencana dengan baik. Inilah tantangan masa depan akhlak tasaawuf
untuk masyarakat dunia modern seperri sekarang ini ataupun untuk masa depan.
b.
Fungsi Khusus
Fungsi
akhlak tasawuf secara khusus adalah berkaitan dengan kesehatan mental atau jiwa
manusia. Fungsi tersebut diantaranya adalah :
1)
Membersihkan hati dalam berhubungan dengan Allah
Hubungan
manusia dengan Allah dalam bentuk ibadah tidak akan mencapai sasarannya jika
tidak dengan kebersihan hati dan selalu ingat dengan Sang Penciptanya.
Misalnya, dalam shalat. Shalat diperintahkan Tuhan, karena efeknya adalah
mencegah manusia dari berbuat tidak baik. Efek ini tidak dapat dicapai oleh
manusia jika shalat itu tidak dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan
kekhusy’an. Sebagaimana sabda Nabi:
Artinya:
Berapa banyak orang yang berdiri shalat, yang bagiannya dari shalatnya hanya
penat dan letih semata (HR. Baihaqy).
Maksud
hadits di atas adalah sesuatu yang menyebabkan shalatnya sia-sia yaitu karena
kekurangan “syarat bathin” dalam shalat. Syarat bathin itu adalah kebersihan
jiwa yang menjadi sumber ikhlas, khusyu’, dan khudhu’. Dan untuk menumbuhkan
yang demikian itu maka diperlukan mempelajari ilmu akhlak tasawuf.
2)
Membersihkan jiwa dari pengaruh materi
Kebutuhan
manusia itu bukan hanya pemenuhan tubuh materi saja, tetapi dia mempunyai
bathin yang disebut jiwa yang memerlukan kebutuhan pula. Tubuh lahir manusia
akan merasa puas bila diberi makanan dengan protein nabati dan hewani, dengan
demikian ia akan sehat. Kebutuhan lahiriyah manusia erat hubungannya dengan
jiwanya. Kebutuhan lahiriyah ini timbul karena adanya dorongan jiwa untuk
mempertahankan dan melindungi tubuh dari berbagai ragam bahaya yang bisa
merusakannya, seperti panas, dingin dan sebagainya yang berasal dari makhluk
hidup lainnya. Untuk melindungi bahaya inilah pada mulanya manusia berpakaian,
memakai senjata dan lain-lain. Tetapi dewasa ini pakaian bukan lagi digunakan
untuk maksud pertama tadi. Kini pakaian dipakai untuk menjaga gengsi. Karena
itu dipilihlah mode-mode yang terbaru dan termodern. Mode-mode ini setiap bulan
selalu berubah. Begitu pula dengan kebutuhan-kebutuhan lain seperti rumah,
tempat tinggal, mobil, kursi dan alat-alat perabot lainnya. Orang pun sibuk
mencari uang untuk memenuhi kebutuhan lahiriyahnya saja. Akhirnya orang lupa
diri. Mereka tidak tahu akan kebutuhan jiwanya lagi, karena memuaskan kebutuhan
lahiriyahnya saja yang dipengaruhi nafsu. Satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan manusia dari godaan materi adalah dengan membersihkan jiwanya.
Jalan untuk itu ialah dengan pelajaran agama, yaitu pada bidang akhlak tasawuf.
3)
Menerangi jiwa dari kegelapan
Jiwa
manusia selalu gelisah, sebagaimana firman Allah. Swt:
Artinya:
Kami jadikan manusia itu bersifat keluh kesah.
Masalah
materi sering menjadi sangat besar pengaruhnya atas jiwa manusia. Benturan di
dalam mencari dan mengejar materi atau mengejar apa saja yang diinginkan
manusia sering menjadi masalah bagi manusia itu sendiri bahkan kemudian timbul
menjadi penyakit. Penyakit-penyakit seperti resah, cemas, patah hati sebagai
akibat dari masalah-masalah di atas (termasuk di dalamnya sifat-sifat buruk
manusia seperti hasad, takabur dan sebagainya) hanya dapat disembuhkan dengan
obat yang datang dari ajaran-ajaran agama, khususnya ajaran yang berobyekan
bathin manusia yaitu akhlak tasawuf.
4)
Memperteguh dan menyuburkan keyakinan beragama
Hati
akan teguh di dalam keyakinannya bila selalu disirami dengan
pelajaran-pelajaran yang bersifat ruhaniyah. Kekuatan umat Islam di masa rasul
bukan karena kekuatan fisik dan senjata, tetapi ialah pada kekuatan mental dan
spiritualnya. Sebaliknya kemunduran umat Islam di masa keemasannya bukan karena
akibat musuh semata, tetapi karena hidup materialis yang tidak lagi
memperhatikan kebutuhan jiwa. Bila ajaran akhlak tasawuf diberikan pada hamba
Allah akan bertambah subur pula keimanannya. Segala amal perbuatan akan membuahkan
kebaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain
5)
Mempertinggi akhlak manusia
Dengan
memiliki hati yang suci dan bersih dan selalu di sirami dengan ajaran-ajaran
Allah dan Rasul-Nya maka akan semakin tinggi akhlak manusia. Ajaran akhlakul karimah
atau munjiyat di bahas secara panjang lebar dalam akhlak tasawuf. Tujuannya
adalah untuk membersihkan manusia dari akhlaqul madzmumah atau al-Muhlikat.
Pembersihan ini dinamai takhalli.
Bila
manusia ini telah kosong dari perangai-perangai tercela, maka memulainya dengan
diisi dengan akhlaqul al-karimah (akhlak yang terpuji) yang disebut takhalli.
Takhalli adalah menghiasi pribadi insan dengan keutamaan-keutamaan (akhlak yang
mulia). Bila seseorang telah dipenuhi perangai-perangai utama, niscaya terbukalah
tirai yang menghalanginya dari kebenaran Illahi. Bila tirai telah terbuka
antara manusia dengan Illahi dapatlah manusia itu mencapai kelezatan beribadah
kepada Tuhannya. Tersingkapnya tirai yang membatasi manusia dengan Tuhannya
dinamakan tajalli.
Aspek
moral adalah aspek yang terpenting di dalam kehidupan manusia. Bila manusia
tidak bermoral, maka turunlah martabat dari kemanusiaannya. Inilah fungsinya
mempelajari akhlak tasawuf.
Hal
ini supaya manusia tetap menempati martabatnya sebagai manusia yang ditugaskan
Allah Swt menjadi khalifah di muka bumi ini.
Adapun
fungsi mempelajari akhlak tasawuf yang sifatnya lebih tekhnis adalah sebagai
berikut:
a)
Untuk meningkatkan kemajuan rohani. Dalam hal ini untuk menjaga kesetabilan
mental spiritual dalam menghadapi segala lika-liku kehidupan, termasuk di
dalamnya godaan dan cobaan hidup. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang mampu
menghindarkan diri dari godaan atau cobaan hidup itu. Untuk menghadapinya perlu
kestabilan mental-spiritual yang baik.
b)
Untuk menuntun ke arah kebaikan. Dalam kehidupan ini hampir tidak terhitung apa
yang akan dan sudah dikerjakan. Karena itu diperlukan rambu-rambu agar tidak
terjerumus ke dalam tindakan yang keliru. Sepanjang hidup manusia tidak pernah
terhindar dari jurang kekeliruan, mengingat sehebat-hebatnya manusia tetap
saja, berdasar penjelasan al-Qur’an, diciptakan dalam keadaan atau kondisi
dlaif (lemah).
c)
Untuk menopang kesempurnaan iman. Lisan bisa mengatakan “aku telah beriman”,
tetapi dalam prakteknya iman senantiasa naik dan turun yang disebabkan faktor
eksternal yang dialami manusia dalam kehidupannya. Agar iman seseorang relative
stabil, perlu ditopang oleh pelaksanaan akhlak yang konsisten.
d)
Untuk mempertajam tanggung jawab eskatologis. Yang dimaksud istilah “eskatologi”
di sini adalah hal-hal yang menyangkut setelah mati, seperti hari akhirat
dengan segala perangkatnya (dosa, pahala, surga, neraka dan sebagainya).
Tanggung jawab eskatologis ini “lebih mengancam” daripada sekedar ancaman
pengucilan masyarakat, ancaman hokum dan sebagainya.
e)
Untuk mempertajam tanggung jawab sesama dalam kehidupan. Tanggung jawab ini
misalnya tanggung jawab terhadap keluarga, tetangga, rekan kerja, bangsa dan
manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan tanggung jawab itulah terdapat harga
pribadi seseorang, yaitu apakah diri seseorang itu berguna atau tidak.
f)
Untuk menjaga martabat kemanusiaan seseorang. Bahwa dalam diri setiap orang ada
unsur sifat kebinatangan dan kemanusiaan, sifat kemanusiaan yang menonjol
adalah kesadaran untuk menyusun dan mau tunduk pada peraturan. Dengan peraturan
itu lalu lintas pergaulan menjadi lebih lancar dan tidak gampang menimbulkan
salah paham yang ujung-ujungnya berupa perselisihan bahkan perang. Sedang sifat
kebinatangan hanya berlaku hukum rimba yaitu, siapa kuat dialah yang menang.
PERTEMUAN
7
KOMPONEN
AKHLAK TASAWUF
1.
Sifat Tercela Dan Sifat Terpuji
Seorang
hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Allah harus terlebih dahulu
mengosongkan dirinya dari akhlak yang tercela kemudian mengisinya dengan akhlak
yang terpuji karena Allah adalah Dzat Yang Maha Suci hanya dapat didekati oleh
hamba-Nya yang suci jiwanya.
Berikut
ini akan diuraikan sifat-sifat tercela yang harus dikosongkan dalam diri
manusia dan mengisinya dengan si terpuji.
a.
Macam-macam Sifat Tercela
Diantara
akhlak tercela yang harus dibuang dari jiwanya adalah:
1)
Hub al-Dunya
Hub
al-Dunya menurut bahasa adalah mencintai dunia, adapun menurut istilah adalah
mencintai dunia yang disangka mulia dan di akhkat menjadi sia-sia.
Definisi
di atas dapat dipahami bahwa hubb al-dunya berarti mencintai kehidupan dunia
dengan melalaikan kehidupan akhirat. Di sini timbul pertanyaan apa yang
dimaksud dengan dunia? Segala sesuatu yang tidak membawa manfaat di akhirat,
menurut K.H Ahmad Rifa’i, itulah yang dinamakan dunia, dan disebut juga dengan
dunia haram. Dengan perkataan lain bahwa dunia haram adalah hal-hal yang
bersifat duniawi yang tidak digunakan untuk mendukung taat beribadah kepada
Allah, sehingga keduniawian tersebut tidak bermanfaat untuk kehidupan di
akhirat. Begitu juga harta banyak yang halal tetapi tidak dibelanjakan di jalan
Allah, seperti tidak dikeluarkan zakatnya, tidak digunakan untuk infaq fi
sabilillah, dan tidak digunakan untuk shodaqoh, maka harta tersebut menjadi
fitnah dan termasuk dunia haram.
Sejalan
dengan pendapat KH. Ahmad Rifa’i, al-Ghazali mengatakan bahwa segala sesuatu
yang memberikan keuntungan, bagian, tujuan, nafsu syahwat, dan kelezatan kepada
manusia yang diperoleh langsung sebelum mati disebut dunia.
Selanjutnya
al-Ghazali menjelaskan lebih rinci tentang pengertian dunia sebagai berikut:
(a)
Sesuatu yang menemani manusia di akhirat dan pahalanya kekal bersamanya sesudah
mati, yakni ilmu dan amal, ini tidak tergolong dunia melainkan akhirat. Adapun
ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, sifat-sifatNya af’alNya,
malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, alam malakut bumi dan
langitNya, serta ilmu yang disyari’atkan oleh nabiNya. Sedangkan amal yang dimaksud
di sini adalah amal ibadah yang ikhlas karena Allah semata.
(b)
Segala sesuatu yang memberikan keuntungan dan kelezatan kepada manusia yang
langsung diperoleh di dunia akan tetapi tidak memberikan pahala baginya di
akhirat, seperti kelezatan yang diperolehnya dengan melakukan segala macam
perbuatan maksiat dan bersenang-senang dengan hal-hal yang mubah akan tetapi
melewati kadar kebutuhan, maka hal ini tergolong dunia yang tercela.
(c)
Segala sesuatu yang memberikan keuntungan kepada manusia dan langsung diperoleh
di dunia untuk menolong kepada amal perbuatan akhirat, seperti sekedar makanan,
pakaian sederhana, dan lain sebagainya yang merupakan sarana pokok demi
kelangsungan hidup manusia dan kesehatannya agar dapat menghantarkan kepada
ilmu dan amal, maka hal ini tergolong akhirat karena makanan, pakaian, dan
kebutuhan pokok tersebut digunakan sebagai sarana untuk menolong amal perbuatan
akhirat. Namun demikian, jika faktor yang mendorongnya hanya sekedar memperoleh
keuntungan langsung di dunia, tidak dijadikan sebagai sarana untuk taqwa kepada
Allah, maka hal ini bukan tergolong akhirat melainkan tergolong dunia.
Memperhatikan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
dunia ialah segala sesuatu yang tidak dijadikan sarana untuk takwa kepada Allah
dan tidak membawa manfaat di akhirat.
Seseorang
yang mencintai dunia akan mengakibatkan dirinya banyak melakukan kesalahan dan
berbuat dosa seperti berbuat maksiat, keji, dan munkar, karena ia melupakan
Allah Swt. Sebagaimana Rasulullah Saw menjelaskan: “Cinta terhadap dunia
merupakan pangkal setiap kesalahan”. Dijelaskan juga dalam al-Qur’an: “Dan
celakalah bagi orang-orang kafir karena mendapat siksaan yang sangat pedih,
yaitu orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan
akbirat”.
Dengan
demikian setiap orang mukmin harus senantiasa beramal demi memperoleh
kebahagiaan hidup di akhirat jangan tergiur dan terpukau oleh kemewahan dunia,
seperti kekayaan, pangkat, kesenangan, dan kenikmatan, kecuali sekedar hajat
yang diperlukan untuk menolong beribadah kepada Allah. Disamping itu, hati
seorang mukmin tidak boleh bergantung kepada kemewahan dunia karena hal
tersebut dapat melupakan Allah dan melalaikan kebahagiaan hidup di akhirat.
Berkaitan hal ini K.H Ahmad Rifa’i mengatakan: Wajib berpaling dari dunia
maksiat sunat berpaling dari dunia halal juga sunat meninggalkan (dunia) makruh
sunat mengambil dunia halal yang dijadikan pertolongan untuk melakukan
kebijakan yang bermanfaat di akhirat wajib mengambil dunia yang diperlukan yang
halal jika tentu menolong taat terhadap kewajiban kemudian hasilnya mengangkat
derajad.
Bait
nazam di atas menjelaskan tentang ketentuan hukum mengambil atau meninggalkan
dunia sebagai berikut :
a)
Berpaling dari dunia maksiat, hukumnya wajib.
b)
Berpaling dari dunia halal, hukumnya sunat.
c)
Meninggalkan dunia makruh, hukumnya juga sunat.
d)
Mengambil dunia halal yang digunakan untuk menolong berbuat kebajikan yang
bermanfaat di akhkat, hukumnya juga sunat.
e)
Mengambil dunia halal sekedar hajat jika benar-benar digunakan untuk menolong
berbuat taat melaksanakan kewajiban demi mengangkat derajad keimanan, hukumnya
wajib.
Pendapat
K.H. Ahmad Rifa’i di atas sesuai dengan pandangan sebagian ulama shufi bahwa
dunia itu tak perlu dibenci secara berlebihan karena dunia merupakan anugrah
Allah yang perlu diterima, dinikmati, dan disyukuri, bukan harus diingkari.
Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. Bersabda:
Artinya:
Dunia adalah kebun bagi akhirat.
2)
Al-Tham’
K.H.
Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-tham’ sebagai berikut: Yang dimaksud tham’
menurut tarajumah adalah rakus hatinya. Sedang menurut istilah adalah sangat
berlebihan cintanya terhadap dunia tanpa memperhitungkan haram yang besar
dosanya.
Definisi
di atas dapat dipahami bahwa tham' berarti sifat rakus yang sangat berlebihan
terhadap keduniawian, sehingga tidak mempertimbangkan apakah cara-cara yang
ditempuh untuk memperoleh keduniaawian itu hukumnya halal dan haram, yang
penting dapat memperoleh kemewahan hidup di dunia.
Sifat
rakus seperti itu, sangat tercela dan membahayakan bagi manusia. Karena ia
dapat mengakibatkan timbulnya rasa dengki, iri dan permusuhan antar sesama
manusia, serta perbuatan-perbuatan keji dan munkar, sehingga manusia lupa
kepada Allah dan lupa kepada kebahagiaan hidup yang abadi di akhirat. Oleh
sebab itu, orang yang sangat rakus terhadap keduniawian menjadi orang yang
paling hina di sisi Allah. Sebab ia tidak lagi menyadari bahwa dirinya itu
hamba Allah yang seharusnya mengabdi kepada-Nya, melainkan menjadi budaknya dunia.
Hal ini sejalan dengan ungkapan Ibrahim bin Ismail dalam kitabnya Syarb Ta’lim
al-Muta’lim berikut ini:
Artinya:
Itulah
dunia lebih sedikit dari segala yang sedikit, dan orang yang rakus kepadanya
lebih hina dari orang-orang yang hina.
Sesuai
pula dengan hadist Nabi yang diriwayatkan Ibnu Majah, al-Tirmidzi, dan al-Hakim
dari Sahal bin Sa’ad bahwa Rasulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya melewati
seekor kambing yang sudah mati, lalu beliau bersabda:
Artinya:
Tidaklah kalian melihat kambing ini hina bagi pemiliknya? Para sahabat berkata:
karena kehinaannya, mereka melempar kambing itu Rasulullah bersabda: Demi Dzat
yang menguasai jiwaku, sesungguhnya dunia itu lebih hina bagi Allah dari pada
kambing ini bagi pemiliknya. Seandainya dunia ini seimbang di sisi Allah dengan
sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak memberikan minum kepada orang kafir
seteguk air dari dunia. Menurut al-Ghazali hadits ini dinilai hasan oleh
al-Tirmidzi.
Orang
yang sangat rakus terhadap keduniaan demikian menurut K.H. Ahmad Rifa’i, tidak
akan pernah merasa puas, sehingga ia terus mengejarnya sampai binasa,
sebagaimana diungkapkan dalam bait nazham berikut ini: Perumpamaan orang yang
rakus mengejar keduniawian adalah seperti orang yang meminum air laut setiap
bertambah meminumnya, maka semakin bertambah dahaga yang tidak ada rasa puasnya
bahkan sampai datang ajalnya kepada orang yang meminum air laut yang asin.
Bait
nazham di atas mengibaratkan orang yang rakus terhadap keduniawian seperti
orang yang minum air laut. Semakin banyak ia minum, maka semakin bertambah kuat
rasa dahaganya, dan akhirnya ia mati karena perutnya penuh air. Seperti inilah
orang yang rakus terhadap keduniawian. Semakin banyak mengenyam kemewahan
dunia, maka ia semakin tergila-gila untuk mengejar kemewahan tersebut. Ia
tenggelam dalam kesibukan duniawi yang diduganya dapat memberikan kebahagiaan
hidup yang abadi. Pada akhirnya ia lalai kepada Allah dan lalai terhadap
kebahagiaan hidup yang sejati dan abadi di akhkat.
3)
Itba’ al-Hawa
Dalam
kitab Ri’ayat al-Himmat diungkapkan definisi Itba’ al-Hawa sebagai berikut:
Itba’ al-Hawa menurut bahasa berarti mengikuti hawa nafsu adapun menurut
Istilah syara’ berarti orang lebih mengikuti jeleknya hati yang diharamkan oleh
hukum syari’at itulah orang mengikuti hawa maksiat.
Definisi
di atas dapat dipahami bahwa Itba’ al-Hawa berarti sikap menuruti hawa nafsu
untuk melakukaan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum Syara’. Orang
yang mengikuti hawa nafsu, demikian menurut K.H. Ahmad Rifa’i, berarti buta
mata hatinya karena ia tidak mengetahui adanya Allah. Orang yang seperti ini
akan tersesat dari jalan Allah, bahkan menjadi kawannya setan, dan ia melupakan
kebagiaan hidup yang kekal dan hakiki di akhirat. Pendapat K.H. Ahmad Rifa’i
ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Shad ayat 26:
وَلَا
تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ
عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Artinya
:
Janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu karena ia menyesatkanmu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat siksa yang
sangat pedih karena mereka melupakan hari penghitungan.
Oleh
karena itu, hawa nafsu harus dikekang dan diperangi agar manusia dapat
meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat yang melanggar hukum syara’. Karena
hawa nafsu merupakan pangkal dari perbuatan maksiat. Seperti dikatakan oleh
Muhammad bin Ibrahim:
Artinya
:
Setiap
perbuatan jahat itu berasal dari kerelaanmu terhadap keinginan nafsumu untuk
menjadi tempat penderitaan.
4)
Al-‘Ujb
Definisi
‘Ujb dikemukakan oleh K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut: Ujb menurut bahasa
ialah membanggakan diri dalam batin adapun menurut istilah ialah mewajibkan keselamatan
badan dari siksa akhirat. Defenisi di atas menunjukkan bahwa ‘ujb berarti
membanggakan diri karena merasa dapat terhindar dari siksa akhirat, bahkan
menganggap wajib dirinya selamat dari siksa akhirat.
Sifat
‘ujb ini tercermin pada rasa tinggi hatid (superiority complex) dalam berbagai
bidang, baik dalam bidang amal ibadah, keilmuan, kesempurnaan moral, maupun
yang lainnya. Menurut K.H. Ahmad Rifa’i ‘ujb hukumnya haram dan termasuk dosa
besar karena merusak iman, sebagaimana diungkapkan dalam bait Nazham berikut
ini: ‘Ujb hukumnya haram dan dosa besar dan sesungguhnya ulama Bal’am rusak
imannya seperti apa diakhiri dengan kekufuran.”
Ungkapan
di atas menegaskan bahwa ‘ujb merupakan dosa besar dan haram hukumnya. Oleh
sebab itu, sifat ‘ujb wajib dihindari dan ditinggalkan karena dapat merusak
iman. Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah contoh yaitu Bal’am seorang ulama
yang beriman. Karena ia memiliki sifat ‘ujb maka rusaklah imannya dan pada
akhirnya ia tergolong orang kafir.
Pendapat
K.H. Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh
Al-Bazzar, Ibn Hibban dan al-Baihaqi dari Anas:
Artinya:
Seandainya
kamu tidak melakukan dosa, niscaya aku (Nabi) mengkhawatirkanmu melakukan dosa
yang lebih besar dari 'ujb
Dari
hadits di atas dapat dipahami bahwa ‘ujb merupakan perbuatan dosa yang sangat
berbahaya karena seseorang sering tidak sadar melakukannya. Dengan perkataan
lain, merupakan perbuatan dosa yang sangat halus karena ia tidak nampak oleh
mata, yang tahu hanya Allah dan diri pelakunya. Jika diperbandingkan antara
dosa ‘ujb dan dosa-dosa lainnya yang nampak oleh mata seperti menyembah berhala
(syirik), durhaka kepada orang tua, melakukan saksi palsu, dan berbuat zina,
maka dosa ‘ujb lebih berbahaya.
Pada
hadits lain yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dari Anas, Rasulullah Saw juga
bersabda:
Artinya:
Tiga
perkara yang membinasakan, yaitu: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti,
dan kekaguman seseorang pada dirinya.
Hadits
di atas menunjukan bahwa sifat ‘ujb termasuk salah satu dari tiga hal yang
dapat merusak iman. Oleh karena itu, sesungguhnya celaka orang yang beriman
yang memiliki sifat ‘ujb karena sifat ‘ujb dapat merusak iman, sehingga ia
menjadi yang merugi di hari kemudian. Dalam surat al-‘Araf ayat 99, Allah
Berfirman:
أَفَأَمِنُواْ
مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
Artinya
:
Maka
apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada
yang merasa dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.
Hakekat
‘ujb, demikian al-Ghazali, adalah kesombongan yang terjadi di dalam batin
seseorang karena menganggap adanya kesempurnaan ilmu, amal, harta dan lain
sebagainya pada dirinya. Jika seseorang takut kesempurnaan tersebut akan lenyap
dan dicabut oleh yang berhak (Allah), maka berarti ia tidak bersifat ‘ujb.
Kemudian jika ia merasa gembira karena ia menganggap dan mengakui bahwa
kesempurnaan tersebut sebagai nikmat Allah dan karunia-Nya, maka berarti ia
tidak bersifat ‘ujb. Akan tetapi sebaliknya, jika ia menganggap bahwa
kesempurnaan itu sebagai sifat dirinya sendiri tanpa memikirkan tentang
kemungkinan kesempurnaan tersebut kan lenyap, dan tanpa memikirkan siapa
pemberi kesempurnaan tersebut (Allah), maka inilah yang dimaksud dengan ‘ujb.
Uraian al-Ghazali ini dapat dipahami bahwa 'ujb berarti menganggap besar
terhadap suatu kemampuan atau kesempurnaanjui seseorang tidak disandarkan
kepada Dzat Pemberi kemampuan atau kesempurnaan tersebut, melainkan ia
menganggap bahwa kemampuan atau kesempurnaan tersebut berasal dari dirinya
sendiri.
Lebih
lanjut al-Ghazali mengungkapkan bahwa sifat ‘ujb sangat membahayakan bagi diri
seorang mukmin karena ia mengajak kepada lupa dosa kepada Allah dan
mengacuhkannya. Dosa yang pernah diperbuatnya tidak perlu diingat-ingat karena
dianggapnya masalah kecil bukan masalah besar. Ia membanggakan diri kepada
Allah dengan amal ibadah yang telah dikerjakannya, dengan kesempurnaan ilmu
yang telah dimilikinya, dengan harta kekayaan yang telah digunakan di jalan
Allah, dan lain sebagainya. Dengan demikian ia menyangka bahwa dirinya
memperoleh tempat di sisi Allah, dan menyangka bahwa dirinya dapat selamat dari
siksa akhirat. Namun demikian, ia melupakan siapa sebenarnya yang memberi
kekuatan untuk melakukan ibadah, siapa sebenarnya yang memberi karunia ilmu,
siapa sebenarnya yang memberi kekayaan kepadanya, dan lain sebagainya. Padahal
jika diteliti secara seksama, maka tidak ada artinya di sisi Allah kebanggaan
seorang ‘abid dengan ibadahnya, kebanggaan orang yang berilmu dengan ilmunya,
kebanggaan orang kaya dengan kekayaannya, dan seterusnya, karena semua itu
adalah karunia dari anugerah Allah, sedang manusia hanya sekedar tempat
dilimpahkannya karunia, anugerah dan kemurahan Allah Swt.
Dengan
demikian, sifat ‘ujb mengajak hati seseorang mukmin untuk mengingkari
nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya (kufr al-ni’mat). Orang yang
mengingkari nikmat-nikmat Allah bukannya akan memperoleh pahala, melainkan akan
memperoleh siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya. Sebagaimana peringatan Allah
dalam surat Ibrahim ayat 7:
وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ
عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Artinya:
Dan
(ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu).
Maka sesungguhnya azabKu sangat pedih.
Memperhatikan
uraian di atas dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Rifa’i sependapat dengan
al-Ghazali bahwa sifat ‘ujb merupakan dosa besar karena ia merusak iman seseorang.
Oleh karena itu hukumnya haram.
5)
Al-Riya’
K.H.
Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Riya’ sebagai berikut: Riya’ menurut bahasa
ialah memperlihatkan amal kebajikannya kepada manusia, adapun menurut istilah
ialah melakukan ibadah dengan tujuan di dalam batinnya karena demi manusia,
dunia yang dicari tujuan ibadah tidak sebenarnya karena Allah.
Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa al-riya’ berarti memperlihatkan amal
kebajikan kepada orang lain. Dengan demikian bathin seseorang dalam melaksanakan
amal ibadah atau amal kebajikan tidak bertujuan semata-mata karena Allah,
melainkan karena manusia, yakni dengan memperlihatkan amal ibadahnya kepada
manusia agar memperoleh pujian, penghargaan, kedudukan, popularitas, dan lain
sebagainya dari mereka dengan tujuan ingin mengejar keduniawian semata.
Senada
dengan definisi yang dikemukakan K.H. Ahmad Rifa’i diatas, al-Ghazali
menjelaskan bahwa al-riya’ berasal dari kata al-ru’yat yang berarti melihat.
Pada dasaranya, al-riya’ adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan
memperlihatkan kepada mereka beberapa hal kebajikan. Hanya saja kedudukan di
hati manusia itu kadang-kadang dicari dengan amal-amal perbuatan selain ibadah,
dan kadang-kadang dicari dengan amal-amal ibadah. Dengan perkataan lain, yang dimaksud
dengan al-riya’ adalah keinginan seseorang untuk memperoleh kedudukan di hati
manusia dengan cara mentaati perintah-perintah Allah.
Dengan
demikian, inti kedua definisi di atas menunjukan bahwa al-riya’ berarti niat
seseorang dalam melaksanakan ibadah bukan karena Allah melainkan karena
manusia. Perbuatan riya’ ini, demikian K.H. Ahmad Rifa’i, merupakan perbuatan
dosa besar dan haram hukumnya, sebagaimana diungkapkan dalam lanjut bait nazam
di atas: Itulah dosa besar di dalam hati dan hukumnya haram juga merupakan
tanda-tanda perbuatan orang kafir munafik orang beribadah wajib waspada
menjauhi haramnya riya’ jangan sampai dilakukan.
Ungkapan
di atas menjelaskan bahwa al-riya’ termasuk dosa besar dan hukumnya haram.
Orang yang memiliki sifat ini berarti ia mengikuti perbuatan orang kafir dan
munafiq. Oleh sebab itu, sifat riya’ harus ditinggalkan bagi orang mukmin, agar
keimanannya tidak rusak. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan
oleh Ibn Majah dan al-Hakim dari Syadad bin Aus: Aku (Nabi) sangat
mengkhawatirkan umatku melakukan perbuatan syirik.
Padahal
mereka tidak menyembah berhala, matahari, bulan, batu, akan tetapi mereka
berbuat riya’ (memperlihatkan) perbuatan mereka pada orang lain.
Hadits
di atas dapat di pahami bahwa perbuatan riya’ seimbang dengan perbuatan syirk.
Mengapa demikian? Karena jika seorang hamba dalam melakukan ibadah kepada Allah
disertai dengan riya’ maka berarti ia telah menyekutukan Allah dan ibadahnya,
maka amal ibadahnya tidak diterima di sisi Allah, sebagaimana disebutkan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Malik dari Abu Hurairah: Barang siapa
melakukan suatu perbuatan karena Aku (Allah) yang di dalam perbuatan itu ia
menyekutukanKu, maka semua perbuatan itu untuknya, dan Aku bebas dari perbuatan
itu. Aku adalah paling kaya di antara semua yang kaya dari kesekutuan.
Pada
hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad bin al-Baihaqi dari Mahmud bin Lubaid,
Rasulullah bersabda: Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti terhadapmu
adalah syriik kecil. Para sahabat bertanya: apa yang dimaksud dengan syirik
kecil? Rasulullah bersabda: Riya’. Allah Azza wa Jalla berfirman di hari kiamat
ketika membalas hamba-hambaNya dengan amal perbuatan mereka: pergilah kamu
kepada orang-orang yang kamu perlihatkan amal perbuatanmu kepada mereka di
dunia. Maka lihatlah. Apakah kamu mendapatkan balasan dari mereka?
Dalam
pada itu K.H. Ahmad Rifa’i menggolongkan riya’ ke dalam dua tingkatan,
sebagaimana diungkapkan dalam bait nazham berikut ini: Dan riya’ itu ada dua
macam. Pertama, riya’ khalish namanya seperti halnya tidak menjadikan dekat
kepada Allah (qurbat) di dalam hatinya melainkan tujuannya karena demi manusia.
Kedua, riya’ syirk tempatnya seperti halnya menjadikan niat untuk dekat kepada
Allah (qurbat) karena memenuhi permintaan Allah yang menjadi tujuan dan sekutu
di dalam batin demi karena manusia dan berarti bercampur.
Ungkapan
di atas dapat dipahami bahwa riya’ terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu:
a)
Riya’ Khalish, yakni niat seseorang dalam melaksanakan ibadah semata-mata untuk
memperoleh pujian, kedudukan dan lain sebagainya dari manusia, serta tidak
bertujuan untuk dekat dengan Allah.
b)
Riya’ Syirk, yakni niat seseorang dalam melaksanakan ibadah karena terdorong
untuk memenuhi permintaan Allah serta terdorong pula untuk memperoleh pujian
dan kedudukan dari manusia. Dengan lain perkataan, niatnya bercampur antara
niat karena Allah dan niat karena manusia.
Memperhatikan
penggolongan al-riya’ tersebut, dapat dikatakan bahwa riya’ syirk nampaknya
lebih ringan dosanya dibanding dengan riya’ khalish, karena dalam riya’ syirk
masih terlintas niat di dalam hati untuk memenuhi perintah Allah, akan tetapi
sudah bercampur antara niat karena Allah dan niat karena manusia. Namun
demikian kedua macam riya’ tersebut merupakan dosa besar.
Disamping
kedua macam riya’ tersebut di atas, K.H. Ahmad Rifa’i masih menggolongkan riya’
menjadi dua bagian-lagi, riya’ jali dan riya’ khafi. Kedua macam riya’ tersebut
sulit dihindari kecuali oleh orang yang sudah mencapai derajat mengenal Allah
(Arif bi Allah). Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim: Tidak ada
yang dapat selamat dari riya’ jali dan riya’ khafi kecuali orang yang arif
meng-Esakan Allah, karena Allah telah mensucikan mereka dari syirik sekecil
apapun.
Sedangkan
riya’ khafi (riya’ yang tersembunyi) terbagi menjadi dua tingkatan:
a)
Riya’ yang lebih sedikit tersembunyi dari pada riya’ jali, yaitu riya’ yang
tidak mendorong seseorang untuk melakukan amal ibadah dengan tujuan semata-mata
demi memperoleh pahala, melainkan riya’ tersebut meringankan seseorang untuk
melakukan amal ibadah, yang dengannya ia berkehendak menuju kepada Allah.
Misalnya orang yang membiasakan shalat tahajjud setiap malam dan ia merasa
berat. Apabila ada tamu di rumahnya, maka ia merasa tekun dan merasa ringan
dalam menjalankan shalat tahajjud.
b)
Riya’ yang lebih tersembunyi lagi ialah riya’ yang tidak membekas pada amal
perbuatan, serta tidak memudahkan dan meringankan seseorang untuk melakukan
amal ibadah, akan tetapi ada sesuatu yang membekas di dalam bathin. Oleh karena
riya’ tingkatan ini tidak membekas pada amal perbuatan, maka sulit untuk
mengetahui riya’ ini kecuali melalui tanda-tandanya. Adapun tanda-tandanya yang
paling jelas adalah bathin seseorang merasa senang dan gembira, jika ketaatannya
kepada Allah dilihat oleh manusia.
6)
Al-Takabbur
Definisi
al-takabbur dikemukakan dalam kitab Abyan al-Hawa’ij sebagai berikut: Takabbur
menurut bahasa berarti sombong karena merasa luhur, adapun menurut makna
istilah adalah menetapkan kebijakan pada diri sendiri ada sifat baik dan luhur
sebab banyak harta atau kepandaiannya.
Definisi
di atas menunjukan bahwa takabbur berarti menganggap dirinya besar dan mulia
(sombong) yang disebabkan oleh adanya kebajikan atau kesempurnaan pada dirinya
baik berupa harta banyak yang dimilikinya, ilmu yang dikuasainya, maupun
hal-hal lainnya.
Sedangkan
menurut Rifa’i takabbur adalah menolak kebenaran ilmu dan menghina manusia yang
tidak ada kejelekannya itulah yang dinamakan takabbur dosa besar bathinnya
orang yang menghina agama Allah menjadi kafir.
Pendapat
K.H. Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Muslim, Abu daud, dan Ibnu Majah dari abu Hurairah: Allah ta’ala berfirman:
“Kesombongan itu kain selendang-Ku dan kebesaran itu kain sarung-Ku.
Barangsiapa menentang (menyaingi) Aku dengan melakukan dua hal tersebut,
niscaya Aku lemparkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan tidak Aku pedulikan”
Pada
hadits lain diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dan Abdullah bin Umar,
Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa di dalam hati riya’ ada kesombongan
sekecil apapun, Niscaya Allah menelungkupkan wajahnya ke dalam api neraka”.
7)
Al-Hasd
Definisi
al-hasd diungkapkan dalam kitab Ri’ayat al-Himmat sebagai berikut: Hasd menurut
bahasa berarti dengki, sedang istilah syara’ berarti, mengharapkan sirnanya
kenikmatan Allah yang berada pada orang Islam baik berupa kebajikan ilmu,
ibadah yang sah dan jujur, harta, maupun yang semisalnya.Sementara al-Ghazali
memberikan definisi, hasd adalah benci kepada kenikmatan dan menyukai hilangnya
kenikmatan itu dari orang Islam yang diberi kenikmatan tersebut. Dengan
demikian hasd berarti mengharapkan hilangnya kenikmatan dari orang lain.
Hasd
harus dihindari dan ditinggalkan karena merupakan dosa besar dan haram
hukumnya. Orang yang memiliki sifat hasd akan disiksa di neraka Jahim,
sebagaimana diungkapkan dalam lanjut bait nazham: Adalah dosa besar wajib
mundur/meninggalkannya kemudian taubat, dosanya akan lebur orang yang hasd
disiksa di neraka Jahim takutlah terhadap siksa yang abadi berlindunglah kepada
Allah dari sifat hasd yang haram menurut hukum syara’. Ungkapan di atas
menegaskan bahwa hasd hukumnya haram karena sifat hasd menentang ketentuan
Allah (qadr), dalam arti tidak ridha terhadap kenikmatan-kenikmatan yang telah
Allah bagi-bagikan kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini dapat dipahami dari hadits
Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan Anas:
Artinya:
Kemiskinan itu nyaris menjadi kekufuran, dan kedengkian itu nyaris mengalahkan
ketentuan Allah (qadr).
Dalam
pada itu hasd dapat menghancur leburkan seluruh amal kebajikan yang telah
dilakukan oleh seorang hamba, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dari Abu Hurairah:
Hindarilah
sifat hasd, karena sifat hasd itu memakan amal-kebajikan seperti api yang
memakan kayu bakar. Inilah diantara hal-hal yang menyebabkan hasd menjadi
hukumnya haram.
8)
Al-Sum’ah
Definisi
al-sum’ah dikemukakan oleh K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut: Sumah menurut
bahasa adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun menurut istilah adalah
melakukan ibadah dengan benar lahiriyah ikhlas karena Allah Yang Maha Pengasih
dan Luhur kemudian amal kebajikannya diceritakan kepada orang lain supaya orang
lain memuliakan terhadap dirinya, itu sudah bercampur dengan haram. Hatinya
tidak ridha menuju kepada Allah melainkan bathinnya menuju karena dunia itulah
sum’ah, haram hukumnya sesudah melakukan amal kebajikan.
Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa sum’ah berarti amal ibadah yang telah
dilakukan oleh seseorang dengan benar sesuai dengan hukum syara’ dan dengan
niat yang ikhlas karena Allah, kemudian amal ibadah tersebut ditutur-tuturkan
atau diperdengarkan kepada orang lain, agar orang lain memujinya dan
menghormatinya. Perbuatan seperti itu hukumnya haram, karena ia telah mencampur
adukan antara niat ikhlas karena Allah dan niat ingin mendapat penghormatan
dari manusia. Hal ini sejalan dengan ungkapan Al-Ghazali:
Artinya
:
Janganlah
kamu menampak-nampakkan sifat keutamaan ilmu dan ketaatan.
Allah
berfirman dalam surat al-Najm, ayat 32:
فَلَا
تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ
Artinya
:
Maka
janganlah kamu kamu mengatakan dirimu suci.
Disini
timbul pertanyaan: bagaimana jika seseorang menampakan sifat keutamaannya baik
ilmunya yang luas, budi pekertinya yang luhur, ketaatannya dalam beribadah kepada
Allah, maupun yang lainnya dengan tujuan agar orang lain mengikuti jejaknya
atau agar orang lain mau melakukan perbuatan-perbuatan yang utama.
Dalam
hal ini K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan bahwa sum’ah yang dilakukan dengan niat
yang baik, yakni untuk memberi nasehat agar orang lain mau meninggalkan
perbuatan yang tercela dan melaksanakan perbuatan yang terpuji atau untuk
memberi contoh agar orang lain mau mengikuti jejaknya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang utama, maka sum’ah seperti ini diperbolehkan, bahkan
pelakunya akan memperoleh pahala yang besar. Syaratnya jangan sampai terbetik
di dalam hati untuk memperoleh penghormatan dari manusia. Hal ini sejalan
dengan firman Allah dalam surat ad-Dhuha:
وَأَمَّا
بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Artinya
:
Dan
terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan
bersyukur).
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa sum’ah tergantung dari niatnya. Jika sum’ah
dengan niat demi kemaslahatan agama, maka sum’ah tersebut menjadi terpuji.
Begitu pula sebaliknya, jika sum’ah dilakukan dengan niat untuk memamerkan
keutamaan dan keistimewaan diri agar mendapat pujian dari manusia, maka sum’ah
tersebut menjadi tercela.
PERTEMUAN
8
b.
Macam-macam Sifat Terpuji
Di
antara akhlak terpuji yang harus diisi dalam jiwa manusia adalah:
1)
Az-Zuhd
Menurut
pandangan sufi, hawa nafsu duniawi merupakan sumber kerusakan moral manusia.
Sikap kecenderungan seseorang terhadap hawa nafsunya mengakibatkan kebrutalan
tindakan manusia dalam mengejar kepuasan nafsu. Agar manusia dapat terbebas
dari godaan dan pengaruh hawa nafsunya, maka ia harus melakukan zuhd.
Dalam
mengartikan zuhd, ternyata para sufi berbeda-beda sesuai dengan pengalaman
mereka masing-masing. Namun secara umum dapat diartikan bahwa zuhd merupakan
suatu sikap melepaskan diri dari ketergantungan terhadap duniawi dengan
mengutamakan kehidupan akhirat. Sementara itu K.H. Ahmad Rifa’i mengartikan
zuhd sebagai berikut: Zuhd menurut terjemah bahasa jawa adalah bertapa di
dunia, menurut istilah syara’ adalah bersiap-siap di dalam hati untuk beribadah
memenuhi kewajiban yang luhur sebatas kemampuan menghindar dari dunia haram
zhahir dan batin menuju kepada Allah dengan benar mengharap kepada Allah untuk
memperoleh surga-Nya yang luhur. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa
zuhd berarti kesediaan hati untuk melaksanakan ibadah dalam rangka memenuhi
kewajiban-kewajiban syari’at, meninggalkan dunia yang haram, dan secara lahir
batin hanya mengharap ridha Allah Swt, demi memperoleh surgaNya. Dijelaskan
pula bahwa zuhd bukan berarti mengosongkan tangan dari harta, melainkan
mengosongkan hati dari ketergantungan pada harta. Karena keduniawian dapat
memalingkan hati manusia dari Allah Swt.
Memperhatikan
uraian tentang pengertian zuhd atas, tampak secara jelas bahwa ajaran zuhd K.H.
Ahmad Rifa'i masih berkaitan erat dengan tujuan syari’at. Berbeda dengan
pengertian zuhd yang dikemukakan oleh sebagian sufi, seperti Abu Ali al-Daqqaq
dan Yahya bin Mu’adz al-Razi mengartikan zuhd sebagi berikut:
Artinya
:
Zuhd
adalah engkau meninggalkan keduniawian secara total, jangan berkata bagaimana
aku membangun sebuah Ribath atau membangun sebuah masjid.
Pengertian
zuhd di atas sangat berlebihan karena tidak hanya sampai batas meninggalkan
perbuatan-perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan yang mubah, melainkan
sampai kepada meninggalkan perbuatan yang baik.
Sementara
itu, menurut Ibn Taimiyah zuhd itu ada dua macam, yaitu:
a)
Zuhd yang sesuai dengan syariat’, adalah meninggalkan apa saja yang tidak
bermanfaat di akhirat.
b)
Zuhd yang tidak sesuai dengan syari’at, adalah meninggalkan segala sesuatu yang
dapat menolong seorang hamba untuk taat beribadah kepada Allah.
Pengertian
zuhd yang sejalan dengan syari’at sebagaimana firman Allah dalam surat Qashash
ayat 77:
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Artinya
:
Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi.
Adapun
tanda-tanda orang yang telah memiliki sikap zuhd adalah:
a)
Senantiasa melakukan amal shaleh
b)
Jika bertambah ilmunya, maka harus bertambah pula sifat taatnya.
c)
Tidak tergiur dengan keduniawian, karena keduniawian merupakan tipu daya,
godaan dan fitnah
d)
senantiasa berbuat untuk kepentingan akhirat, karena Allah berjanji akan
memberikan kecukupan untuk kepentingan dunia dan agamanya
e)
Tidak merasa tentram dan tenang jika ketika melihat segala yang wujud di dunia
ini hatinya tidak hadir di hadapan Allah.
f)
Jika dipuji oleh manusia, maka hatinya menjadi susah karena khawatir
kalau-kalau amal kebajikannya berubah menjadi riya’ dan haram.
Adapun
keutamaan orang yang melakukan Zuhd adalah:
(1)
Pahala amal ibadah yang dilakukan oleh seseorang zahid dilipat gandakan oleh Allah
Swt.
(2)
Seorang yahid akan memperoleh ilmu dan petunjuk langsung dari Allah tanpa
belajar.
Uraian
di atas dapat di pahami bahwa inti zuhd adalah bukan meninggalkan keduniawian
secara total, melainkan meninggalkan keduniawian yang tidak dapat membawa manfaat
di akhirat.
2)
Al-Qana’ah
Definisi
Qana’ah menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah hatinya tenang memilih ridha Allah
mengambil keduniawian sekedar hajat yang diperkirakan dapat menolong untuk taat
memenuhi kewajiban (syari’at) menjauhkan maksiat.
Dalam
menguraikan sifat qana’ah ini K.H. Ahmad Rifa’i mengaitkan dengan kefakiran
(kemiskinan). Keutamaan orang fakir yang memiliki sifat qana’ah sebagai
berikut:
a)
Orang fakir yang memiliki sifat qana’ah, derajatnya lebih tinggi di hadapan
Allah dibandingkan dengan orang kaya yang tidak memiliki sifat qana’ah.
b)
Orang fakir yang memiliki sifat qana’ah, lebih dahulu masuk surga dibandingkan
dengan orang kaya yang tidak memiliki sifat qana’ah meskipun sama-sama
beribadah.
c)
Orang fakir yang secara lahiriyah sedikit melakukan amal ibadah akan memperoleh
pahala yang besar dari pada orang kaya yang secara lahiriyah banyak melakukan
amal ibadah dan banyak bersedekah, karena orang fakir itu memiliki sifat
qana’ah artinya telah ridha untuk berpaling dari keduniawian.
3)
Al-Shabr
Salah
satu sikap sufi yang fundamental bagi para sufi dalam usahanya untuk mencapai
tujuan adalah shabr. Menurut K.H. Ahmad Rifa’i, Shabr secara bahasa adalah
menanggung kesulitan, menurut istilah berarti melaksanakan tiga perkara yang
pertama menanggung kesulitan ibadah memenuhi kewajiban dengan penuh ketaatan,
yang kedua menanggung kesulitan taubat yang benar menjauhi perbuatan maksiat
zhahir bathin sebatas kemampuan, yang ketiga menanggung kesulitan hati ketika
tertimpa musibah di dunia kosong dari keluhan yang tidak benar (Rifa’i, Riayat,
Juz II:30).
Definisi
di atas dapat dipahami bahwa sabar merupakan kemampuan diri dalam menghadapi
berbagai macam kesulitan, yang antara lain:
(a)
Kemampuan untuk menghadapi kesulitan dalam melaksanakan ibadah dan menunaikan
kewajiban-kewajiban syariat dengan sungguh-sungguh.
(b)
Kemampuan untuk menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat yang disertai dengan
taubat baik secara lahir maupun bathin
(c)
Kemampuan untuk menghadapi kesulitan ketika tertimpa musibah tanpa berkeluh
kesah.
Orang
mukmin yang sabar dalam menghadapi berbagai macam kesulitan sebagaimana
tersebut di atas akan memperoleh pahala yang tak terhingga dari sisi Allah Swt.
Hal ini sesuai janji Allah dalam surat al-Zumar ayat 10:
إِنَّمَا
يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya:
Sesungguhnya
hanya orang-orang yang bersabarlah dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
Ungkapan
K.H. Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan perkataan al-Ghazali:
Artinya
:
Sabar
itu adalah setengah dari iman.
4) Al-Tawakkal
K.H.
Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Tawakal sebagai berikut, Tawakkal bukan
berarti hanya pasrah kepada Allah tanpa melakukan ikhtiar dan meninggalkan
usaha mencari rizki sekedarnya melainkan sebatas kemampuan tidak boleh tidak
harus berusaha memerangi hawa nafsu lainnya yang mengajak kepada kerakusan
terhadap dunia karena hal ini (rakus terhadap dunia) menjadi pasukan hawa nafsu
sendiri juga menjadi fitnah yang sangat buruk dan tidak hilang tawakkal
seseorang yang berusaha mencari obat untuk menyembuhkan sakitnya juga wajib
menolak maksiat mencari rizki untuk menolong ibadah.
Ungkapan
diatas menunjukan bahwa tawakal bukan berarti hanya pasrah menunggu ketentuan
Allah tanpa melakukan ikhtiar serta meninggalkan usaha mencari rizki secara
total. Tetapi tawakal adalah berserah diri kepada Allah yang disertai dengan
ikhtiar dan usaha mencari rizki seperlunya untuk keperluan ibadah kepada Allah,
serta memerangi hawa nafsu yang mengajak kepada kesesatan dan ketamakan
terhadap keduniawian, karena hal tersebut merupakan fitnah yang sangat buruk
dan dapat membawa kesengsaraan manusia. Oleh karena itu seseorang yang tertimpa
musibah sakit, misalnya, maka ia tidak berdiam diri hanya menunggu ketentuan
Allah, melainkan harus berusaha mencari obat terlebih dahulu, baru kemudian
sepenuhnya kepada ketentuan Allah. Dengan demikian tawakal bukan berarti
berserah diri hanya menunggu ketentuan Allah melainkan sifat yang menjiwai
usaha seseorang. Hal ini sejalan dengan ungkapan Muhammad bin Ibrahim:
Artinya:
Barangsiapa
mengetahui bahwa segala urusan itu berada di tangan Allah, maka ia akan
berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
Dijelaskan
pula, bahwa manusia harus berserah diri kepada Allah semata, tidak boleh
berserah diri kepada selain Allah, karena dengan berserah diri kepada Allah ia
akan mendapat petunjuk jalan yang lurus. Jika manusia berserah diri kepada
selain Allah, maka ia akan menjadi sesat dan akan menambah dosa yang lebih
berat. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Hud ayat 56:
إِنِّي
تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلاَّ هُوَ آخِذٌ
بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya:
Sesungguhnya
aku berserah diri kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada seekor binatang
melata pun melainkan dia yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di
atas jalan yang lurus.
5)
Al-Mujahadah
K.H.
Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Mujahadat sebagai berikut: Mujahadat
menurut bahasa berarti bersungguh-sungguh terhadap suatu perbuatan yang dituju
menurut istilah berarti bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah-perintah
Allah memenuhi kewajiban dan meninggalkan kemaksiatan sekuat tenaga, baik
secara lahir maupun bathin.
Dengan
perkataan lain, mujahadah berarti bekerja keras dan berjuang melawan keinginan
hawa nafsu, berjuang melawan bujukan syaitan, berjuang menjauhi godaan-godaan
syaitan, dan berjuang menundukkan diri agar tetap di dalam batas-batas syara’
untuk mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangannya.
Hal ini senada dengan ungkapan al-Syarqawi: bahwa pangkal setiap kemaksiatan,
syahwat, dan kelengahan adalah menuruti hawa nafsu. Sedangkan pangkal setiap
ketaatan, kesadaran, kehati-hatian adalah tidak menuruti hawa nafsu.
Lebih
lanjut K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan bahwa mujahadah tidak terbatas hanya
memerangi musuh bathiniah (hawa nafsu), akan tetapi juga mencakup
bersungguh-sungguh dalam memerangi musuh lahiriyah, yakni orang kafir yang
nyata-nyata hendak menghancurkan Islam. Memerangi orang kafir semacam ini
merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam (Rifa’i, Riayat, Juz II:137).
Sebagaimana dalam surat al-Ankabut ayat 69:
وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
Tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.
6)
Al-Ridha
Definisi
al-Ridha menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah sebagai berikut: Ridha menurut bahasa
adalah menerima kenyataan dengan suka hati adapun menurut istilah adalah
menerima segala pemberian Allah dan menerima hukum Allah, yakni syari’at wajib
dilaksanakan dengan ikhlas dan taat dan menjauhi kejahatan maksiat dan menerima
terhadap berbagai macam cobaan yang datang dari Allah dan yang ditentukanNya.
Dari
ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ridha berarti menerima dengan tulus
segala pemberian Allah, hukumNya (syari’at), berbagai macam cobaan yang
ditakdirkanNya, serta melaksanakan semua perintah dan meninggalkan sernua
laranganNya dengan penuh ketaatan dan keikhlasan, baik secara lahir maupun
bathin.
Seorang
mukmin harus ridha terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah kepada
hambanya karena segala sesuatu tersebut merupakan pilihan yang paling utama
yang diberikan Allah pada hambanya. Sehingga tanda-tanda orang mukmin yang sah
imannya diantaranya adalah orang mukmin yang ridha dalam menerima segala hukum
Allah, perintah, larangan, dan janjiNya. Hal ini sejalan dengan Hadits Qudsi
yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dan Ibnu Hihban dari Anas: “Barang siapa
tidak ridha terhadap ketentuan-ketentuan-Ku, tidak mensyukuri nikmat-nikmat-Ku,
dan tidak sabar terhadap cobaan-cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku
dan carilah Tuhan selain Aku”.
7) Al-Syukr
Definisi
syukr menurut K.H. Ahmad Rifa’i, secara bahasa adalah senang hatinya sedang
menurut istilah adalah mengetahui nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah yakni
nikmat iman dan taat yang maha luhur memuji Allah, Tuhan yang sebenarnya yang
memberikan sandang dan pangan kemudian nikmat yang diberikan oleh Allah itu
digunakan untuk berbakti kepadaNya sekurang-kurangnya memenuhi kewajiban dan
meninggalkan maksiat secara lahir dan bathin sebatas kemampuan.
Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa inti syukr adalah mengetahui dan
menghayati kenikmatan yang diberikan oleh Allah Yang Maha Luhur. Oleh karena
itu manusia wajib menghayati dan mensyukuri nikmat Allah, karena orang yang
mensyukuri nikmat Allah, maka akan ditambah nikmat-nikmat yang diberikan Allah
kepadanya, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7 yang artinya:
Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memberitahukan: sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmatKu), maka sesungguhnya siksaKu sangat pedih.
Adapun
untuk mensyukuri nikmat Allah ada tiga cara :
a)
Mengucapkan pujian kepada Allah dengan ucapan al-hamdulillah.
b)
Segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya harus dipergunakan
untuk berbakti (beribadah) kepada Allah.
c)
Menunaikan perintah-perintah syara’ minimal ibadah wajib dan meninggalkan
maksiat dengan ikhlas lahir dan bathin.
8)
Al-Ikhlas
Al-Ikhlas
menurut K.H. Ahmad Rifa’i didefinisikan sebagai berikut: Ikhlas menurut bahasa
adalah bersih sedangkan menurut istilah adalah membersihkan hati agar ia menuju
kepada Allah semata dalam melaksanakan ibadah, hati tidak boleh menuju selain
Allah.”
Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhlas menunjukan kesucian hati untuk
menuju kepada Allah semata. Dalam beribadah, hati tidak boleh menuju kepada
selain Allah, karena Allah tidak akan menerima ibadah seorang hamba kecuali
dengan niat ikhlas karena Allah semata dan perbuatan ibadah itu harus sah dan
benar menurut syara’.
Ikhlas
dalam ibadah ada dua macam, apabila salah satunya atau kedua-duanya tidak
dikerjakan, maka amal ibadah tersebut tidak diterima oleh Allah. Rukun ikhlas
dalam beribadah ada dua macam. Pertama, perbuatan hati harus dipusatkan menuju
kepada Allah semata dengan penuh ketaatan. Kedua, perbuatan lahiriyah harus
benar sesuai dengan pedoman fiqh. Sebagaimana dalam surat al-Bayyinat ayat 5:
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء
وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya:
Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas dalam
(menjalankan) agama dengan lurus.
Lebih
lanjut K.H. Ahmad Rifa’i menggolongkan sifat ikhlas menjadi tiga tingkatan:
a)
Ikhlas ‘awwam, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah karena
didorong oleh rasa takut menghadapi siksaanNya yang amat pedih, dan didorong
pula oleh adanya harapan untuk mendapatkan pahala dariNya.
b)
Ikhlas khawwash, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah karena
didorong oleh adanya harapan ingin dekat dengan Allah dan karena didorong oleh
adanya harapan untuk mendapatkan sesuatu dan kedekatannya kepada Allah.
c)
Ikhlas khawwash al-khauwash, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah
yang semata-mata didorong oleh kesadaran yang mendalam untuk mengEsakan Allah
dan meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang sebenarnya, serta bathin mengekalkan
puji syukur kepada Allah.
Demikian
pemaparan tentang delapan sifat terpuji yang wajib diamalkan oleh setiap hamba
yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, dan delapan sifat tercela yang wajib
ditinggalkannya, yang dalam istilah tashawwuf disebut dengan maqamat. Ajaran
tashawwuf yang hanya sampai batas pendidikan akhlaq untuk mencapai kesucian
hati ini disebut tashawwuf akhlaqi. Seorang hamba yang mencapai kesucsian hati
sesuci-sucinya akan memperoleh anugerah Allah baik berupa mahabbat, qurb,
ma’rifat, ataupun lainnya yang dalam istilah tashawwuf disebut ahwal.
c.
Al-Mahabbat, al-Qurb, dan al-Ma’rifat
Al-mahabbat,
al-qurb, dan al-ma’rifat terkadang dipandang sebagai maqamat dan terkadang
dipandang sebagai ahwal. Sebagai contoh misalnya, bagi al-Junaid, ma’rifat
termasuk kategori ahwal, sedangkan menurut al-Qusyairi, ma’rifat termasuk
kategori maqamat. Bagi al-Ghazali, ada perbedaan susunan antara ma’rifat dan
mahabbat. Menurutnya, mahabbat diperoleh sesudah ma’rifat sedangkan
al-Kalabadzi menegaskan bahwa mahabbat diperoleh sebelum ma’rifat.
1)
Al-Mahabbat
Al-Mahabbat,
Al-hubb atau al-mababbat adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dilihatnya
atau apa yang diduganya baik.
K.H.
Ahmad Rifa’i mengatakan bahwa cinta seorang hamba kepada Allah adalah berbakti
kepada-Nya dengan jalan mematuhi semua perintah-Nya dan meninggalkan semua
larangan-Nya, jika melakukan dosa harus segera bertaubat.
Adapun
tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah, menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah
sebagai berikut:
a)
Ia senantiasa mengikuti ajaran-ajaran Nabi Muhammad, karena dengan demikian
berarti ia telah mencintai Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S.
Ali ‘Imran: 31, yang berbunyi: “Katakanlah (hai Muhammad): jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.”
b)
Ia senantiasa ikhlash dalam mematuhi semua perintah Allah dan meninggalkan
semua larangan, karena ikhlash merupakan ruhnya ibadah.
Cinta
kepada Allah memerlukan pengorbanan yang betul-betul ikhlash, yakni tidak
merasa berat dalam mengabdikan diri (beribadah) kepada-Nya. Cinta kepada Allah,
bagi K.H. Ahmad Rifa’i merupakan nyawanya iman dan merupakan syarat sahnya
iman.
Inti
paham mahabbat K.H. Ahmad Rifa’i adalah mematuhi semua perintah Allah dan
meninggalkan semua larangannya dengan tulus ikhlash. Paham mahabbatnya hanya
sebatas cinta antara seorang ‘abid (yang menyembah) dan ma’bud (Yang Disembah).
Masih ada jarak antara seorang hamba dengan Allah, bukan cinta sesama kekasih
yang mempunyai persamaan derajad (munasabat). Paham mahabbatnya masih sangat
erat kaitannya dengan syari’at.
2)
Al-Qurb
Adapun
ajarannya tentang al-qurb menurut K.H. ahmad Rifa’i ialah dekatnya hati seorang
hamba dengan Allah, sehingga ia mampu menyaksikan keagungan dan kemuliaan-Nya.
Ketika ia melihat segala sesuatu yang ada di alam ini, maka hatinya senantiasa
merasakan bahwa segala sesuatu itu adalah ciptaan Allah dan perbuatan-Nya.
Hamba
yang telah mencapai derajad kedekatan Allah, maka mata hatinya mampu memandang
keagungan-Nya karena Allah benar-benar dekat dengan dirinya. Di samping itu,
mata hati mampu melihat Allah semata yang memiliki perbuatan atas segala
sesuatu. Adapun cara untuk berada dekat dengan Allah, K.H. Ahmad Rifa’i
menjelaskan sebagai berikut:
a)
Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya ia keluar dari
dirinya.
b)
Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya senantiasa ingat
kepada-Nya, karena kelalaian seorang hamba kepada Allah menjadikan dirinya jauh
dari Allah.
c)
Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya senantiasa
menyandarkan diri pada anugerah dan rahmat Allah.
Jika
seorang hamba telah berada dekat dengan Allah, maka ia merasa yakin bahwa Allah
itu senantiasa hadir bersamanya di mana pun dan dalam kondisi apapun, serta ia
yakin bahwa Allah senantiasa memperhatikan segala sesuatu yang akan menimpa
dirinya karena ia melihat bahwa segala sesuatu itu baik berupa kenikmatan
maupun malapetaka merupakan perbuatan Allah. Oleh karena itu, ia senantiasa
menyandarkan diri kepada anugerah dan rahmat Allah.
Konsep
qurb K.H. Ahmad Rifa’i termasuk kategori ahwal, karena konsep qurbnya merupakan
anugerah Allah yang diperoleh tanpa wujud usaha, bukan diperoleh melalui proses
pembinaan akhlak (maqamat).
Menurutnya,
bahwa Allah itu memang sangat dekat dengan hambanya, bahkan Allah mengetahui
apa saja yang terdapat dalam lahiriah dan batiniah manusia, sedangkan manusia
itu sendiri tidak mengetahui apa yang terdapat dalam dirinya.
Sekalipun
Allah sangat dekat dengan makhluq-Nya, namun kedekatan-Nya tidak sama dengan
kedekatan makhluq, karena Dia adalah dzat yang wajib adanya dan Maha Sempurna
serta bersifat qadim, sedangkan makhluq adalah mungkin adanya dan tidak
sempurna serta bersifat hadits. Oleh sebab itu, mustahil Allah yang bersifat
qadim menempati makhluqnya yang bersifat hadits.
Ajaran
tashawwuf K.H. Ahmad Rifa’i tidak sampai kepada paham tentang kemanunggalan
antara hamba dan Allah, seperti paham al-ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid
al-Busthami (w. 874) dan paham al-Hulul yang diajarkan oleh Husein ibn Manshur
al-Hallaj (w. 922 M), bahkan terlihat bahwa ajaran tashawwufnya menolak kedua
paham tersebut
3)
Ma’rifat
Ma’rifat,
bagi K.H. Ahmad Rifa’i, merupakan puncak kedekatan seorang hamba dengan Allah
sedekat-dekatnya, sehingga mata hatinya dapat melihat keagungan Allah dan
keindahan-Nya, yang disertai rasa takut dan cinta di dalam hati. Kemudian ia
melihat segala sesuatu yang terjadi di alam ini merupakan perbuatan-Nya.
Seorang hamba yang telah mencapai tingkat ma’rifat maka mata hatinya melihat
semua perbuatan dan kejadian di alam ini adalah baik, sekalipun secara lahiriah
perbuatan itu dianggap haram namun mata hatinya memandangnya baik, karena semua
itu merupakan perbuatan Allah.
Jalan
menuju ma’rifat Allah ada lima macam, yaitu merenung atau tafakkur tentang:
a)
Tanda-tanda kekuasaan-Nya akan mewujudkan tauhid dan iman kepada-Nya.
b)
Nikmat-nikmat-Nya akan mewujudkan rasa cinta kepada-Nya.
c)
Janji-Nya akan mewujudkan ketaatan kepada-Nya.
d)
Kekurangtaatan dirinya kepada-Nya yang disertai dengan merenungi berbagai
kebaikan-Nya yang telah diberikan kepada dirinya akan mewujudkan rasa malu
untuk berbuat maksiat kepada-Nya.
e)
Ancaman-Nya akan mewujudkan rasa takut terhadap siksaan-Nya.
Puncak
ajaran tashawwuf K.H. Ahmad Rifa’i adalah ma’rifat, yakni sebatas melihat atau
mengetahui rahasia-rahasia Allah seperti keindahan, keagungan, perbuatan dan
sifat-sifat-Nya. Penglihatan itu diperoleh melalui cahaya-Nya yang
dianugerahkan kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang diletakkan di dalam lubuk
hati yang paling dalam.
PERTEMUAN
9
HAKEKAT
PEMBINAAN AKHLAK TASAWUF
1.
Hakikat Pembinaan Akhlak Tasawuf
Pembinaan
akhlak bagi setiap muslim merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan terus
menerus tanpa henti baik melalui pembinaan orang lain maupun pembinaan diri
sendiri tanpa harus dituntun oleh orang lain. Pada hakekatnya pembinaan akhlak
tasawuf lebih merupakan pembinaan akhlak yang dilakukan seseorang atas dirinya
sendiri dengan tujuan jiwanya bersih dan perilakunya terkontrol. Dalam dunia
tasawuf istilah pendidikan diri sendiri dapat dikenal dengan istilah Tazkiyat
al-Nafs, Tarbiyah al-Dzatiyah dan Halaqah Tarbawiyah.
a.
Tazkiyah Nafs
1)
Hakekat Tazkiyah al-Nafs
Pembersihan
jiwa dari kotoran-kotoran penyakit hati seperti sifat hasud, kibir, ujub,
riya’, sum’ ah, thama, rakus, serakah, bohong, tidak amanah, nifaq, syirik dan
lain sebagainya merupakan salah satu misi utama para Rasul Allah. Ada beberapa
ayat al-Qur’an yang menunjukkan atas misi tersebut.
Perhatikan
do’a Nabi Ibrahim AS untuk anak cucunya, yang terdapat dalam al-Qur’an:
رَبَّنَا
وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ العَزِيزُ
الحَكِيمُ
Artinya:
Ya
Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan
membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka
Al-Kitab (al-Quran) dan Al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah :129)
Kemudian
Allah menjawab do’a tersebut dan memberi karunia atas ummat ini sebagaimana
firman-Nya:
كَمَا
أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا
وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا
لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
Sebagaimana
(Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu
Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada
kamu apa yang belum kamu ketahui. (Al-Baqarah: 151)
Ayat
lain menguatkan seperti ucapan nabi Musa kepada Fir’aun:
فَقُلْ
هَل لَّكَ إِلَى أَن تَزَكَّى
وَأَهْدِيَكَ
إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى
Artinya:
Adakah
keinginan bagimu untuk membersihkan diri. Dan kamu akan kupimpin ke jalan
Tuhanmu agar kamu takut kepadaNya. (An-Naazi’at:18-19)
Juga
Allah berfirman:
الَّذِي
يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى
Artinya:
...yang
menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. (Al-Lail:18)
قَدْ
أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
وَقَدْ
خَابَ مَن دَسَّاهَا
Artinya:
Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya. (Asy-Syam: 9-10).
Jelas
bahwa tazkiyat al-nafs termasuk misi para Rasul, sasaran orang-orang yang
bertaqwa, dan menentukan keselamatan atau kecelakaan disisi Allah. Tazkiyah secara
etimologis punya dua makna: penyucian dan pertumbuhan. Demikian pula maknanya
secara istilah. Zakatun nafsi artinya penyucian (tathabur) jiwa dari segala
penyakit dan cacat, merealisikan (tahaquq) berbagai maqam padanya, dan
menjadikan asma’ dan sifat Allah sebagai akhlaknya (takbaluq). Dengan demikian
tazkiyah adalah tathahur, tahaquq dan takhaluq. Kesemuanya ini memiliki
berbagai sarana yang sesuai dengan syari’at. Dampak dan pengaruhnya akan tampak
pada perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan Allah dan makhluk lainnya
sesuai dengan perintah Allah.
Tazkijah
hati dan jiwa hanya bisa dicapai melalui berbagai ibadah dan amal perbuatan
tertentu, apabila dilaksanakan secara sempurna dan memadai, seperti shalat,
infaq, puasa, haji, dzikir, fikir, tilawah al-Qur’an, renungan, muhasabah dan
dzikrul-maut. Pada saat itulah terealisir dalam hati sejumlah makna dan dampak
bagi seluruh anggota badan seperti lisan, mata, telinga dan Iainnya. Hasil yang
paling nyata ialah adab dan mu’amalah yang baik kepada Allah dan manusia.
Kepada Allah berupa pelaksanaan hak-haknya termasuk di dalamnya adalah jihad di
jalan-Nya. Sedangkan kepada manusia, sesuai dengan ajaran, tuntutan maqam dan
taklif Ilahi.
Dampak
lain yang dapat dirasakan adalah terealisirnya tauhid ikhlas, shabar, syukur,
harap, santun, jujur kepada Allah dan cinta kepada-Nya, di dalam hati. Dan
terhindarkannya dari hal-hal yang bertentangan dengan semua hal tersebut
seperti riya’, ‘ujub, ghurur marah karena nafsu atau karena syetan. Dengan
demikian jiwa menjadi tersucikan lalu hasil-hasilnya nampak pada
terkendalikannya anggota badan sesuai dengan perintah Allah dalam berhubungan
dengan keluarga, tetangga, masyarakat dan manusia.
2)
Sarana Tazkiyyah
Yang
dimaksud dengan sarana tazkiyah ialah berbagai amal perbuatan yang mempengaruhi
jiwa secara langsung dengan menyembuhkannya dari penyakit, membebaskannya dari
“tawanan”, atau merealisasikan akhlak padanya. Semua hal ini bisa terhimpun
dalam suatu amal perbuatan.
Dalam
sarana tazkiyah, ada berbagai amal perbuatan yang memberikan dampak pada jiwa
ini sehingga dengan perbuatan tersebut jiwa terbebas dari penyakit atau
mencapai maqam keimanan atau akhlak Islami.
Ada
beberapa sarana dalam tazkiyah yaitu:
a)
Shalat
Shalat
adalah satu sarana tazkiyah dan merupakan wujud tertinggi dari ‘ubudiyah dan
rasa syukur. Dengan demikian, ia adalah sarana itu sendiri. Jadi, ia adalah
cara sekaligus sarana. Shalat yang dilakukan secara sempurna merupakan manusia
bahwa jiwa dan hati tersucikan. Jadi, penuaiannya secara sempurna dan baik
merupakan sarana, tujuan dan dampak. Demikian pula masalah-masalah lainnya yang
berkenaan dengan pembahasan ini.
Penuaian
shalat, misalnya, dapat membebaskan manusia dari sikap sombong kepada Allah
Tuhan alam semesta, dan pada saat yang sama bisa menerangi hati lalu memantul
pada jiwa dengan memberikan dorongan untuk meninggalkan pebuatan keji dan
mungkar.
Sebelum
kita memasuki bab ini perlu kami berikan beberapa penjelasan berikut ini:
Fitrah
manusia bisa terkontaminasi oleh najis ma’nawi yaitu suatu kotoran yang
diartikan dari hakekatnya seperti kemusyrikan, seperti dalam al-Qur’an
menyatakan “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik
itu najis”, terkontaminasi lumpur hawa nafsu yang salah, seperti dalam
al-Qur’an yang artinya: “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek)
yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak
akan menemui kesesatan”, atau terkontaminasi oleh berbagai perangai binatang
yang tidak cocok untuk manusia, “Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak
itu)”. Sebagaimana di dalam jiwa juga terdapat kecenderungan untuk menentang
rububiyah, seperti sikap sombong dan angkuh. Jiwa juga bisa tertutup oleh
berbagai kegelapan sehingga tidak bisa melihat berbagai hakekat sebagaimana
mestinya. Karena itu, jika dikatakan tazkiyat al-nafs maka yang dimaksud adalah
pembebasan jiwa dari berbagai najis yang mengotorinya, berbagai hawa nafsu yang
keliru, berbagai perangai kebinatangan yang nista, penentangan terhadap
rubbubiyah dan berbagai kegelapan. Para Rasul diutus tidak lain adalah untuk
melaksanakan misi seperti ini.
Antara
manusia dan binatang ada unsur-unsur kesamaan yang diperlukan kehidupan
manusia, namun hal seperti ini tidak menjadi pembahasan kami. Berbagai macam
syahwat yang dibenarkan terkait dengan berbagai kemaslahatan yang dibenarkan
pula, hal ini juga tidak menjadi pembahasan kajian kami. Allah telah menjadikan
pada manusia kesiapan untuk berakhlak dengan berbagai kesempurnaan, seperti
santun dan kasih sayang, dan menjadikan untuknya beberapa sifat seperti
mendengar dan melihat. Berbagai kesempurnaan yang bisa menjadi sifat manusia
ini, yang merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, tidak termasuk didalamnya
apa yang kami maksud.
Berbagai
taklif Ilahi tercurahkan untuk kemaslahatan individu dan masyarakat, sementara
itu tidak ada kemaslahatan bagi individu dan masyarakat kecuali dengan
menyucikan jiwa individu. Oleh karena itu diantara taklif Ilahi yang terpenting
adalah apa yang bisa membersihkan jiwa.
Titik
awal dan akhir dalam taklif Ilahi adalah tauhid yang membersihkan dari berbagai
karat kemusyrikan dan berbagai akibatnya seperti ‘ujub, ghurur, dengki dan lain
sebagainya. Sesuai dengan sejauh mana tauhid itu tertanam dalam jiwa sejauh itu
pula jiwa akan tersucikan dan memetik berbagai buah tauhid seperti sabar,
syukur, ‘ubudiyah, tawakal, ridha, takut, harap, ikhlas, jujur, dan lain
sebagainya.
Oleh
sebab itu, kami menjadikan sarana pertama dalan tazkiyah adalah shalat. Shalat
berikut sujud, ruku’ dan dzikirnya membersihkan jiwa dari kesombongan kepada
Allah dan mengingatkan jiwa agar istiqamah diatas perintahNya:
“Sesungguhnya
shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar”, Jadi shalat merupakan salah
satu sarana tazkiyah.
b)
Zakat dan Infaq
Zakat
dan infaq bisa membersihkan jiwa dari bakhil dan kikir, dan menyadarkan manusia
bahwa pemilik harta yang sebenarnya adalah Allah. Oleh sebab itu, kedua ibadah
ini termasuk dalam bagian dari tazkiyah, “Yang menafkahkan hartanya (di jalan
Allah) untuk membersihkannya”.
c)
Puasa
Puasa
merupakan pembiasaan jiwa untuk mengendalikan syahwat dan kemaluan, sehingga
dengan demikian ia termasuk sarana tazkiyah, “Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Tujuan
dari puasa tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar dari mulai terbit fajar
hingga matahari tenggelam, namun lebih dari itu, yaitu melatih kesabaran dan
mengekang hawa nafsu dari keinginan-keinginan nafsu duniawi. Sehingga dengan
bepuasa setiap hamba dapat mendekatkan diri pada Allah SWT dengan khusyu’ tanpa
terbebani keinginan-keinginan duniawi.
d)
Dzikir dan Pikir
Membaca
Al-Qur’an dapat mengingatkan jiwa kepada berbagai kesempurnaan, karenanya ia
merupakan salah satu jenis dzikir dan merupakan sarana tazkiyah, “Dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya).
Berbagai
dzikir yang bisa memperdalam iman dan tauhid di dalam hati, “Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. Dengan demikian jiwa bisa
mencapai derajat tazkiyah yang tertinggi, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”.
Dzikir
dan pikir adalah dua sejoli yang dapat membukakan hati manusia untuk menerima
ayat-ayat Allah, oleh karena itu tafakkur termasuk sarana tazkiyah,
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat manusia-manusia bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya
barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau
hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun, Ya
Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman,
(yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami,
ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak
berbakti. Munculnya nilai-nilai dalam hati tidak lain adalah melalui perpaduan
antara dzikir dan pikir.
e)
Mengingat Kematian
Kadang
jiwa manusia ingin menjauh dari pintu Allah, bersikap sombong, sewenang-wenang
atau lalai, maka mengingat kematian akan dapat mengendalikannya lagi kepada
‘ubudiyah-Nya dan menyadarkannya bahwa ia tidak memiliki daya sama sekali, “Dan
Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan
diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian
kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami,
dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya”. Oleh karena itu,
mengingat kematian merupakan salah satu sarana tazkiyah, “Dan apakah mereka
tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan
Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita
manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?”
Muhasabah
harian terhadap jiwa dan muraqabullah juga dapat mempercepat taubat dan
memperkuat laju peningkatan (taraqqi), karenanya muhasabah merupakan salah satu
sarana tazkiyah, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat)”.
Jiwa
terkadang tidak terkendalikan lalu terjerumus ke dalam kelalaian, maksiat atau
syahwat sehingga harus dilakukan mujahaddah (kerja keras) agar bisa kembali,
Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”.
f)
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Tidak
ada hal yang sedemikian efektif untuk menanamkan kebaikan ke dalam jiwa
sebagaimana perintah untuk melakukan kebaikan, dan tidak ada hal yang
sedemikian efektif untuk menjauhkan jiwa dari keburukan sebagaimana larangan
darinya. Oleh karena itu, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu
sarana tazkiyah, bahkan orang-orang yang tidak memerintahkan yang ma’ruf dan
tidak mencegah kemungkaran berhak mendapat laknat Kotoran jiwa apakah yang
lebih besar dari laknat? “Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil
dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka
durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang
tindakan yang mereka perbuat, sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka selalu
perbuat itu”.
Kaitkanlah
antara firmanNya, “Sesungguhnya telah berbahagia orang yang mensucikannya”, dan
firmanNya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung”. Perhatikanlah kalimat “orang-orang yang
beruntung” niscaya manusia mengetahui bahwa amar ma’ruf, nahi munkar dan ajakan
kepada kebaikan merupakan salah satu sarana tazkiyah.
Jika
amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu sarana tazkiyah, maka demikian
pula jihad karena ia merupakan bentuk pengukuhan kebaikan dan pengikisan
kemungkaran. Oleh karena itu, mati syahid di jalan Allah adalah penghapus dosa.
Orang yang berjihad di jalan Allah terbebas secara langsung dari rasa takut dan
kikir karena ia menerjang kematian dengan niat menjual dirinya kepada Allah,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu
mereka membunuh atau terbunuh”. Tidak dapat melakukan hal tersebut secara
sempurna dan baik kecuali orang-orang yang yang disebutkan sifatnya oleh Allah
dengan firmanNya, "Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang
beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh
berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum
Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”. Jadi jihad adalah salah satu
sarana tazkiyah, bahkan merupakan sarana paling tinggi dan tidak dapat
melakukannya pada ghalibnya kecuali orang yang tersucikan jiwanya.
Itulah
berbagai induk sarana tazkiyah secara umum, disamping ada beberapa macam
tazkiyah khusus bagi beberapa penyakit khusus. Semakin sempurna sarana ini
direalisasikan semakin sempurna pula hasil-hasilnya, dan sebaliknya.
Nilai-nilai
bathiniyah dalam hal shalat, zakat, puasa dan tilawah Al-Qur’an telah dilupakan
oleh banyak orang, padahal berbagai ibadah utama dalam islam akan dapat
menerangi dan mensucikan jiwa tergantung kepada sejauh mana nilai-nilai
bathiniahnya tersebut diperhatikan. Ia akan dapat memberikan pengaruh yang
sempurna apabila ditunaikan secara sempurna, yakni amal-amal lahiriyah disertai
dengan amal-amal bathiniah, seperti shalat disertai khusu’, zakat disertai
dengan niat yang baik, tilawah Al-Qur’an disertai dengan tadabur yang baik dan
dzikir yang menghadirkan hati (hudhur). Bentuk penunaian ini merupakan penerang
dan pensuci bagi kesempurnaan. Karena aspek spiritual dari hal-hal ini telah
terjangkiti oleh penyakit wahan dan kekurangan di kalangan para penempuh jalan
menuju Allah, maka hal tersebut menjadi fokus pilihan kami karena hal-hal yang
bersifat lahiriyah biasanya tidak terlupakan di kalangan orang-orang yang hidup
di lingkungan islam.
3)
Tujuan Tazkiyat Al-Nafs
Ada
perselisihan filosofis seputar: apakah tidak ada kaitan antara sarana, tujuan
dan dampak, ataukah ada mata rantai saja? Masalahnya relatif. Setiap sarana
adalah tujuan bagi yang lainnya, dan setiap tujuan merupakan sarana bagi yang
lainnya. Jadi hasil-hasil itu sendiri tidak keluar dari keberadaannya sebagai
tujuan dan sarana bagi sesuatu yang lain. Apapun kesimpulan perdebatan ini,
proses pengajaran, penyederhanaan dan pemaparan ini menuntut penjelasan rinci
yang membahas masalah sarana, tujuan dan hasil atau dampak tersebut
masing-masing secara terpisah. Memang pada akhirnya ada saling keterkaitan,
tetapi saling keterkaitan ini tidak muncul sebagaimana munculnya pada
pembicaran tentang tazkiyah yang tengah dibahas ini.
Tujuan
dari upaya pembersihan diri ini akan terlaksana apabila telah melampai beberapa
tahap. Tahapan ini merupakan sarana yang tepat sebagai upaya pelaksanaan
tazkiyah al-nafs. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
a)
Tathahhur (Upaya mensucikan diri)
Usaha
seseorang untuk dapat memulai tazkiyat al-nafs adalah melalui tathahur. Upaya
ini diawali dengan taubat dan berjanji tidak akan mengulangi lagi segala
perbuatan yang bisa mengotori jiwa atau hati, seperti nifaq, berdusta, khianat,
mengingkari janji, hasud, riya’, kibir, sum’ah, ujub, su’udhan dan lain-lain.
Ia harus mengikis habis segala yang bisa menggoda hatinya untuk kembali
melakukan perbuatan-perbuatan kotor. Dengan cara ini, jiwanya akan terasa
kosong dari penyakit-penyakit tadi, sehingga dapat dikatakan jiwanya bersih.
b)
Takhallaq (upaya menghiasi diri dengan akhlak al-karimah)
Setelah
seseorang berusaha mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan kotor pada jiwanya,
maka ia harus berupaya mengisinya dengan perbuatan-perbuatan mulia (akhlak
mulia). Sifat-sifat seperti nifaq, berdusta, khianat, mengingkari janji, iri
dengki, riya’, kibir, sum’ah, ujub, su’udhan dan lain-lain haruslah diganti
dengan sifat-sifat akhlak mulia seperti jujur, amanah, tawakkal, sabar,
tawadhu’, tadharru’, qana’ah, iffah, dan lain-lain. Dengan cara ini jiwa atau
seseorang akan terhiasi perilaku-perilaku baik yang pada akhirnya perlu
perwujudan dalam perilaku.
c)
Tahaqquq (Upaya merealisasikan kedudukan-kedudukan mulia atau biasa disebut
Maqamatul Qulub)
Upaya
ini merupakan puncak dari proses tazkiyatal-nafs, karena takhalluq merupakan
cara dan jalan bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan
Allah Swt sehingga ia akan memperoleh kedudukan yang mulia disisi-Nya. Untuk
dapat berada dekat dengan Allah sedekat-dekatnya, seorang muslim harus menempuh
perjalanan panjang yang dalam istilah Arab dikenal dengan maqamat, sebagai
bentuk jamak dari kata maqam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam
surat al-Shaffat ayat 164 yang berbunyi:
وَمَا
مِنَّا إِلَّا لَهُ مَقَامٌ مَّعْلُومٌ
Artinya:
Tiada
seorangpun diantara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang
tertentu.
Kedudukan
tersebut merupakan tempat yang mulia di sisi Allah Swt Sebagaimana yang
dijanjikan Allah Swt dalam surat Ibrahim ayat 14:
وَلَنُسْكِنَنَّـكُمُ
الأَرْضَ مِن بَعْدِهِمْ ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ
Artinya:
Dan
kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang
demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) ke
hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.
4)
Buah Tazkiyyatun Nafs
Aktifitas-Aktifitas
tazkiyah yang dapat mencontoh Rasulullah saw ini dapat menghasilkan buah-buah
‘amaliyah, buah-buah ini disebut Tsamaratut-Tazkiyyah, yaitu:
a.
Dhabtul-Lisan (Lisan yang terkontrol)
Rasulullah
menjadikan lurusnya lisan sebagai syarat bagi lurusnya hati, dan menjadikan
lurusnya hati sebagai syarat lurusnya iman. Sebagaimana diriwayatkan dari Anas
bin Malik, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
Keimanan
seorang hamba tidak akan lurus sebelum lurus hatinya, dan harinya tidak akan
lurus sebelum lurus lisannya.
Diriwayatkan
pula dari Abdullah bin Umar r.a. secara marfu’, berkata:
Artinya:
Janganlah
kalian berbanyak kata selain dzikrullah, sesungguhnya hal itu akan menjadikan
kerasnya hari. Dan manusia yang paling jauh dari Allah adalah pemilik hati yang
keras.
Selanjutnya
Rasulullah bersabda:
Artinya:
Barang
siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau
diam.
Hadits
ini memuat perintah Rasulullah untuk berbicara yang baik-baik atau diam jika
pembicaraan itu tidak baik (tidak bermanfaat). Apabila perintah Rasulullah ini
dikksanakan maka akan dapat memetik buah dari tazkiyah, yaitu seorang muslim
dapat mengontrol lisannya sehingga ia akan senantiasa terjaga lisannya dari
perkatan yang tidak baik.
b.
Iltizam Bi Adabil ‘Ilaqat (Komitmen dengan adab-adab pergaulan)
Hasil
lain dari tazkiyah yang dapat dipetik adalah berkomitmen dengan adab-adab
pergaulan. Ada 4 (empat) macam klasifikasi manusia dalam pergaulan, yaitu:
1)
Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat mengkonsumsi makanan yang
bergizi. Ia dibutuhkan siang dan malam. Jika seseorang telah menyelesaikan
keperluannya ia ditinggal, dan jika diperlukan lagi ia didatangi, demikian
seterusnya. Mereka adalah para ularna, ahli ma’rifatullah, memahami
perintah-perintahNya, mengerti tipu daya musuh-musuhNya, dan memiliki ilmu
tentang penyakit-penyakit hati serta obatnya. Mereka adalah orang-orang yang
setia kepada Allah, KitabNya, rasulNya, dan seluruh makhluk. Bergaul dengan
mereka adalah keberuntungan yang nyata.
2)
Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat mengkonsumsi obat. Ia
dibutuhkan dikala sakit, selama sehat tidak diperlukan pergaulan dengan mereka.
Mereka adalah para profesional dalam urusan muamalat, bisnis dan yang
semisalnya. Bergaul dengan orang-orang seperti ini dapat membawa urusan
ma’siyah menjadi lancar.
3)
Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat mengkonsumsi penyakit. Ada
penyakit ganas yang memakan waktu lama untuk disembuhkan. Orang yang semacam
ini tidak membawa keuntungan dunia ataupun akhirat.
4)
Segolongan orang yang bergaul dengan mereka adalah kebinasaan total. Mereka
ibarat racun. Jika seseorang tidak sengaja memakannya itupun sudah suatu
kerugian. Golongan ini banyak sekali, mereka adalah ahli bid’ah dan kesesatan,
penghalang sunnah Rasulullah penyeru kepada perselisihan. Bergaul dengan mereka
juga membawa kerugian dunia dan akhirat.
Dengan
tazkiyah ini seorang muslim dapat menentukan batasan-batasan dalam pergaulan,
dimana ia bisa menempatkan diri dalam golongan pergaulan yang membawa
keselamatan dunia dan akhirat.
PERTEMUAN
10
b.
Tarbiyah Dzatiyah
1)
Hakekat Tarbiyah Dzatiyah
Istilah
tarbiyah dzatiyah merupakan sejumlah sarana tarbiyah yang diberikan orang
Muslim, atau Muslimah, kepada dirinya, untuk membentuk kepribadian Islami yang
sempurna diseluruh sisinya; ilmiah, iman, akhlak, sosial, dan lain sebagainya,
dan naik tinggi ketingkatan kesempurnaan manusia. Tarbiyah dzatiyah ini juga
bisa dikatakan pembinaan (tarbiyah) seseorang terhadap dirinya sendiri.
Tarbiyah dzatiyah sudah pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah. Bisa
dilihat dari sejarah keberhasilan sahabat-sahabat Rasulullah, dimana mereka
mampu tampil menjadi figur-figur hebat, dengan ciri khas dan kelebihannya
masing-masing. Salah satu kuncinya adalah masing-masing dari mereka mampu
mentarbiyah (membina) diri sendiri dengan optimal, meningkatkan kualitas diri
menuju tingkatan seideal mungkin, mengadakan perbaikan diri secara konsisten
dan kontinyu, serta meningkatkan semua potensi diri mereka sehingga tidak ada
satu pun potensi mereka yang terabaikan.
2)
Sarana-sarana Tarbiyah Dzatiyah
Banyak
sekali sarana-sarana dalam tzabiyah seorang muslim terhadap dirinya sendiri.
Sarana-sarana tersebut adalah :
a)
Muhasabah
Muhasabah
merupakan penyucian atau pembersihan diri sebagai alat untuk mengintrospeksi
dirinya sendiri. Seorang muslim mulai mentarbiyah dirinya sendiri dengan cara
pertama-tama melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya sendiri atas
kebaikan dan keburukan yang telah ia kerjakan, meneliti kebaikan dan keburukan
yang ia miliki, agar ia dapat segera menyadari dan melakukan perbaikan terhadap
dirinya sendiri.
Hal
yang pertama kali perlu di muhasabahi seseorang pada dirinya ialah kesehatan
akidahnya, kebersihan tauhidnya dan kebersihannya dari syirik kecil dan
tersembunyi, yang keduanya sering kali disepelekan serta keyakinan-keyakinan
dan perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan atau melemahkan tauhid. Lalu ia
memuhasabahi dirinya atas pelaksanaan kewajiban-kewajiban, shalat lima waktu
berjamaah, bakti kepada kedua orang tua (birrul walidain), menyambung hubungan
kekerabatan, amar ma’ruf nahi munkar dan juga memuhasabahi dirinya tentang
sejauh mana pelaksanaan ibadah-ibadah sunnah dan ketentuan-ketentuan lainnya
oleh dirinya.
b)
Taubat dari Segala Dosa
Diantara
sarana tazkiyah adalah taubat karena ia dapat meluruskan perjalanan jiwa setiap
kali melakukan penyimpangan, dan mengembalikannya kepada titik tolak yang
benar. Taubat juga bisa menghentikan laju kesalahan jiwa, sehingga Allah
melimpahkan karuniaNya kepada orang-orang yang bertaubat dengan mengubah
kesalahan-kesalahan mereka menjadi kebaikan, “kecuali orang-orang yang
bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka
diganti Allah dengan kebajikan”.
Hal
yang terpenting yang harus dilakukan ketika sesorang muslim beribadah kepada
Allah Swt adalah bertaubat dari segala dosa. Caranya dengan bertaubat dari
segala maksiat, aib, dan ketidaksempurnaan di aspek pemikiran, amal, akhlak,
dan lain sebagainya. Juga dengan cara merasa butuh kepada Allah Swt, dekat
kepada-Nya, dan keridhaan-Nya. Ini semua bisa diwujudkan dengan cara
membersihkan diri dari semua dosa dan kekurangan pada dirinya. Mengenai anjuran
bertaubat Allah Swt berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
Dalam
ayat tersebut dinyatakan bahwa Allah menganjurkan setiap orang mukmin untuk
bertaubat nashuhah (hakiki). Taubat nashuhah adalah taubat yang jujur dan
serius, yang menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya dan melindungi pelakunya
dari dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya. Dilakukan dengan cara berhenti dari
dosa pada masa mendatang, menyesali dosa-dosa silamnya, dan bertekad tidak akan
mengerjakannya lagi pada masa mendatang. Dengan taubat kepada Allah Swt maka
seorang muslim telah memulai pelaksanaan tarbiyah terhadap dirinya sendiri.
c)
Mencari Ilmu dan Memperluas Wawasan
Sarana
selanjutnya dalam tarbiyah dzatiyah adalah mencari ilmu dan memperluas
cakrawala pengetahuan, dimana ini merupakan aspek dan sarana penting dalam
tarbiyah dzatiyah yang ideal dan mengarahkannya dengan pengarahan yang benar.
Sebab bagaimana mungkin seseorang dapat mentarbiyah dirinya dengan tarbiyah
yang benar, jika tidak tahu hal halal, haram, kebenaran, kebathilan, manhaj,
dan sarana yang benar atau salah. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab berkata,
Ketahuilah, mencari ilmu itu wajib dan menyembuhkan hati yang sakit. Yang
paling penting bagi seorang hamba ialah ia tahu agamanya, dimana mengetahui dan
mengamalkannya adalah jalan masuk ke sorga.
d)
Mengerjakan Amalan-amalan Iman
Mengerjakan
amalan-amalan iman termasuk sarana yang bervariatif, sangat besar pengaruhnya
pada jiwa, karena cara ini merupakan realisasi dari perintah-perintah Allah dan
rasul-Nya. Cara ini merupakan ujian untuk mengetahui sejauh mana kejujuran
orang-orang yang mengerjakannya dalam mencari petunjuk serta beristiqamah, dan
dengan mengerjakan amalan-amalan iman ini merupakan bukti kuat keinginan ikhlas
orang yang bersangkutan dalam mentarbiyah dirinya dan memperbaikinya.
Amalan-amalan
iman ini sangat bervariatif diantaranya, mengerjakan ibadah-ibadah wajib
seoptimal mungkin seperti mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa dan
mengeluarkan zakat, meningkatkan porsi ibadah-ibadah sunnah, peduli dengan
ibadah dzikir termasuk membaca al-Qur’an.
e)
Memperhatikan Aspek Akhlak (Moral)
Pembinaan
akhlak merupakan aspek penting dalam tarbiyah dzatiyah. Islam sangat peduli
dengan aspek akhlak (moral) yang baik. Seluruh perintah, larangan, ibadah dan
ketaatan Islam membuahkan hasil positif dalam jiwa dan kehidupan manusia.
Diantara hasil terbesar akhlak terkait dengan hak Allah Swt ialah takut
kepada-Nya. Hasil positifnya terkait dengan hak manusia adalah berakhlak baik
ketika bergaul dengan mereka dan berbuat baik kepada mereka, karena agama
adalah muamalah
Allah
Swt berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya:
Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Selanjutnya
Allah juga berfirman:
وَاللّهُ
يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
Dan
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.
Dalam
hadits Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya
orang mukmin pasti mendapatkan derajat orang yang puasa dan qiyamul tail dengan
akhlaknya yang baik. (Diriwayatkan Abu Dawud)
Akhlak
menjadi salah satu sarana tarbiyah dzatiyah, sekaligus tujuannya pada saat yang
sama. Oleh karena itu, setiap orang muslim harus mentarbiyah dirinya dengan
akhlak yang dianjurkan agama Islam, seperti sabar, thawadhu', dermawan jujur
dan masih banyak alagi akhlak-akhlak mulia yang harus direalisasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
3)
Buah Tarbiyah Dzatiyah
Jika
seorang muslim benar-benar melaksanakan pembinaan akhlak terhadap dirinya
sendiri maka ia akan memperoleh hasil atau buah dari Tarbiyah Dzatiyah. Buah
dari tarbiyah dzatiyah diantaranya:
a)
Keridhaan Allah Swt dan Surga-Nya
Jika
seorang muslim melakukan tarbiyab dzatiyah secara sempurna, dengan cara
mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhkan diri dari segala maksiat, maka
ia akan mendapat keridhaan Allah SWT, lalu memperoleh surga-Nya yang merupakan
dambaan seluruh orang Muslim di akhirat kelak.
Allah
berfirman:
مَنْ
عَمِلَ سَيِّئَةً فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَمَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن
ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ
يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya:
Barang
siapa mengerjakan perbuatan jahat, dia tidak akan dibalas melainkan sebanding
dengan kejahatan itu dan barang siapa mengerjakan amal yang shalih baik
laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman maka mereka akan
masuk surga, mereka diberi rizki didalamnya tanpa hisab.
Allah
berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ
الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً
Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga firdaus
menjadi tempat tinggal.
Tingkatan
orang di surga sangat ditentukan oleh sejauh mana tarbiyah dan tazkiyah
(penyucian dirinya). Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
وَمَنْ
يَأْتِهِ مُؤْمِناً قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُوْلَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ
الْعُلَى
Artinya:
Dan
barang siapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh
telah beramal shalih, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh
tempat-tempat yang tinggi (mulia).
b)
Kebahagiaan dan Ketentraman
Semua
orang mencari kebahagiaan bathin dan ketentraman jiwa. Namun, banyak dari
mereka salah jalan dalam upaya mendapatkannya dan tidak tahu jalan-jalannya.
Sebab mereka mencari kebahagiaan dan ketentraman di makanan, minuman, syahwat,
maksiat dan sebagainya. Mereka hanya mendapatkan kebahagiaan sesaat dan semu.
Allah Swt membimbing manusia untuk selalu mentarbiyah diri manusia sendiri,
sehingga buah tarbiyah yang diperoleh adalah kebahagiaan dan ketentraman
batinnya. Sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya:
Barang
siapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya pasti Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik.
c)
Dicintai dan Diterima Allah
Allah
Swt menjanjikan barangsiapa memperbaiki dan mentarbiyah dirinya untuk beriman,
bertakwa dan beramal shalih, ia mendapatkan cinta Allah Swt. Sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits qudsi:
Artinya
:
Hamba-Ku
senantiasa mendekat kepada-Ku dengan (melakukan) ibadah-ibadah sunnah, hingga
Aku mencintainya.
Lalu,
tanpa keinginan dan pilihan orang itu mendapatkan cinta manusia, penghormatan
mereka dan Allah Swt membuat mereka menerima dirinya.
Allah
berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدّاً
Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan
menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang.
d)
Terjaga dari Keburukan
Allah
Swt menjaga orang Muslim dari keseluruhan musibah dunia, hal-hal yang tidak
mengenakan di kehidupan, pihak-pihak yang menginginkan keburukan baginya, yaitu
setan-setan dari kalangan manusia dan jin, bahkan menjaga dari hewan-hewan
buas, singa dan lain sebagainya.
Allah
Swt berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ
Artinya:
Sesungguhnya
Allah membela orang-orang yang telah beriman.
Allah
Swt juga menjaga telinga, mata, potensi akal, dan potensi fisik orang yang
bertakwa dan senantiasa melakukan tarbiyah terhadap dirinya. Ibnu Rajab
barkata: “Barang siapa menjaga Allah pada masa muda dan masa kuatnya, maka
Allah menjaganya pada masa tuanya dan ketika kekuatannya melemah, serta
memberinya kenikmatan pada telinga, mata, kekuatan, dan akalnya. Sebagai contoh
dalam hal ini ialah salah seorang ulama telah berusia lebih dari seratus tahun,
tetapi ia tetap hidup dengan kekuatan dan akal yang utuh seperti semula. Pada
suatu hari, ia melakukan loncatan keras dan ia pun dikecam karenanya. Ia
berkata, “Aku menjaga organ tubuh ini dari maksiat ketika aku masih kecil, lalu
Allah menjaganya ketika aku telah tua.” Hal ini sebagai penegasan sebagaimana
yang disebut di dalam hadits Rasulullah.
Artinya:
Jagalah
Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapatkan-Nya di
depanmu (Diriwayatkan At-Tirmidzi).
e)
Jiwa Merasa Aman
Ketentraman
adalah kehidupan bagi hati, cahaya di mana ia bersinar dengannya, kebangkitan
baginya, dan kekuatan yang menguatkan tekadnya, membuatnya tegar terhadap
seluruh penderitaannya, dan mengontrol jiwa ketika tidak bersabar. Karena itu
orang mukmin semakin kuat imannya dengan ketentraman yang ada padanya.
Semua
orang di kehidupan ini pasti diliputi ketakutan-ketakutan dan duka dari semua
arah. Karena mereka tidak tahu apa yang akan diputuskan Allah Swt terhadap
dirinya dan juga tidak tahu masa depan apa yang akan ditetapkan Allah Swt. Seorang
Muslim yang telah mentarbiyah dirinya tidak akan merasa takut dan sedih
terhadap apa yang terjadi pada masa silamnya, masa kininya, dan masa depannya.
Mereka yakin bahwa Allah Swt akan memberikan rahmat pada umat-Nya dan
mengampuni dosa-dosanya. Mereka merasa aman atas rizki dan mata pencahariannya,
serta merasa aman dan ridha dengan takdir Allah karena di dalamnya terdapat
kebaikan.
Firman
Allah Swt:
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka tetap
istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak (pula)
berduka cita.
Selanjutnya
firman Allah yang lain:
هُوَ
الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَاناً
مَّعَ إِيمَانِهِمْ
Artinya:
Dia
yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang Mukmin supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).
PERTEMUAN
11
c.
Halaqah Tarbawiyah
Betapapun
tarbiyah dzatiyah merupakan faktor terpenting dalam pembinaan akhlak, akan
tetapi dalam realitas kehidupan seseorang akan menghadapi kendala yang sangat
besar untuk bisa merealisasikan tarbiyah dzatiyah.
Uniknya
hambatan yang paling besar muncul dalam diri seseorang, seperti kurangnya
disiplin, tidak konsisten, tidak jujur pada diri sendiri, lemah semangat dan
lain-lain. Maka dalam rangka merealisasikan tarbiyah dzatiyah perlu ditopang
dengan perilaku lain baik langsung maupun tidak langsung. Rasulullah Saw
memberikan isyarat tentang hal tersebut dengan sabdanya:
Artinya:
Orang
mukmin merupakan cerminan saudaranya
Selanjutnya
Allah Swt berfirman:
Bahkan
para sahabat sebagai generasi terbaik setelah Rasulullah Saw mentradisikan
pembinaan diri mereka sendiri ke arah yang lebih baik dengan melibatkan sahabat
yang lain.
Hudzaifah
Ibn Yaman pernah berkata:
Mari
kita duduk bersama untuk merenungkan iman kita sesaat.
Pada
umumnya setiap orang mempunyai forum dengan orang lain baik yang berkaitan
dengan bidang profesi pedagang, petani, pegawai dan lain-lain. Berbeda jika
forum yang terkait dengan kegiatan sosial, politik, keluarga dan lain-lain.
Akan tetapi sangatlah sedikit orang yang mempunyai forum internalisasi
keimanan.
Di
kalangan pengamal thariqah yang merupakan bagian dari kegiatan sebagian
kalangan tasawuf dikenal dengan adanya seorang mursyid. Seorang mursyid
biasanya menjadi rujukan para pengamal thariqah khususnya di dalam menjalankan
wirid-wirid. Bahkan idealnya seorang mursyid juga menjadi pembimbing dalam
berprilaku agar sesuai dengan akhlak al-karimah yang sering disebut dengan
suluk.
Apa
yang dilakukan para pengamal thariqah dalam menghimpun diri pada sebuah
kelompok thariqah dengan bimbingan seorang mursyid jika dikaitkan dengan
beberapa hadits Nabi Saw dan tradisi yang dilakukan para sahabat dalam membina
keimanan secara jama’i (kolektif) dapat diadopsi secara massal sebagai konsep
pembinaan akhlak tasawuf dalam bentuk halaqah. Halaqah sesuai dengan arti
lughawi adalah lingkaran dimana orang menghimpun diri di dalamnya dengan
dipandu oleh seorang murabbi (pembimbing) untuk bersama-sama membina diri
mereka baik dari segi penambahan ilmu maupun pengamalan. Inilah yang kemudian
dinamakan halaqah tarbawiyah.
Kegiatan
halaqah ini berbentuk pertemuan rutin minimal sekali dalam seminggu dengan
agenda kegiatan, antara lain :
1)
Tadarus al-Qur’an
2)
Pemberian materi
3)
Internalisasi materi dalam pengamalan
4)
Dialog permasalahan umat
5)
Evaluasi diri atau muhasabah
6)
Penutup
Disamping
kegiatan rutin mingguan, halaqah juga bisa mengadakan acara-acara khusus untuk
menguatkan spiritual seperti qiyamul lail bersama, buka puasa sunnah, rihlah
untuk memperkuat ukhuwah, tadabbur dan lain-lain. Intinya forum ini tidak hanya
mengkaji Islam dalam dataran wacana, akan tetapi dilanjutkan ke arah
internalisasi atau pengamalan bahkan hingga pada tataran bagaimana dakwah pada
kaumnya.
Dalam
bentuk pembinaan akhlak tasawuf, melalui halaqah akan dihasilkan manfaat:
1)
Tertanamnya keyakinan keimanan kuat kepada aqidah dan kebenaran Islam.
2)
Terbentuknya akhlak al-karimah secara nyata dalam wujud perbuatan baik dalam
ruang lingkup individu, keluarga dan masyarakat termasuk di dalamnya di
lingkungan kampus.
3)
Terciptanya ruh ukhuwah Islamiyah di dalam kehidupan sosial.
4)
Optimalisasi amal untuk mendakwah keislaman khususnya melalui Qadwah atau
tasawuf.
5)
Terpeliharanya kepribadian dan amal dari pelbagai pengaruh yang bisa merusak
dan melemahkannya.
6)
Mengkoreksi dan memperbaiki berbagai bentuk kesalahan dan penyimpangan melalui
tausiyah dan mau’idzah khasanah.
2.
Langkah-Langkah Pembinaan Akhlak
Beribadah
merupakan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya (Allah Swt). Dalam
mewujudkan pengabdianya manusia berusaha untuk senantiasa bersih atau suci dari
segala dosa-dosa yang melekat pada diri manusia. Upaya-upaya tersebut sudah
banyak dilakukan oleh mereka yang ingin dekat dengan Allah Swt. Salah satunya
adalah pembinaan akhlak yang dalam pembahasan ini lebih ditekankan pada
pembinaan akhlak melalui Tarbiyah Dzatiyah, Tarbiyah al-Nafs dan Halaqah
Tarbawiyah. Disinilah para ahli perjalanan kepada Allah mengambil langkah
pendekatan diri pada Tuhannya dengan cara muraqabah, muhasabah, musyarathah,
mujahadah dan mu’tabah, dimana cara seperti ini sebagai salah satu sarana
tazkiyatun nafs.
Manusia
yang senantiasa metazkiyah dirinya akan selalu mengingat bahwa Allah mengawasi
mereka, menanyai mereka dalam proses hisab, dan akan dituntut dengan berbagai
tuntutan yang sedetail-detailnya. Dan tidak ada sesuatu yang dapat
menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali lazumul muhasabah (muhasabah
secara terus menerus), shidul muraqabah (muraqabah secara benar), muthalabatun
nafsi (menuntut jiwa) dalam semua nafas dan gerak dan muhasabah terhadap jiwa
dalam segala hal dan keadaan. Barangsiapa meng-hisab dirinya sebelum dihisab,
maka akan ringan hisabnya di hari kiamat, bisa menjawab pertanyaan yang
diajukan, dan mendapatkan tempat kembali yang baik. Tetapi barang siapa yang
tidak meng-hisab dirinya maka akan menyesal selamanya, akan lama penantiannya
di pelataran kiamat, dan berbagai keburukan akan menyeretnya kepada kehinaan
dan murka. Setelah hal itu terungkap, maka manusia akan mengetahui bahwa tidak
ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka kecuali ketaatan kepada Allah.
Dalam
pada itu Allah telah memerintahkan mereka agar bersabar dan bersiap siaga
(murabathah). FirmanNya “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan
kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga...” Mereka mempersiapsiagakan
diri mereka terlebih dahulu dengan musyarathah (menetapkan beberapa syarat),
kemudian dengan muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah dan mu’atabah.
Inilah yang kemudian sebagai acuan dalam tazkiyah al-nafs, yaitu upaya manusia
membersihkan atau mensucikan dirinya sebagai sarana mendekatkan diri pada
Tuhannya.
Ada
beberapa tahapan mempersiapkan diri (murabathah) dalam bertazkiyah yang
memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta
penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting dijalani agar
benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan manusia
dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat
nanti. Tahapan tersebut terbagi dalam enam maqam (tingkatan), yaitu:
a.
Musyarathah (Penetapan Syarat)
Penetapan
syarat adalah permulaan seseorang melakukan suatu kegiatan. Sebagai contoh
tuntutan orang-orang yang terlihat dalam kongsi perdagangan, ketika melakukan
perhitungan, adalah selamatkan keuntungan. Sebagaimana pedagang meminta bantuan
kepada sekutu dagangnya lalu menyerahkan harta kepadanya agar memperdagangkan
kemudian memperhitungkannya. Demikian pula akal, ia merupakan pedagang di jalan
akherat. Apa yang menjadi tuntutan dan keuntungan tidak lain adalah tazkiyatun
nafs karena dengan hal itulah keberuntungannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.” Karena keberuntungan tidak lain adalah amal shalih.
Dalam
perdagangan ini akal dibantu oleh jiwa, bila dipergunakan dan dikerjakan untuk
hal yang dapat mensucikannya, sebagaimana pedagang dibantu oleh sekutu dan
pembantunya yang memperdagangkan hartanya. Sebagaimana sekutu bisa menjadi
musuh dan pesaing yang memanipulasi keuntungan sehingga perlu terlebih dahulu
dibuat syarat (musyrathah), kemudian diawasi (muraqabah), diaudit (muhasabah)
dan memberi sanksi (mu’aqabah) atau dicela (mu’atabab). Demikian pula akal
memerlukan musyrathah (penetapan syarat kepada jiwa), lalu memberikan berbagai
tugas, menetapkan berbagai syarat, mengarahkan ke jalan kemenangan, dan
mewajibkannya agar menempuh jalan tersebut. Kemudian tidak pernah lupa
mengawasinya, sebab seandainya manusia mengabaikannya niscaya akan terjadi
pengkhianatan dan penyia-nyiaan modal. Kemudian setelah itu ia harus
meng-hisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang ditetapkan, karena bagi manusia
keuntungan perdagangan ini adalah syurga firdaus yang tertinggi dan mencapai
sidratul munthaha bersama para nabi dan syuhada’. Oleh sebab itu memperketat
hisab (perhitungan) terhadap jiwa dalam hal ini jauh lebih penting ketimbang
memperketat perhitungan keuntungan dunia, karena keuntungan dunia sangat hina
bila dibandingkan dengan kenikmatan syurga, disamping kenikmatan dunia pasti
lenyap. Tidak ada kebaikan pada kebaikan yang tidak langgeng.
Maka
menjadi keharusan bagi setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk tidak lalai untuk melakukan muhasabah terhadap jiwanya, memperketat dalam
berbagai gerak, diam, lintasan dan langkah-langkahnya. Apabila hamba memasuki
waktu shubuh dan telah usai melaksanakan shalat shubuh maka hendaknya ia
meluangkan hatinya untuk menetapkan syarat terhadap jiwanya sebagaimana
pedagang meluangkan pertemuan untuk menetapkan syarat-syarat kepada sekutunya
ketika ia menyerahkan barang dagangan kepadanya seraya berkata kepada jiwa;
“Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur, jika ia habis maka habislah
modal sehingga tidak ada harapan untuk melakukan perdagangan dan mencari
keuntungan. Di hari yang baru ini Allah telah memberi tempo (waktu) kepadaku,
dia memperpanjang usiaku dan melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia itu.
Seandainya Allah mematikan aku niscaya aku akan berandi-manusia sekiranya Allah
mengembalikan aku ke dunia sehari saja agar aku beramal shalih.” Seandainya
jiwa manusia telah meninggal kemudian dikembalikan lagi ke dunia, maka
janganlah menyia-nyiakan hari ini, karena setiap nafas adalah mutiara yang
tiada terkira nilainya. Perlu diketahui bahwa sehari semalam adalah dua puluh
empat jam, maka bersungguh-sungguhlah hari ini untuk mengumpulkan bekal dan
hindari kecenderungan pada kemalasan, kelesuan dan santai yang menyebabkan
tidak dapat meraih derajat ‘iltiyin sebagaimana orang yang telah
mendapatkannya.
b.
Muraqabah (Pengawasan)
Muraqabah
atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah
(pengawasan Allah). Istilah ini diterapkan pada konsentrasi penuh waspada,
dengan segenap jiwa, pikiran dan imajinasi, serta pemeriksaan yang dengannya
sang hamba mengawasi dirinya sendiri dengan cermat. Dengan kata lain muraqabah
adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah).
Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri adalah dengan jalan
mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
Bila
hal tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang Muslim maka dalam dirinya
terdapat ‘waskat' (pengawasan melekat atau built in control) yakni sebuah
mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi
dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah
pengawasan Allah seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan Hadits yang
artinya berikut ini:
1)
“...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid ayat 4), “Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih
dekat kepadanya dari urat lehernya” (QS. Qaf ayat 16),
2)
“Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di
lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya
(pula), dan tidak jatuh sebutir pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang
basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)” (QS. Al-An’am ayat 59).
3)
(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi,
niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus
lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman ayat 16).
4)
Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi Saw bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau
sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang
mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah
atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah
(kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. At-Taubah
ayat 40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita”, ketika Abu Bakar r.a sangat
cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula
pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang
tentara Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat
pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia
berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan
menunjukiku jalan”. Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi
contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah, Yakni
ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar
saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal afiat
karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi
dingin.
Apabila
manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan syarat kepadanya dengan apa yang
telah disebutkan di atas maka langkah selanjutnya adalah mengawasi (muraqabah)
ketika melakukan berbagai amal perbuatan dan memperhatikan dengan mata yang
tajam, karena jika dibiarkan pasti akan melampaui batas dan rusak.
Berikut
ini akan disebutkan keutamaan muraqabah dan derajat-derajatnya. Tentang
keutamaan muraqabah, Jibril ‘alaihi salam pernah bertanya tentang ihsan lalu
Rasulullah Saw menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau
melihatnya” (Bukhari dan Muslim). Hadits selanjutnya adalah “Beribadah kepada
Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekalipun kamu tidak melihata-Nya tetapi
Dia melihatmu” (diriwayatkan Abu Nu’aim di dalam Al- Hilyah, Hadits ini ahsan).
Kemudian ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mendukung keutamaan muraqabah adalah:
“Maka apakah Tuhan yang menjaga sedap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama
dengan yang tidak demikian sifatnya)?” (QS. Ar-Ra’d ayat 33), “Tidaklah dia
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. Al-Alaq
ayat 14), “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisa’
ayat 1), “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya” (QS. Al-Ma’arij ayat
32-33).
Sebagaimana
diceritakan bahwa sebagian dari manusia bertanya tentang firman Allah: “Allah
ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah
(balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya” (QS. Al-Bayianah ayat 8). Ia
menjawab maknanya: maknanya yang demikian itu bagi orang yang merasakan
muraqabah Tuhannya, meng-hisab dirinya dan membekali diri untuk akheratnya.
Dzun Nun pernah ditanya: dengan apakah seorang hamba mencapai syurga? Ia
menjawab: “Dengan lima hal yaitu, istiqamah yang tidak mengandung kelicikan,
keseriusan yang tidak disertai kelalaian, muraqabatullah ta’ala dalam sunyi dan
keramaian, menantikan kematian dengan penuh kesiapan terhadapnya, dan
memuhasabah jiwamu sebelum kamu dihisab.”
Manusia,
dalam segala ihwal keadaannya, tidak terlepas dari gerak dan diam. Apabila ia
merasakan muraqabatullah dalam semua hal tersebut dengan niat, perbuatan yang
baik dan menjaga adab maka ia adalah orang yang telah melakukan muraqabah. Jika
ia sedang duduk misalnya maka seyogyanya ia duduk menghadap kiblat mengingat
sabda Rasullullah SAW: “Sebaik- baik majlis adalah yang menghadap kiblat” (Di
riwayatkan oleh Al- Hakim), jika ia tidur di atas tangan dan menghadap kiblat
dengan tetap menjaga semua adabnya. Semua itu masuk dalam muraqabah. Bahkan
sekalipun tengah membuang hajat, ia tetap menjaga adab-adabnya demi komitmen
kepada muraqabah.
Seorang
hamba tidak terlepas dari tiga keadaan: dalam ketaatan, atau dalam kemaksiatan
atau dalam hal yang mubah. Muraqabah-nya dalam ketaatan ialah dengan ikhlas,
menyempurnakan, menjaga adab dan melindunginya dari berbagai cacat. Dalam
kemaksiatan, maka muraqabahnya ialah dengan taubat, melepaskan, malu dan sibuk melakukan
tafakur. Jika dalam hal yang mubah, maka muraqabah-nya ialah dengan menjaga
adab kemudian menyaksikan pemberi nikmat dalam kenikmatan yang didapat dan
mensyukurinya.
Dalam
semua keadaan, seorang hamba tidak tidak terlepas dari ujian yang harus disikapinya
dengan kesabaran, dan nikmat yang harus disyukurinya. Semua itu adalah
muraqabah. Bahkan dalam keadaannya, seorang hamba tidak terlepas dari fardhu
Allah kepadanya yang harus dilaksanakan, atau larangan yang harus dihindarinya,
atau anjuran yang yang dianjurkannya kepadanya agar ia bersegera mendapatkan
ampunan Allah dan berpacu dengan hamba-hamba Allah, atau hal yang mubah yang
memberikan kemaslahatan jasad dan hatinya di samping menjadi dukungan terhadap
ketaatannya. Masing- masing dari hal tersebut memiliki batasan-batasan yang
harus dijaga dengan senantiasa muraqabah: “Dan barang siapa melanggar
batas-batas Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya
sendiri” (QS. At- Thalaq ayat 1). Seorang hamba harus mengontrol diriya dalam
semua waktunya dalam ketiga hal tersebut. Jika telah menyelesaikan berbagai
kewajiban dan mampu melakukan berbagai keutamaan maka hendaknya ia mencari amal
yang paling utama untuk ditekuninya. Jika luput mendapatkan tambahan keuntungan
padahal ia mampu untuk mendapatkannya maka ia adalah orang yang terpedaya.
Berbagai keuntungan diperoleh melalui berbagai keutamaan yang istimewa. Dengan
hal itulah seorang hamba menjadikan bagian dunianya untuk akhirat, sebagaimana
firman Allah: “Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”
(QS. Al-Qashas ayat 77). Demikian murabathah yang kedua dengan senantiasa
mengawasi amal perbuatan ini.
c.
Muhasabah (Intropeksi)
1)
Hakekat Muhasabah
Muhasabah
adalah menganalisa terus menerus atas hati berikut keadaannya yang selalu
berubah. Muhasabah juga berarti usaha seorang Muslim untuk menghitung,
mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja
kebaikan yang belum dilakukannya. Selama muhasabah, orang yang merenung pun
memeriksa gerakan hati yang paling tersembunyi dan paling rahasia. Dia
menghisab dirinya sendiri sekarang tanpa menunggu hingga Hari Kebangkitan.
Jadi
muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala
sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid
sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat
bergegas memperbaiki diri.
Arti
muhasabah terhadap mitra usaha ialah meninjau modal, keuntungan dan kerugian,
untuk mencari kejelasan apakah bertambah atau berkurang. Jika didapatinya
bertambah maka pedagang tersebut mensyukurinya tetapi jika didapatinya merugi
maka ia mencarinya dengan menjaminnya dan berusaha mendapatkannya di masa
mendatang. Demikian pula modal hamba dalam agamanya adalah berbagai kewajiban,
keuntungannya adalah berbagai amal sunnah dan keutamaan, sedangkan kerugiannya
adalah berbagai kemaksiatan.
2)
Keutamaan Muhasabah
Berikut
ini adalah keutamaan muhasabah. Tentang keutamaan muhasabah, Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS.
Al-Hasyr ayat 18). Ini adalah isyarat kepada muhasabah terhadap amal perbuatan
yang telah dikerjakan. Oleh karena itu Umar ra berkata, “hisablah dirimu
sebelum kamu dihisab, dan timbanglah dia sebelum kamu ditimbang.”
Seoarang
hamba memulai muhasabahnya. dengan bertaubat pada Allah SWT. Sebagaimana dalam
firman Allah: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-Nur ayat 31). Taubat adalah
meninjau perbuatan dengan menyesalinya setelah dikerjakan. Nabi SAW bersabda
dalam sebuah Hadits Shahih: Sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah dan
bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.”
Dalam
ayat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka
ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga
mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. al- A’raf ayat 201). Dari Umar ra
bahwa ia memukul kedua kakinya dengan cemeti apabila malam telah larut seraya
berkata pada dirinya; “Apakah yang telah kamu perbuat hari ini?” Dari Maimun
bin Mahran bahwa ia berkata: “Seorang hamba tidak termasuk golongan muttaqin
sehingga dia menghisab dirinya lebih keras ketimbang muhasabahnya terhadap
mitra usahanya. Al-Hasan berkata: “Orang mukmin selau mengevaluasi dirinya, ia
menghisabnya karena Allah. Hisab akan menjadi ringan bagi orang-orang yang
telah menghisab diri mereka di dunia, dan akan menjadi berat pada hari kiamat
bagi orang-orang yang mengambil perkara ini tanpa muhasabah.”
Tentang
firman Allah: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya
sendiri)” (QS. al-Qiyamah ayat 2).
Penyesalan
ini akan dapat mendorong seseorang untuk mengevaluasi atau memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, sehingga perbuatan yang akan
dijalani dapat terkontrol dengan baik. Inilah keutamaan muhasabah.
d.
Mu’aqabah (Menghukum Diri Atas Segala Kekurangan )
Selain
sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, maka perlu
meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum atau
menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan
ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka mu’aqabah
dianalogikan dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau
diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur
berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa
ketertambatan harinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat
Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk
keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika
beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung
terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya,
subhanallah.
Betapapun
manusia telah menghisab dirinya tetapi ia tidak terbebas sama sekali dari
kemaksiatan dan melakukan kekurangan berkaitan dengan hak Allah sehingga ia
tidak pantas mengabaikannya, jika ia mengabaikannya maka ia akan mudah terjatuh
melakukan kemaksiatan, jiwanya menjadi senang kepada kemaksiatan, dan sulit
untuk memisahkannya. Hal ini merupakan sebab kehancurannya, sehingga harus
diberi sanksi. Apabila ia memakan sesuap subhat dengan nafsu syahwat maka
seharusnya perut dihukum dengan rasa lapar. Apabila ia melihat orang yang bukan
muhrimnya maka seharusnya mata dihukum dengan larangan melihat. Demikian pula
setiap anggota tubuhnya dihukum dengan melarangnya dari syahwatnya.
Kami
menyebutkan hadits Abu Thalhah, ketika hatinya tidak khusu’ karena
memperhatikan seekor burung di kebunnya lalu ia menshadaqahkan kebunnya sebagai
kafarat hal tersebut. Demikian pula ‘Umar memukul kedua kakinya dengan cemeti
setiap malam seraya berkata: Apa yang telah kamu perbuat hari ini?
Demikian
pula sanksi orang-orang yang bersikap tegas terhadap jiwa mereka. Hal yang
mengherankan bahwa manusia menghukum budak, istri dan anak manusia atas akhlak
buruk yang mereka lakukan dan keteledoran mereka terhadap suatu perintah, dan
manusia memaafkan mereka niscaya urusan mereka akan rusak dan mereka tidak
mentaatinya, tetapi kemudian manusia membiarkan nafsu syaitan yang merupakan
musuh terbesar bagi manusia menyelimuti jiwanya. Sekiranya manusia berfikir
mendalam niscaya manusia menyadari bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah
kehidupan akhirat, karena di dalamnya terdapat kenikmatan abadi yang tiada
ujungnya. Tetapi nafsu itulah yang mengeruhkan kehidupan akherat manusia
sehingga dia lebih pantas mendapatkan sanksi (mu’aqabah) ketimbang yang
lainnya.
e.
Mujahadah (Bersungguh-Sungguh)
Mujabadah
adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah,
menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang
diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi Saw yakni Ka’ab bin Malik sehingga
tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang
bermujahadah untuk mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik
mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.
Ternyata
Ka’ab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pengisoliran selama kurang
lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan
padanya.
Rasulullah
Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti
dalam shalat tahajudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama
berdiri. Namun ketika bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan
yang akan datang. Beliau menjawab,“Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran
(hamba yang senantiasa bersyukur)?”
Diriwayatkan
dari seseorang dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra bahwa ia berkata: “aku
pernah shalat shubuh di belakang ‘Ali ra. Ketika salam, Ia menoleh kesebelah
kanannya dengan sedih hati lalu diam hingga terbit matahari kemudian membalik
tangannya seraya berkata: “Demi Allah, aku melihat para shahabat Muhammad SAW
dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali.
Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud
dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah dengan bergantian pijakan
kaki dan jidat mereka, apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon
bergetar terterpa angin, mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian
mereka, dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan
mereka).”
Demikian
peri kehidupan generasi salaf yang shalih dalam mensiapsiagakan jiwa dan
mengawasinya (murabathah dan muraqabah). Sehingga mereka dapat bermujahadah
melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh.
f.
Mu’atabah (Mencela Diri)
Terakhir
dari tingkatan murabathah ini adalah Mu’atabah. Mu’atabah mengandung arti
perlunya memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses
tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
Dalam
melakukan mu’atabah adalah mengetahuilah terlebih dahulu bahwa musuh bebuyutan
dalam diri manusia adalah nafsu yang ada di dalam dirinya. Ia diciptakan dengan
karakter suka memerintahkan pada keburukan, cenderung pada kejahatan, dan lari
dari kebaikan. Manusia diperintahkan agar mensucikan, meluruskan dan
menuntunnya dengan rantai paksaan untuk beribadah kepada Tuhan, dan mencegahnya
dari berbagai syahwatnya dan menyapihnya dari berbagai kelezatannya. Jika
mengabaikannya maka ia pasti merajalela dan liar sehingga manusia tidak dapat
mengendalikannya setelah itu. Jika manusia senantiasa mencela dan menegurnya
kadang-kadang ia tunduk dan menjadi nafsu lawwamah (yang amat menyesali dirinya)
yang dipergunakan oleh Allah untuk bersumpah, dan manusia tidak berharap
menjadi nafsu muthma’innah (yang tenang) yang mengajak untuk masuk ke dalam
rombongan hamba-hamba Allah yang ridha dan diridhai. Maka hendaklah manusia
tidak lupa sekalipun sesaat untuk mengingatkannya, dan hendaknya seorang hamba
sibuk menasehati orang lain jika ia tidak sibuk terlebih dahulu menasehati
dirinya sendiri.
Allah
berfirman: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat ayat 55). Jalan
yang harus manusia tempuh adalah berkonsentrasi mengahadapinya lalu menyadarkan
akan kebodohan dan kedunguannya, janganlah manusia terpedaya oleh kelicikan dan
“petunjuknya”. Firman Allah yang berbunyi: “Telah dekat kepada manusia hari
menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi
berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun
yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang
mereka bermain-main (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai” (QS. Al- Anbiya’
ayat 1-3).
Demikian
cara orang-orang ahli ibadah dalam bermunajat kepada Sang Penolong mereka yaitu
Allah SWT. Tujuan munajat mereka adalah mencari ridha-Nya dan maksud celaan mereka
adalah memperingatkan dan meminta perhatian. Siapa yang mengabaikan mu’atabah
(celaan terhadap diri) dan munajat berarti ia tidak menjaga jiwanya, dan bisa
jadi tidak mendapatkan ridha Allah.
PERTEMUAN
12
HUBUNGAN
SYARI’AH & TASAWUF
1.
Aspek Tasawuf
a.
Maqamat
Tasawuf
dari satu segi merupakan suatu ilmu. Sebagai ilmu, tasawuf mempelajari cara dan
jalan bagaimana seseorang Muslim dapat berada dekat dengan Allah
sedekat-dekatnya. Untuk dapat mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah, seorang
muslim harus menempuh perjalanan panjang yang penuh duri yang dalam bahasa Arab
disebut dengan maqamat, yang merupakan bentuk jamak dari maqam.
Pengertian
maqam menurut para ulama tasawuf berbeda-beda, namun pengertian yang satu
dengan yang lainnya saling melengkapi. Menurut al-Thusi, maqam adalah kedudukan
seseorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam
beribadah (al-‘ibadat), kesungguhan melawan hawa nafsu (al-mujahadat),
latihan-latihan kerohanian (al-riyadhat), serta mengerahkan seluruh jiwa dan
raga semata-mata untuk berbakti kepada Allah (al-inqitha’ ila Allah). Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 14 dan surat al-Shaffat
ayat 164.
b.
Ahwal
Di
dalam beberapa literatur tasawuf, konsep maqamat sering dibandingkan
penggunaannya dengan konsep ahwal (bentuk jamak dari hal). At-Thusi
menjelaskan, ahwal adalah suasana yang menyelimuti kalbu atau sesuatu yang
menimpa hati seorang shufi karena ketulusannya dalam mengingat Allah. Oleh
karena itu, ahwal tidak diperoleh melalui al-‘ibadat, al-mujahadat, dan
al-riyadhat seperti dalam maqamat. Adapun suasana hati yang termasuk dalam
kategori ahwal ini misalnya: merasa senantiasa diawasi Allah (al-muraqabat),
rasa dekat dengan Allah (al-qurb), rasa cinta dengan Allah (mahabbat), rasa
harap-harap cemas (al-khaufwa af-raja’), rasa rindu (al-syauq), rasa berteman
(al-uns), rasa tentram (al-thuma’ninat), rasa menyaksikan Allah dengan mata
hati (al-musyahadat), dan rasa yakin (al-yaqin).
Senada
dengan al-Thusi, al-Qusyairi mengatakan bahwa mengatakan bahwa maqam ialah
keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Allah yang dapat membawanya kepada
jenis usaha dan jenis tuntutan dari berbagai kewajiban. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa ahwal merupakan anugerah Allah, sedangkan maqamat merupakan hasil usaha.
Ahwal adalah keadaan yang datang tanpa wujud kerja, sedangkan maqamat
dihasilkan seseorang hamba melalui kerja keras.
Dengan
demikian, antara maqamat dan ahwal terdapat perbedaan yang tajam. Maqamat,
demikian Sayyid Husain Nashr, termasuk kategori tindakan-tindakan yang
bertingkat dan memiliki pertalian satu sama lain yang apabila telah
tertransedensikan akan tetap menjadi milik yang langgeng bagi seorang shufi
yang telah melampauinya. Sedangkan ahwal termasuk kategori anugerah Allah atas
hati hamba-Nya dan bersifat sementara.
Kendatipun
demikian, jika diamati secara cermat kategori maqamat dan ahwal bukanlah dua
kategori yang ketat, karena ada kalanya seorang penulis kitab tasawuf memasukan
suatu konsep ke dalam kategori maqamat, sementara penulis yang lain
memasukannya ke dalam kategori ahwal. Di kalangan ulama tasawuf tidak ada
kesepakatan mengenai hal ini. Oleh karena itu, jumlah dan susunan maqamat
berbeda bagi shufi yang satu dengan shufi yang lain. Perbedaan ini nampaknya
disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman rohaniah yang ditempuh oleh
masing-masing shufi. Sebagai contoh misalnya al-Kalabadzi dalam kitabnya
al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Thasawuf memberikan jumlah dan susunan sebagai
berikut: al-taubat, al-zuhd, al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-taqwa,
al-tawakkal, al-ridha, al-mahabbat, dan al-ma-rifat.
Al-thusi
menyebutkan dalam kitabnya al-Luma’ sebagai berikut: al-taubat, al-wara’,
al-zuhd, al-faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha.
Al-Ghazali
dalam kitab Ikhya ‘Ulum al-Din menyebutkan: al-taubat, al-shabr, al-faqr,
al-zuhd, al-tawakkul, al-mahabbat, dan al-ridha.
Meskipun
para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang susunan dan jumlah maqamat, namun
secara umum maqamat itu meliputi: al-taubat, al-zuhd, al-wara’, al-faqr,
al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha. Mengenai tahapan maqamat ini secara
singkat digambarkan sebagai berikut:
1)
Maqam taubat, disini seorang calon shufi harus bertaubat baik dari dosa besar
maupun dosa kecil.
2)
Maqam Zuhd, yakni mengasingkan diri dari dunia ramai.
3)
Maqam wara’, yakni meninggalkan hal-hal yang syuhbhat.
4)
Maqam faqr, yakni hidup sebagai orang fakir.
5)
Maqam shabr, yakni harus sabar menghadapi cobaan yang datang menimpanya.
6)
Makam tawakkul, yakni menyerahkan sebulat-bulatnya kepada keputusan Allah
7)
Maqam ridha, yakni ia merasa telah dekat dengan Allah, sehingga ia tidak
meminta sesuatu apapun kecuali ridha-Nya.
Seorang
calon shufi yang telah mampu menempuh maqamat tersebut dengan sebaik-baiknya,
maka hatinya menjadi suci dan bersih dari perbuatan dosa dan maksiat. Hatinya
tidak lagi tergoda dengan kehidupan materi, melainkan ia hanya menuju ke
hadirat Allah semata. Dengan kesucian hati inilah dapat mendekatkan diri kepada
Allah. Karena Allah Yang Maha Suci tridak dapat di dekati kecuali oleh
hamba-Nya yang suci.
Setelah
hati seorang shufi menjadi suci, maka hilanglah rasa benci kepada apa dan siapa
pun, baik benci kepada Allah maupun kepada makhluk-Nya. Yang tinggal di dalam
hatinya hanyalah rasa cinta kepada Allah (Mahabbat). Sebagaimana terlihat dari
ucapan seorang shufi yang termashur dalam mahabbat, Rabi’at al-'’Adawiyyat: “Oh
kekasih hatiku, aku tak akan memberikan cintaku kecuali kepada-Mu, oleh karena
itu kasihanilah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu hari ini. Oh harapanku,
kebahagiaanku, dan kenikmatanku, hatiku tak dapat mencintai apapun kecuali Kau
Satu (Allah). Seorang shufi yang telah memiliki cinta kasih sejati kepada
Allah, maka semakin dekat denganNya. Sehingga tak mengherankan jika ia
menghabiskan seluruh waktunya untuk melakukan dzikr, tafakkur dan banyak
beribadah kepadaNya, maka ia pun diberi anugerah oleh Allah, yakni dibukakan
tabir pemisah antara dirinya dan Allah, sehingga mata hatinya dapat menyaksikan
rahasia-rahasia Allah. Sampai di sini berarti seorang shufi telah mencapai
tingkat ma’rifat. Hal ini sejalan dengan ungkapan Imam al-Ghazali bahwa
ma’rifat adalah melihat atau mengetahui rahasia-rahasia Allah (Al-Nazharu ila
asrari al-umur al-ilahiyat).
2.
Hubungan Syari’ah Dan Tasawuf
Menurut
sebagian ulama, syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan
sangat erat, karena keduanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam.
Syari’ah mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriyah,
sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah.
Aspek lahir dan aspek batin keduanya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana
dikatakan al-Hujwiri bahwa aspek lahir tanpa aspek bathin adalah kemunafikan,
sebaliknya aspek bathin tanpa aspek lahir adalah bid’ah.
Ungkapan
di atas senada dengan pendapat-pendapat ulama lain, sebagai berikut:
Ibn
‘'Ujaibat dalam kitabnya Iqazh al-Himam fi Syarh al-Hikam menyebutkan: Tiada
tasawuf kecuali dengan fiqh, karena hukum-hukum Allah yang zhahir tidak dapat
diketahui kecuali dengan fiqh, dan tiada fiqh kecuali dengan tasawuf, karena
tiada amal yang diterima kecuali disertai dengan tawajjuh (menghadap Allah)
yang sebenar-benarnya, dan keduanya (tasawuf dan fiqh) tidak sah kecuali
disertai dengan iman.
Imam
Malik menegaskan: Barangsiapa yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqh sungguh ia
berlaku zindik, dan barangsiapa yanj berfiqh tanpa tasawuf, maka ia menjadi
fasiq, dan barangsiapa yang mengamalkan keduanya, itulah orang yang ahli
hakikat. Muhammad ibn ‘Allan dalam kitab Dalil al Falihin menyebutkan
Barangsiapa menghiasi lahiriyahnya dengan syari’at dan mencuci kotoran
bathiniahnya dengan air thariqat, maka ia dapat mencapa haqiqat ( Muhammad ibn
‘Allan al-Shiddiqi al-Syafi’i, 1391 H:33).
Pendapat-pendapat
ulama di atas sejalan dengan ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Qusyairi
dan al-Ghazali Menurut al-Qusyairi: Setiap pengalaman syari’ah yang tidak
didukung dengan pengamalan hakikat, maka tidak dapat diterima dan setiap
pengamalan hakikat tidak didukung dengan pengamalan syari’at, maka tidak dapat
mencapai tujuan yang dikehendaki.
Al-Ghazali
mengatakan: Tidak akan sampai ke tingkat terakhir (menghadap Allah dengan
benar, yaitu hakikat) kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya
(memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu syari’ah).
Lebih
lanjut al-Ghazali menegaskan: Tidak bisa menembus ke dalam batinnya (tujuan
ibadah) kecuali setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah).
Memperhatikan
pendapat-pendapat di atas, terlihat secara jelas bahwa antara syariah dan
tasawuf terdapat hubungan yang sangat erat, keduanya tidak boleh dipidahkan.
Di
sini timbul pertanyaan: Mengapa para ulama memadukan antara syari’ah dan
tasawuf? Padahal antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam, sebagaimana
dikatakan Ahmad Amin yang telah disebutkan dalam pendahuluan, bahwa Fuqaha
sebagai ahli syari’ah sangat mengutamakan amal-amal lahiriyah, sedangkan kaum
shufi sebagai ahli haqiqat sangat mengutamakan amal-amal bathiniah.
Pada
dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu bathin,
demikian menurut al-Thusi, oleh karena itu syari’ah pada mulanya juga
mengandung ilmu lahir dan ilmu bathin. Namun dalam perkembangan selanjutnya
syari’ah yang mengandung kedua unsur baik ilmu lahir maupun ilmu bathin itu
mengandung semacam spesialisasinya, sehingga syari’ah lebih menekankan pada
ilmu lahir, sedangkan ilmu bathin dikembang ilmu tasawuf atau ilmu hakikat.
Terjadinya perkembangan spesialisasi kedua ilmu ini berkemungkinan disebabkan
oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya, yakni syari’ah yang
mengambil bentuk fiqh cenderung menggunakan rasio dan logika akal dalam
membahas dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum, sedangkan
tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an dan
al-Hadits.
Menurut
keterangan al-Ghazali sejak abad ketiga Hijriyyah ilmu-ilmu agama Islam: Ilmu
kalam (tauhid), ilmu fiqh dan ilmu tasawuf masing-masing berdiri, akibat dari
adanya upaya spesialisasi ilmiah yang lebih rinci. Setiap disiplin ilmu kemudian
menempuh jalannya masing-masing dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri yang
berakibat satu disiplin ilmu dengan yang lainnya pun menjadi berbeda obyek,
metode dan sasarannya. Yang berkaitan dengan akidah tersebut ilmu Kalam (ilmu
Tauhid), yang berkaitan dengan tindakan lahiriyah disebut ilmu fiqh, dan yang
berkaitan dengan psikis disebut ilmu jiwa (ilmu tasaw uf).
Jika
dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam
sebagaimana tersebut di atas sangat menguntungkan, akan tetapi jika dilihat
dari segi masyarakat Islam sebagai suatu umat, maka spesialisasi tersebut cukup
meresahkan dan merisaukan umat Islam, karena hal tersebut dapat menyebabkan
polarisasi umat. Sehingga sering terjadi perselisihan, perdebatan dan saling tuduh
menuduh kafir (kafir mengkafirkan) atau saling tuduh menuduh zindik (zindik
menzindikan) di kalangan umat Islam sendiri. Mereka memperselisihkan tentang
mana yang benar, apakah amal lahir atau amal bathin, dan mana yang lebih utama,
apakah amal lahir atau amal bathin.
Barangkali
atas dasar inilah para ulama yang telah disebutkan di atas bermaksud untuk
memadukan kembali antara syari’ah dan tasawuf.