Selasa, 04 April 2017

Keagenan Dan Makelar

KATA PENGANTAR

            Segala puji hanya milik Allah. Sholawat dan salam kepada Rasulullah. Berkat limpahan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini.
            Dalam perkembangan kehidupan bersama manusia cenderung tidak mengenal batas,baik dalam ruang lingkup Negara ataupun internasional, dalam kehidupan bermasyarakat dan antar individu - individu  terdapat hukum yang mengatur segala aspek kehidupan dan menjadi sandaran bagi umat islam.
            Dalam makalah ini kami akan membahas masalah hukum yang mengatur tentang keagenan dan makelar yang di tinjau dari hukum islam. Semoga makalah ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada mahasiswa Hukum sebagai bekal melakukan pemahaman atau pedoman bagi umat islam untuk mengetahui bermacam – macam hukum islam.
            Dan tentunya makalah ini masih sangat jauh dari sempurna.untuk itu pemakalah perlu masukan dari dosen pembimbing dan dari mahasiswa,sebagaimana mestinya.













PENDAHULUAN
            Istilah keagenan dan makelar dalam kehidupan sehari – hari telah biasa kita dengar tetapi kita memerlukan pemahaman atau mengetahui keagenan dan makelar itu bagaimana dan seperti apa system dalam keagenan dan makelar itu sendiri.dalam makalah ini akan membahas tentang keagenan dan makelar dan sistemnya.
 Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham (shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Karena mereka dipilih, maka pihak manejemen harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang saham.
            Makelar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perantara dalam bidang jual beli.
Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti perantara perdagangan atau perantara antarapenjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.
            Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa menanggungresiko. Dengan kata lain, makelar itu ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya jual beli tersebut.
            Semoga pembahasan makalah kami kali ini bermanfaat bagi pembaca dan mahasiswa, dan bias sebagai landasan terutama bagi umat islam dan pembacanya.






PEMBAHASAN
Keagenan Dan Makelar
A.       KEAGENAN
       I.            Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham (shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Karena mereka dipilih, maka pihak manejemen harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang saham.
A.    Konsep Teori Agensi
Teori agensi merupakan salah satu teori dasar yang digunakan untuk menjelaskan hubungan yang terjadi pada praktek bisnis modern, yakni hubungan keagenan (agency relationship) antara prinsipal sebagai pemilik perusahaan dan agen sebagai pengelola perusahaan. Pada perusahaan besar saat ini, pemilik perusahaan direpresentasikan secara langsung oleh pemegang saham dan pengelola adalah manajemen perusahaan. Dari hubungan inilah seluruh asumsi mengenai teori agensi dibangun.
Menurut Eisenhardt (1989), teori keagenan dilandasi oleh tiga asumsi, yaitu:
ü  Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentang sifat manusia mengemukakan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan menghindari risiko (risk aversion).
ü  Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian mengemukakan adanya konflik antar anggota organisasi, efisien sebagai kriteria produktivitas dan adanya asimetris informasi antara pemilik perusahaan dan manajemen.
ü  Asumsi tentang informasi.
Asumsi Informasi menerangkan bahwa informasi dipandang sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan.
Jensen dan Meckling (1976) sebagai yang pertama kali melakukan eksposisi teoritis mengenai teori agensi mendefinisikan hubungan keagenan sebagai berikut:
We define an agency relationship as a contract under which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent. If both parties to the relationship are utility maximizers, there is good reason to believe that the agent will not always act in the best interests of the principal.
Dari kutipan di atas kita dapat mengetahui bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara seorang atau lebih prinsipal dengan orang lain yang disebut agen untuk melaksanakan sejumlah jasa dan mendelegasikan sejumlah wewenang pengambilan keputusan kepada agen, demi memaksimalkan kepentingan prinsipal.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, agen tidak selalu bertindak berdasarkan kepentingan prinsipal. Sebagaimana yang dikemukakan. Manajemen bisa melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara keseluruhan yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan perusahaan. Bahkan untuk mencapai kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak menggunakan akuntansi sebagai alat untuk melakukan rekayasa. Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut dengan Agency Problem yang salah satunya disebabkan oleh adanya Asymmetric Information.
Manajemen diasumsikan seringkali bertindak berdasarkan kepentingan pribadi (Self Interest) sehingga terjadi konflik kepentingan antara pemegang saham dan manajemen yang pada akhirnya merugikan pemegang saham. Arifin menyebutkan bahwa “Perbedaan Kepentingan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut dengan Agency Problem yang salah satunya disebabkan oleh adanya Asymmetric Information.”
Menurut Arifin salah satu penyebab terjadinya permasalahan agensi adalah adanya Informasi Asimetri (Asymmetric Information).
Asymmetric Information (AI), yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agen, namun ternyata informasi tentang ukuran keberhasilan yang diperoleh oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang telah dipercayakan kepada agen.
Informasi yang dimiliki oleh pemegang saham dan pihak manajemen tidak merata. Dimana pemegang saham tidak memperoleh seluruh informasi yang dibutuhkan dari pihak manajemen untuk menilai kinerja yang telah dilakukan oleh pihak manajemen. Sebab manajemen perusahaan, dilatar belakangi oleh kepentingannya, memberikan informasi yang tidak menggambarkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya.
Diperlukan sejumlah biaya untuk mengatasi permasalahan agensi dan meminimalisir terjadinya kecurangan yang terjadi. Biaya tersebut diistilahkan sebagai biaya keagenan (Agency Cost), Jensen dan Meckling (1976) mengidentifikasi  biaya tersebut menjadi tiga jenis, yaitu:
1.    Biaya monitoring (The monitoring cost), merupakan biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk melakukan pengawasan terhadap agen.
2.    Biaya bonding (The bonding cost), merupakan biaya yang dikeluarkan oleh agen untuk meyakinkan pemegang saham bahwa manajemen perusahaan berjalan dengan sebagaimana semestinya.
3.    Biaya kerugian residual (The residual loss), merupakan kerugian menurunnya nilai pasar akibat adanya hubungan keagenan yang ikut memengaruhi berkurangnya kesejahteraan pemegang saham.
Dua tujuan keagenan, yaitu:
Ø  Untuk meningkatkan kemampuan individu (baik prinsipal maupun agen) dalam mengevaluasi lingkungan dimana suatu keputusan harus diambil (The Belief Revision Role).
Ø  Untuk mengevaluasi hasil dari keputusan yang telah diambil untuk memudahkan pengalokasian hasil antara prinsipal dan agen sesuai dengan persetujuan dalam kontrak kerja (The Performance Evaluation Role).
Hubungan penting teori agensi dengan pelaksanaan corporate governance adalah persoalan agensi yang kemudian coba untuk diselesaikan dengan menyelaraskan kepentingan antara pemegang saham dan manajemen dengan berbagai mekanisme yang dikenal dalam corporate governance. Mekanisme tersebut antara lain, yaitu:
a)      Melakukan kontrak-kontrak remunerasi dan utang untuk manajer.
b)      Kontrak-kontrak utang.
c)      Pemegang saham mempunyai hak untuk memengaruhi cara perusahaan dijalankan melalui voting dalam rapat umum pemegang saham (RUPS)
d)     Pemegang saham melakukan resolusi yang mana suatu kelompok pemegang saham secara kolektif melakukan lobby terhadap manajer (mewakili perusahaan) berkenaan isu-isu yang tidak memuaskan mereka.
e)      Pemegang saham juga mempunyai opsi disinvestasi (menjual saham mereka) sebagai tanda ketidakpuasan atas kinerja manajemen perusahaan.

B.     Teori Agensi dari Perspektif Islam
Hubungan keagenan yang mengemukakan bahwa manusia senantiasa bersifat oportunis dan senantiasa diwarnai konflik kepentingan, oleh sejumlah pihak dianggap bermasalah dan tidak sejalan dengan prinsip Islam. Padahal Islam sangat menjunjung nilai persaudaraan (ukhuwah) yang mendorong seseorang untuk saling mencintai, mempercayai serta mengutamakan orang lain yang dimotivasi atas keimanan kepada Allah SWT.
Anggraeni (2011) Mengemukakan berkenaan dengan perspektif Islam dalam memandang teori agensi sebagai berikut:
Namun demikian jika dilihat dari hakekat amanah itu datangnya dari Allah, baik manajer maupun direksi telah melakukan tindakan yang tidak sesuai ajaran amanah. Melanggar amanah merupakan tindakan yang menuju kearah berkhianat, dan hal yang demikian ini merupakan perbuatan yang dilarang dan larangan dalam agama adalah ‘dosa’.
Teori agensi mengeleminir sikap amanah yang harus dimiliki oleh seseorang. Dimana setiap pihak baik pemilik saham dan utamanya pihak manajer yang telah diamanahi, wajib menjalankan sesuatu yang telah disepakati serta menghindari sikap khianat.
            Islam mengajarkan ummatnya untuk mendahulukan sikap positif dalam melihat hubungan atau kontrak antar sesama manusia terlebih lagi terhadap sesama muslim. Hal ini akan mewujudkan sikap saling percaya dari para pelaku bisnis.
Penelitian Lewis mengindikasikan bahwa pelaksanaan Islamic corporate governance memiliki kedekatan dengan model stewardship theory. Dimana manajer diasumsikan termotivasi untuk mencapai tujuan perusahaan, memiliki komitmen tinggi dan bekerja berdasarkan kepentingan pemegang saham. Dan asumsi ini sangat bertolak belakang dengan asumsi yang dibangun dalam teori agensi.
Pandangan Islam didasarkan atas sikap yang mengutamakan persaudaraan dan amanah, meskipun demikian dalam dinamika kehidupan khususnya bisnis, Islam tidak menutup kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan oportunis. Hal ini dapat dilihat dari adanya terminologi seperti, munafik dan fasik yang mengharuskan adanya tindakan antisipatif berupa pengawasan untuk menghalangi prilaku yang merugikan.
Dari sisi pengawasan, kita bisa melihat keterhubungan sekaligus perbedaan antara konsep teori agensi dan konsep Islam. Baik sistem konvensional maupun Islam sama-sama mendorong adanya pengawasan dan mengajukan mekanisme pengawasan yang dianggap mampu mengurangi terjadinya kecurangan. Namun model pengawasan bisnis dalam perspektif Islam memiliki perbedaan dari apa yang telah disebutkan dalam teori agensi.
Manhaj Islam mempunyai kelebihan, penggabungan antara pengawasan dari luar dan pengawasan dari dalam. Dasarnya adalah bahwa seorang muslim mengawasi dirinya sendiri, karena pengawasan dari luar hanya mencakup apa yang dilihat oleh manusia.
Didasari atas filosofi Islam maka untuk menjamin bahwa etika bisnis telah dilaksanakan dan mencegah penyimpangan, terdapat dua konsep pengawasan, yakni pengawasan pribadi (Internal) dan pengawasan dari luar (eksternal). Pada dasarnya seorang muslim mengawasi dirinya sendiri yang merupakan implementasi dari sifat amanah dan untuk melengkapi pengawasan secara pribadi dilakukan pengawasan dari luar seperti pada institusi hisbah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan dilaksanakan dengan baik pada masa Khalifah Umar Ra. Selain itu terdapat institusi lain seperti dewan syariah, dewan syura dan audit religius yang akan dijelaskan kemudian.
C.           HUKUM MAKELAR DALAM ISLAM
         I.          Pengertian Makelar
            Makelar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perantara dalam bidang jual beli.
Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti perantara perdagangan atau perantara antarapenjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.
            Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa menanggungresiko. Dengan kata lain, makelar itu ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya jual beli tersebut.
            Dalam persoalan ini, kedua belah pihak mendapat manfaat. Bagi makelar (perantara) mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari hasil pekerjaannya itu. Demikian juga orang yang memerlukan jasa mereka, mendapat kemudahan, karena ditangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya. Pekerjaan semacam ini, mengandung unsur tolong menolong.
            Dengan demikian pekerjaan tersebut tidak ada cacat dan celanya dan sejalan dengan ajaran islam. Pada zaman sekarang ini,pengertian perantara sudah lebih meluas lagi, sudah bergeser kepada jasa pengacara, jasa konsultan, tidak lagi hanya sekedar mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang yang di cari dan menjualkan barang saja. Dengan demikian imbalan jasanya juga harus di tetapkan bersama terlebih dahulu, Apalagi nilainya dalam jumlah yang besar. Biasanya kalau nilainya besar, ditangani lebih dahulu perjanjiannya di hadapan notaris.
      II.          Hukum Makelar Menurut Islam
            Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang atau jasa, misalnya rumah atau suatu pekerjaan seperti pelayan, jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya dengan imbalan.
            Karena pekerjaan makelar termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan makelar ini, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a.              Persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 29
Allah Swt berfirman:
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa’ : 29).
b.              Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan
c.              Obyek akad bukan hal-hal maksiat atau haram.
            Makelar harus bersikap jujur, ikhlas, terbuka, tidak melakukan penipuan dan bisnis yang haram maupun yang syubhat. Imbalan berhak diterima oleh seorang makelar setelah ia memenuh akadnya, sedang pihak yang menggunakan jasa makelar harus memberikan imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan.
            Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian sebagaimana Al Qur’an surat Al Maidah ayat 1
Allah Swt berfirman :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”
(Qs. Al-Maidah :1)
            Menurut Dr. Hamzah Ya’kub bahwa antara pemilik barang dan makelar dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang di peroleh pihak makelar. Boleh dalam bentuk prosentase dari penjualan, dan juga boleh mengambil dari kelebihan harga ysng di tentukan oleh pemilik barang.
Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:
1. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap pembeli
2. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap penjual.
            Adapun hukum makelar atau perantara ini menurut pandangan ahli hukum islam tidak bertentangan dengan syari’at hukum islam. Imam Al Bukhori mengemukakan bahwa : Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan memandang bahwa masalah makelar atau perantara ini tidak apa-apa.
            Menurut pendapat Ibnu Abbas : bahwa tidak mengapa, seseorang berkata “juallah ini bagiku seharga sekian, kelebihannya untukmu”.
            Sejalan dengan pandangan para fuqaha’ tersebut,apabila kita kembali pada aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu tidak terlarang atau mubah karena tidak ada nash yang melarangnya.








PENUTUP
            Setelah kami paparkan penjelasan yang mengenai makelar dan agen, dapat ditarik kesimpulan bahwa agensi merupakan salah satu teori dasar yang digunakan untuk menjelaskan hubungan yang terjadi pada praktek bisnis modern, dan Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa menanggungresiko. Dengan kata lain, makelar itu ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya jual beli tersebut.
 Dari kutipan di atas kita dapat mengetahui bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara seorang atau lebih prinsipal dengan orang lain yang disebut agen untuk melaksanakan sejumlah jasa dan mendelegasikan sejumlah wewenang pengambilan keputusan kepada agen, demi memaksimalkan kepentingan prinsipal.
            Akan tetapi dalam pelaksanaannya, agen tidak selalu bertindak berdasarkan kepentingan prinsipal. Sebagaimana yang dikemukakan. Manajemen bisa melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara keseluruhan yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan perusahaan. Bahkan untuk mencapai kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak menggunakan akuntansi sebagai alat untuk melakukan rekayasa. Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut dengan Agency Problem yang salah satunya disebabkan oleh adanya Asymmetric Information.
            . Bagi makelar (perantara) mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari hasil pekerjaannya itu. Demikian juga orang yang memerlukan jasa mereka, mendapat kemudahan, karena ditangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya. Pekerjaan semacam ini, mengandung unsur tolong menolong.

            Dengan demikian pekerjaan tersebut tidak ada cacat dan celanya dan sejalan dengan ajaran islam. Pada zaman sekarang ini,pengertian perantara sudah lebih meluas lagi, sudah bergeser kepada jasa pengacara, jasa konsultan, tidak lagi hanya sekedar mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang yang di cari dan menjualkan barang saja. Dengan demikian imbalan jasanya juga harus di tetapkan bersama terlebih dahulu, Apalagi nilainya dalam jumlah yang besar.

Demikian yang dapat Saya bantu Bagi Mahasiswa IAIN Kerinci

Tidak ada komentar:

Posting Komentar