Selasa, 04 April 2017

Asas Legalitas dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Kajian Perbandingan Hukum

Asas Legalitas dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Kajian Perbandingan Hukum
  
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi ‘principle of legality’, ‘legaliteitbeginsel’, ‘non-retroaktif’, ‘de la legalite’ atau ‘ex post facto laws’. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: ‘Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.’ (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling).
P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, ‘Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu’.[1] Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, ‘Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya’.[2] Moeljatno menyebutkan pula bahwa, ‘Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan’.[3]
Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’.[4] Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas ‘nonretroaktif’, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions).[5]
Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas).
Konsepsi asas ini dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801 yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Paul Johan Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Akan tetapi, menurut J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel von Pufendorflah yang mendahului von Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap bahwa ‘Talmudic Jurisprudence’ lah yang mendahului teori von Feurbach.[6] Bambang Poernomo menyebutkan bahwa, apa yang dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: ‘nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali’.[7]
Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin, ada menimbulkan kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum Romawi kuno. Aturan ini, dalam formulasi bahasa Latin, berasal dari juris Jerman, von Feuerbach – ini berarti bahwa asas ini lahir pada awal abad 19 dan harus dipandang sebagai produk ajaran klasik.[8] J.E. Sahetapy menyebutkan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa Latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu.[9] Moeljatno menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi Kuno.[10]
Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Diantara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.
Selain konteks di atas, ada juga yang berasumsi bahwa asas legalitas berasal dari ajaran Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois. Menurut van der Donk dan Hazewinkel Suringa baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau mempersiapkan penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam ajaran kedua tokoh tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas. Maksud dari pelajaran kedua tokoh tersebut adalah melindungi individu terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang, yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap tuntutan tindakan yang sewenang-wenang.[11] Hans Kelsen menyebutkan dimensi asas nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum pidana.[12]
Dikaji dari perspektif sejarah terbentuknya asas legalitas dalam KUHP Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht Nederland (WvS. Ned), sebagaimana berasal dari ketentuan Pasal 8 Declaration des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789 yang berbunyi, ‘tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya’, dan merupakan pandangan Lafayette dari Amerika ke Perancis dan bersumber dari Bill of Rights Virgina tahun 1776.
Apabila dianalisis lebih intens, detail dan terperinci terminologi ‘ketentuan perundang-undangan (wettelijk strafbepaling)’ dan ‘undang-undang’ maka ruang lingkup asas legalitas dalam hukum pidana materiil lebih luas dengan terminologi ‘perundang-undangan’ dari kata ‘undang-undang’ pada ketentuan hukum acara pidana. Tegasnya, asas legalitas di samping dikenal dalam ketentuan hukum pidana materiel juga dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana (hukum pidana formal). Andi Hamzah kemudian lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian, asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel, karena istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda) ‘ketentuan perundang-undangan’ (wettelijk strafbepaling) sedangkan dalam hukum acara pidana disebut undang-undang pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tetapi tidak boleh membuat aturan acara pidana.[13]
Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti). Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan dilakukan. Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex, priusquam feriat (undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya), ini kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni mencakup juga pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman pidana yang muncul terlebih dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegahan, menghukum dapat dibenarkan.
Dalam perspektif tradisi Civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu terhadap peraturan perundangan-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa dan analogi.[14] Roelof H. Haveman menyebutkan keempat dimensi konteks di atas sebagai, though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality.[15] Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:
1.      Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2.      Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3.      Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[16]
Komariah Emong Sapardjaja[17] dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen menyebutkan ada empat makna yang terkandung asal legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi. Polarisasi pemikiran Komariah Emong Sapardjaja dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen hakikatnya identik dengan pendapat dari Machteld Boot dengan titik tolak pandangan Jeschek dan Weigend yang menyebutkan empat syarat asas legalitas.
Pertama, tidak ada perbuatan pidana dan pidana tanpa undang-undang sebelumnya (asas nullum crimen, noela poena sine lege pravia). Kedua, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis (asas nullum crimen, nulla poena sine lege scripta). Ketiga, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas (asas nullum crimen, nulla poena sine lege certa). Keempat, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat (asas nullum crimen, noela poena sine lege stricta). Lebih detail Machteld Boot menyebutkan bahwa:
‘The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip in Article 1 StGB is generally considered to include four separate requirements. Fist, conduct can only be punished if the punishability as well as the acconpanying penalty had been determined before the offence was committed (nullum crimen, noela poena sine lege praevia). Furthermore, these determinations have to be be included in statutes (Gesetze): nullum crimen, noela poena sine lege scripta. These statutes have to be difinite (bestimmt): nullum crimen, noela poena sine lege certa. Lastly, these statutes may not be applied by analogy which is reflected in the axion nullum crimen, noela poena sine lege stricta.'[18]
JH. J. Enschede, menyebutkan hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu: Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan pidana (…wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder een wettelijke strafbepaling…). Kedua, kekuatan ketentuan pidana pidana tidak boleh diberlakukan surut (…zo’n strafbepaling mag geen terugwerkende kracht hebben…).[19] Kemudian Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna asas legalitas. Pertama, Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan Pasal 1. Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, bdgk. Pasal 3 KUHP Indonesia 1981) menetapkan bahwa hanya perundang-undangan dalam arti formal yang dapat memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan (wettelijk) dalam ketentuan Pasal 1 menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate.
Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundang-undangan tercakup di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadya) dan seterusnya. Kedua, Lex Certa (undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat/nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex Certa atau bestimmtheitsgebot merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku. Ketiga, dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan ketentuan pidana secara analogis (nullum crimen sine lege stricta: tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan perundang-undangan).[20]
Lebih lanjut Von Feurbach menyebutkan makna asas legalitas menimbulkan tiga peraturan lain. Pertama, setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla poena sine lege). Kedua, penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine). Ketiga, perbuatan yang diancam dengan pidana yang menurut undang-undang, membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-undang dijatuhkan (nullum crimen sine poena legali).[21] Berikutnya Richard G. Singer dan Martin R. Gardner menyebutkan asas legalitas berkorelasi dengan 3 (tiga) dimensi, yaitu: Pertama, pemidanaan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif. Kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum yang berlaku surut. Ketiga, perbuatan pidana harus didefinisikan oleh lembaga atau institusi yang berwenang.[22]
Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakui dalam KUHP Indonesia baik asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) maupun asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2008).[23] Akan tetapi, Utrecht keberatan dengan dianutnya asas legalitas di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Lebih terperinci maka Utrecht mengatakan bahwa:
‘Terhadap azas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertama-tama dapat dikemukakan bahwa azas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen). Akibat azas nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (=peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak terhukum. Azas nullum delictum itu menjadi suatu halangan bagi hakim pidana menghukum seorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak ‘strafbaar’’ masih juga ‘strafwaardig’. Ada lagi satu alasan untuk menghapuskan pasal 1 ayat 1 KUHPidana, yaitu suatu alasan yang dikemukakan oleh terutama hakim pidana di daerah bahwa pasal 1 ayat 1 KUH Pidana menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat.'[24]
Akan tetapi, walaupun demikian pada umumnya asas legalitas tersebut menurut Andi Hamzah diterima dalam KUHP Indonesia meskipun merupakan dilema. Lebih jauh dikatakan, bahwa:
‘Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari sudut yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan.'[25]
Barda Nawawi Arief[26] menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di dalamnya asas ‘legalitas formal’, asas ‘lex certa’, dan asas ‘Lex Temporis Delicti’ atau asas ‘nonretroaktif’. Asas legalitas formal (lex scripta) dalam tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang atau hukum tertulis. Undang-Undang (statutory, law) harus mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta). Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif menentukan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut (retroaktif) akan tetapi harus bersifat prospectif. Oleh karena itu maka makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 (empat) larangan (prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu:
a) ‘nullum crimen, nulla poena sine lege scripta’ (larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis—unwritten law–);
b) ‘Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta’ (larangan untuk melakukan analogy);
c) ‘Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia’ (larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut);
d) ‘Nullum crimen, nulla poena sine lege certa’ (larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas –unclear terms-).
Ketentuan asas legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Tahun 2008 perumusannya identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 menyebutkan asas legalitas dengan redaksional sebagai, ‘Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan’. Kemudian ketentuan asas legalitas ini lebih lanjut menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 disebutkan, bahwa:
‘Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada Undang-undang. Dipergunakan asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.’
Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum transistoir (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang menurut waktu (sphere of time, tijdgebied) yang terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUH Pidana yang berbunyi, ‘bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.[27]
Barda Nawawi Arief mempergunakan terminologi melemahnya/bergesernya asas legalitas antara lain dikarenakan sebagai berikut:
  1. Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP;
  2. Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiel;
  3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-undang Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt 1951; Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai ‘nullum delictum sine lege’, tetapi juga sebagai ‘nullum delictum sine ius’ atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum;
  4. Dalam dokumen internasional dalam KUHP negara lain juga terlihat perkembangan/pengakuan ke arah asas legalitas materiel (lihat Pasal 15 ayat (2) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP Kanada di atas);
  5. Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal) ada ketentuan mengenai ‘pemaafan/pengampunan hakim’ (dikenal dengan berbagai istilah, antara lain ‘rechterlijk pardon’, ‘Judicial pardon’, ‘Dispensa de pena’ atau ‘Nonimposing of penalty’) yang merupakan bentuk ‘Judicial corrective to the legality principle’;
  6. Ada perubahan fundamental di KUHAP Perancis pada tahun 1975 (dengan Undang-undang Nomor 75-624 tanggal 11 Juli 1975) yang menambahkan ketentuan mengenai ‘pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana’ (‘the declaration of guilt without imposing a penalty’);
  7. Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari ‘cyber-crime’ merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas ‘lex certa’, karena dunia maya (cyber-space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti.[28]
Khusus terhadap pengecualian asas legalitas ditentukan asas ‘lex temporis delicti’ sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Konklusi dasar asas ini menentukan apabila terjadi perubahan perundang-undangan maka diterapkan ketentuan yang menguntungkan terdakwa. Jan Remmelink menyebutkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) memberikan jawaban dalam artian bahwa bila undang-undang yang berlaku setelah tindak pidana ternyata lebih menguntungkan, maka pemberlakuannya secara surut diperkenankan. Pandangan demikian diakui dan diterima di Belgia dan Jerman.
A. Zainal Abidin Farid menyebutkan yang dimaksud dengan perubahan undang-undang dalam pasal 1 ayat (2) KUHP apakah termasuk undang-undang pidana saja atau semua aturan hukum maka aspek ini dapat dijawab dengan tiga teori yaitu teori formil yang dianut oleh Simons, kemudian teori materiil terbatas yang dikemukakan oleh van Geuns dan teori materiil tak terbatas. Menurut teori formil maka perubahan undang-undang baru dapat terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana yang diubah. Perubahan undang-undang lain selain dari undang-undang pidana, walaupun berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan undang-undang menurut pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Kemudian menurut teori materiil terbatas bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman atau keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan undang-undang ex pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Teori materiil tak terbatas dimana H.R. dalam keputusannya tanggal 5 Desember 1921 (N.J. 1922 h. 239) yang disebut Huurcommicciewet-arrest, berpendapat bahwa ‘perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang meliputi semua macam perubahan, baik perubahan perasaan hukum pembuat undang-undang menurut teori materiil terbatas, maupun perubahan keadaan karena waktu’.
Konklusi dasar asas legalitas sebagaimana diuraikan konteks di atas, dikaji dari prespektif karakteristiknya terdapat dimensi-dimensi sebagai berikut:
  • Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang.
  • Tidak dapat diterapkan undang-undang pidana berdasarkan analogi.
  • Tidak dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
  • Tidak boleh ada rumusan delik yang kurang jelas (asas lex certa).
  • Tidak ada ketentuan pidana diberlakukan secara surut (asas nonretroaktif).
  • Tidak ada pidana, kecuali ditentukan dalam undang-undang.
  • Penuntutan pidana hanya berdasarkan ketentuan undang-undang.
Dikaji dari perspektif perbandingan hukum (comparative law) maka asas legalitas tersebut juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Pada International Criminal Court (ICC) asas legalitas diatur khususnya pada article 22, article 23 dan article 24. Ketentuan article 22 Nullum crimen sine lege ayat (1) menyebutkan, ‘A person shall not be criminally responsible under this Statute unless the conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the court’, dan ayat (2) menyebutkan, ‘The definition of a crime shall not be extended by analogy. In case of ambiguity. The definition shall be intepreted in favour of the person being investigated, prosecuted, or convicted’, dan ayat (3), ‘This article shll not affect the characterization of any conduct as criminal under international law independently of the Statute’. Kemudian article 23 berbunyi, ‘A person convicted by the court may be punished only in accordance with the Statute’, dan article 24 ayat (1) selengkapnya berbunyi bahwa, ‘No person shall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute’, dan ayat (2) berbunyi bahwa, ‘In the event of change in the applicable to a given case prior to a final judgment, the law more favorable to the person being investigated or convicted shall apply’.
Kemudian dalam Pasal 9 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia yang ditandatangani di San Jose, Costa Rica tanggal 22 November 1968 dan mulai berlaku pada tanggal 18 Juli 1978 asas legalitas diformulasikan dengan redaksional bahwa, ‘No one shall be convicted of any act or omission that did notconstitute a criminal offence, under applicable law, at the time when it was committed. A heavier penalty shall not be imposed than the one that was applicable at the time the criminal offence. If subsequent to the commission of the offense that law provides for the imposition of a lighter punishment, the guilty person shall benefit thereform’.
Berikutnya, asas legalitas juga terdapat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III) tanggal 10 Desember 1948 dimana pada Pasal 11 ayat (2) disebutkan asas legalitas dengan redaksional bahwa, ‘No one shall be had guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was commited. Not shall a heavier by imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed’. Selain itu, asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 7 ayat (2) African Charter on Human and People Rights yang ditandatangani di Nairobi, Kenya, dan berlaku pada tangal 21 Oktober 1986 yang menyebutkan bahwa, ‘No one may be condemmed for an act or omission which did not constitute a legally punishable offence for which no provision was made at the time it was committed. Punishment is personal and can be imposed only on the offender’.
Kemudian pada KUHP Jerman yang diumumkan tanggal 13 November 1998 (Federal Law Gazette I, p. 945, p. 322) disebut Strafgesetzbuch (StGB) pada Section 1 No Punishment Without a Law disebutkan bahwa, ‘Sebuah perbuatan hanya dapat dipidana apabila telah ditetapkan oleh undang-undang sebelum perbuatan itu dilakukan’, (An act may only be punished if its punishability was determined by law before the act was committed). Pada asasnya, asas legalitas ini di Jerman juga berorientasi kepada dimensi penuntutan, sehingga menurut George P. Fletcher di Jerman menganut ‘positive legality principle’.[29]
Kemudian asas legalitas ini juga dikenal di Negara Polandia. Pada ketentuan Pasal 42 Konstitusi Republik Polandia maka asas legalitas dirumuskan dengan redaksional, ‘Only a person who has commited an act prohibited by a statute in force at the moment of commission there of, and which is subject to a penalty, shall be geld criminally responsible. This principle shaal not prevent punishment of any act which, at the moment of its commission, constituted an offence within the meaning of international law’. Berikutnya asas legalitas ini dirumuskan dalam Pasal 7 Konstitusi Perancis dengan menyebutkan bahwa, ‘A person may be accused, arrested, or detained only in the cases specified by law and in accordance with the procedures which the law provides. Those who solicit, forward, carry out or have arbitrary orders carried out shall be punished; however, any citizen summoned or apprehended pursuant to law obey forhwith; by resisting, he admits his guilt’.
Kemudian dalam Pasal 25 Konstitusi Spanjol ditegaskan asas legalitas adalah, ‘No one may be convicted or sentenced for actions or omissions which when committed did not constitute a criminal offence, misdemeanour or administrative offence under the law then in force’ dan dalam Pasal 25 Konstitusi Italia asas legalitas dirumuskan sebagai, ‘No one shall be punished on the basic of a law which has entered into force before the offence has been committed’.
Selain negara-negara di atas maka asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 14 Konstitusi Negara Belgia sebagai, ‘No punishment can be made or given except in pursuance of the law’. Kemudian Pasal 29 Konstitusi Republik Portugal menentukan bahwa, ‘No one shall be convicted under the criminal law except for an act or omission made punishable under exiisting law; and no one shall be subjected to a security measure, except for reasons authorised under existing law. No sentences or security measures shall be ordered that are not expressly provided for in existing lawas. No one shall bee subjected to a sentence or security measure that is more severe than hose applicable at the time the act was committed or the preparations for its commission were made. Criminal laws that are favourable to the affender shall aply retroactively’. Selanjutnya pada Pasal 57 Konstitusi Hongaria disebut asas legalitas dengan redaksional sebagai, ‘No one shall be declared guilty and subjected to punishment for an offense that was not a criminal offense under Hungarian law at the time such offense was committed’.

Stelsel Sanksi Dalam Hukum Pidana
di Indonesia


Pidana dan Tindakan.

Pidana (straf) merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan dalam kebijakan hukum pidana. Roeslan Saleh pernah mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan hukum pidana itu tidaklah semata-mata menjatuhkan pidana, akan tetapi juga ada-kalanya menggunakan tindakan-tindakan.

Tindakan merupakan suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya dan ditujukan sebagai prevensi khusus dengan maksud menjaga keamanan masyarakat terhadap orang-orang yang dipandang berbahya, dan dikhawatirkan akan melakukan perbuatan-perbuatan pidana.

Batas antara pidana dan tindakan walaupun secara teoritis agak sukar dibedakan tetapi secara praktis batasannya cukup jelas seperti yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP merupakan lingkup pidana, selain itu adalah termasuk tindakan.

Roeslan Saleh dalam hal ini mengutarakan, walaupun tindakan itu juga merampas dan menyinggung kemerdekaan seseorang, tetapi jika bukansebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP bukanlah pidana.
Seperti pendidikan paksa pada anak-anak, penempatan seseorang dalamrumah sakit jiwa.
Berbicara tentang stelsel pidana adalah juga berbicara masalah sistem pemidanaan yang memiliki pengertian yang sangat luas. L. H. C.Hulsman sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, mengemukakanbahwa sistem pemidanaan (the sentencing sistem) adalah “peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan” (the statutory rules relating to penal sactions andpunishment). Barda Nawawi Arief juga mengemukakan bahwa apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhanpidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengaturbagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).

Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana subtantif, hukum pidana formal dan hukum pidana pelaksanaan dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.

Selanjutnya berkenaan dengan perbedaan antara pemidanaan (punishment)dan tindakan (treatment), meurut Alf Ross tidak didasarkanpada ada tidaknya unsur penderitaan, tetapi harus didasarkan ada tidaknya unsur pencelaan, sedangkan menurut H. L. Packer perbedaan keduanya Barda Nawawi Arief,.harus dilihat dari tujuan dan seberapa jauh peranan dari perbuatan si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan diperlakukan.

H. L. Packer mengemukakan bahwa tujuan dari treatment adalah untuk memperbaiki orang yang bersangkutan, sedangkan punishment sebenarnya didasarkan pada tujuan sebagi berikut:

1.      Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yangtidak dikehendaki atau perbuatan yang salah (the prevention ofcrime or undersired conduct of offending conduct)b)
2.      Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada pelanggar (the deserved infliction of suffering onevildoers/retribution for perceived wrong doing).

Secara tradisional perbedaan antara pidana dan tindakan menurut Sudarto yakni pidana merupakan pembalasan (pengimbalan) terhadapkesalahan sipembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat.

Berkenaan dengan masalah perbedaan antara pidana dan tindakanini, perlu kiranya diperhatikan pendapat dari Roeslan Saleh, bahwa batasan antara pidana dan tindakan secara teoritis sukar ditentukan, karena pidana sendiripun dalam banyak hal juga mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki, sebaliknya pada tindakan juga dapat dirasakan berat oleh orang yang dikenal tindakan dan kerap kali pula dirasakan sebagai pidana, karena berhubungan erat sekali dengan pencabutan atau pembatasan kemerdekaan.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas bisa dilihat bahwasanya baik pidana maupun tindakan pada hakikatnya merupakan bentuk sanksi yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum oleh penguasa yang berwenang.

Perbedaan diatara keduanya hanya terletak pada aspek pendekatannya saja, namun yang jelas dengan semakin bervariasasinya bentuk sanksi, maka dapat dipilih bentuk sanksi yang tepat untuk kejahatan tertentu sebagai upaya penanggulangannya.


Jenis-jenis Sanksi Pidana Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

Menurut KUHP, pidana dibedakan dalam pidana pokok dan pidanatambahan, terutama sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP.Dlam hal ini Roeslan Saleh menjelaskan bahwa urutan pidana ini dibuatmenurut beratnya pidana, dan yang terberat disebut lebih depan. Jenis-jenis pidana yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP adalah:

1.      Pidana Pokok

a.      Pidana Mati;
b.      Pidana Penjara;
c.       Pidana Kurungan; dan,
d.      Pidana Denda.

2.      Pidana Tambahan:

a.      Pencabutan beberapa hak tertentu;
b.      Perampasan barang tertentu; dan,
c.       Pengumuman keputusan hakim.

3.      Pidana Tutupan

Pidana tutupan sebagai pidana pokok (UU Nomor 20Tahun 1946).

Secara rinci dari jenis-jenis pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KitabUndang-undang Pidana tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1.      Pidana Pokok.

a.      Pidana Mati

Pidana mati di dalam Kitab Undang-undang HukumPidana Indonesia diatur dalam Pasal 11, yang menyatakan bahwa pidana mati dijalankan algojo di atas tempat gantungan (schavot) dengan cara mengikat leher si terhukum dengan jerat pada tiang gantungan, lalu dijatuhkan papan dari bawah kakinya. Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, LembaranNegara 1964 Nomor 38 yang ditetapkan menjadi Undang-undangdengan UU Nomor 5 Tahun 1969, pidana mati dijalankan dengan menembak mati terpidana.

b.      Pidana Penjara.

Pidana penjara merupakan pidana utama diantara pidana penghilangan kemerdekaan dan pidana ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau sementara waktu.
Berbeda dengan jenis lainnya, maka pidana penjara ini adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga permasyarakatan.
Andi Hamzah pernah mengemukakan bahwa pidana penjara disebut juga dengan pidana hilang kemerdekaan, tetapi narapidana kehilangan hak-hak tertentu, seperti hak memilih dan dipilih, hakim memangku jabatan publik, dan beberpa hak sipil lain.

Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal 1 (satu) hari sampai pidana penjara seumur hidup. Namun pada umumnya pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun dan dapat dilampaui dengan 20 (dua puluh) tahun.
Roeslan Saleh menjelaskan bahwa banyak pakar memiliki keberatan terhadap penjara seumur hidup ini, keberatan ini disebabakan oleh putusan kemudian terhukum tidak akan mempunyai harapan lagi kembali dalam masyarakat.
Padahal harapan tersebut dipulihkan oleh lembaga grasi dan lembagaremisi. Maka dari itu walaupun pidana penjara sudah menjadi pidana yang sudah umum diterapkan di seluruh dunia namun dalam perkembangan terakhir ini banyak yang mempersoalkan kembali manfaat penggunaan pidana penjara.


c.        Pidana Kurungan.

Pidana kurungan ini sama halnya dengan pidana penjara, namun lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara walaupun kedua pidana ini sama-sama membatasi kemerdekaan bergerak seorang terpidana. Sebagai pembedaan itu dalam ketentuan Pasal 69105 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993,hal. 28.106 Op.cit, hal. 62.KUHP disebutkan, bahwa perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urutan di dalam KUHP.

Dalam hal ini Roeslan Saleh menjelaskan bahwa:” Dari urutan dalam Pasal 10 KUHP ternyata pidana kurungan disebutkan sesudah pidana penjara, sedangkan Pasal 69 (1) KUHP menyebutkan bahwa perbandingan beratnya pidana pokok yangtidak sejenis ditentukan menurut urut-urutan dalam Pasal 10.

Demikian pula jika diperhatikan bahwa pekerjaan yang diwajibkan kepada orang yang dipidana kurungan juga lebih ringan daripada mereka yang menjalani pidana penjara”.
Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya adalah 1 (satu) hari dan selama-lamanya adalah satu tahun. Akan tetapil amanya pidana tersebut dapat diperberat hingga satu tahun empat bulan, yaitu bila terjadisamenloop, recidive dan berdasarkan Pasal 52 KUHP.
Dengan demikian jangka waktu pidana kurungan lebih pendek dari pidana penjara, sehingga pembuat undang-undang memandang pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara.

Olehkarena itu, pidana kurungan diancamkan pada delik-delik yangdipandang ringan seperti delik culpa dan pelanggaran.

Menurut penjelasan di dalam Memori Van Toelichting, dimasukkannya pidana kurungan di dalam KUHP terdorong olehdua macam kebutuhan masing-masing yaitu:a) Oleh kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidanayang sangat sederhana berupa pembatasan kebebasan bergerak atau suatu vrijheidsstraf yang sifatnya sangatsederhana bagi delik-delik yang sifatnya ringan;

Oleh kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak yang sifatnya tidak begitu mengekang bagi delik-delik yang menurut sifatnya ”tidak menunjukkan adanya sesuatukebobrokan mental atau suatu maksud yang sifatnya jahat pada pelaku, ataupun yang juga sering disebut sebagai suatu custodia honesta belaka.

Berkenaan dengan perbedaan pidana kurungan dan pidana penjara dapat dirinci sebagai berikut:

1.      Pidana kurungan hanya diancamkan pada tindak pidana yang lebih ringan daripada tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara.
2.      Ancaman maksimum umum pidana penjara 15 tahun, sedang ancaman maksimum umum pidana kurungan 1 tahun.
3.      Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan pidana penjara, tetapi pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pelaksanaan pidana kurungan.
4.      Dalam melaksanakan pidana penjara dapat dilakukan di LembagaPemasyarakatan diseluruh Indonesia (dapat dipindah-pindahkan),sedang pelaksanaan pidana kurungan LembagaPemasyarakatannya di mana ia berdiam ketika putusan hakimdijalankan.
5.      Pekerjaan-pekerjaan narapidana penjara lebih berat dari padapekerjaan-pekerjaan pada narapidana kurungan.


d.      Pidana Denda


Pidana denda ini banyak diancamkan pada banyak jenis pelanggaran, baik sebagai alternatif dari pidana kurungan atau berdiri sendiri.

Adapun keistimewaan yang terdapat pada pidana denda adalah sebagai berikut:

1.      Pelaksanaan pidana denda bisa dilakukan atau dibayar olehorang lain.
2.      Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalanipidana kurungan dalam hal terpidana tidak membayarkan denda.
Hal ini tentu saja diberikan kebebasan kepada terpidana untuk memilih. Dalam pidana denda ini tidak terdapat maksimum umum, yang ada hanyalah minimum umum.
Sedang maksimum khususnya ditentukan pada masing-masing rumusan tindak pidana yangbersangkutan.

e.      Tindak Pidana Tutupan

Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP, melalui UndangUndang Nomor 20 Tahun 1946, yang dalam Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa:” Dalam mengadili orang yang melakukan tindak pidana,yang diancamkan dengan pidana penjara, karenaterdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakimboleh menjatuhkan pidana tutupan”.

f.        Pidana Tambahan, meliputi :

1)      Pencabutan Hak-Hak Tertentu.

Menurut Pasal 35 ayat 1 KUHP, hak-hak yang dapat dicabut adalah:

         Hak jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
         Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan Bersenjata/TentaraNasional Indonesia.
         Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
         Hak menjadi Penasihat Hukum, hak menjadi wali, wali pengawas, wali pengampu.
         Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian ataupengampuan atas anak sendiri.
         Hak menjalankan mata pencaharian.



2)       Perampasan Barang Tertentu

Barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim ada 2 jenisberdasarkan Pasal 39 KUHP, yaitu:

         Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan,misalnya: uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang.
         Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan,misalnya : pisau yang digunakan dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan.

3)      Pengumuman Putusan Hakim

Pengumuman hakim ini, hakim dibebaskan menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu, dapat melalui surat-kabar, ditempelkan di papan pengumuman, atau diumumkan melalui media radio atau televisi.
Tujuannya adalah untuk mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak-pidana yang dilakukan orang tersebut.
Menurut Bambang Poernomo, selain putusan-putusan pemidanaan, bebas, dan dilepaskan masih terdapat jenis-jenis lainyaitu:

         Putusan yang bersifat penetapan untuk tidak menjatuhkan pidana akan tetapi berupa tindakan hakim, misalnya memasukkan ke rumah sakit jiwa, menyerahkan kepada lembaga pendidikan khusus anaknakal dan lain-lainnya.
         Putusan yang bersifat penetapan berupa tidak berwenang untuk mengadili perkara terdakwa, misalnya terdakwa menjadi kewenangan untuk diadili olehmahkamah militer.
         Putusan yang bersifat penetapan berupa pernyataan surat-surat tuduhan batal karena tidak mengandung isi yang diharuskan oleh syarat formal undang-undang.
         Putusan yang bersifat penetapan menolak atau tidak menerima tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum.
Misalnya, perkara jelas delik aduan tidak disertai surat pengaduan oleh si korban atau keluarganya.
Setelah hakim membacakan putusan yang mengandung pemidanaan maka hakim wajib memberitahukan kepada terdakwa akan hak-haknya, hak menolak, atau menerima putusan, atau hak mengajukan banding dan lain-lain.
Di samping jenis sanksi yang berupa pidana, dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan,   misalnya :

-          Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapatdipertanggung-jawabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu penyakit (Pasal 44 ayat (2) KUHP);
-          Bagi anak yang belum berumur 16 tahun melakukan tindakpidana, hakim dapat mengenakan tindakan berupa (lihat Pasal45 KUHP):a. Mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, atau;
-          Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepadapemerintah; Dalam hal ini yang ke-2, anak tersebut dimasukkan kedalam rumah pendidikan negara yang penyelenggaraannya diatur dalam Peraturan Pendidikan Paksa(Dwangopvoedingregeling, Stb. 1916 nomor 741).
-          Penempatan di tempat bekerja negara (landswerkinrichting)bagi penganggur yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta mengganggu ketertiban umum dengan pengemisan, bergelandangan atau perbuatan asosial(Stb. 1936 nomor 160);

         Tindakan tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi (pasal 8Undang-Undang No. 7 Drt. 1955) dapat berupa:

-          penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuanuntuk selama waktu tertentu (tiga tahun untuk kejahatanTPE dan 2 tahun untuk pelanggaran TPE);
-          pembayaran uang jaminan untuk waktu tertentu;
-          pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntunganyang menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan;
-          kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak,meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si terhukum sekedar hakim tidakmenentukan lain.

g.      Pola lamanya Pemidanaan

1)      Pola Penetapan Jumlah Ancaman Pidana.

Dalam menetapakan jumlah atau lamanya ancaman pidana,dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief terdapat dua alternatif sistemyaitu:

         Sistem pendekatan absolut, yakni untuk setiap orang tindak pidanaditetapkan bobot/kualitasnya sendiri-sendiri, yaitu denganmenetapkan ancaman pidana maksimum (dapat juga ancamanpidana minimum) untuk setiap tindak pidana.   Penetapan maksimum pidana untuk tiap pidana ini dikenal dengan sistem indifinite atau sistem maksimum. Sistem ini biasa digunakan dalam perumusan KUHP/WvS diberbagai negara termasuk alam praktek legislatif di Indonesia, sehingga dikenal sebagai sistem tradisional;

         Sistem atau pendekatan relatif, yaiut untuk tiap-tiap tindak pidanatidak ditetapkan bobot/kualitasnya (maksimum pidananya) sendirisendiritetapi bobotnya direlatifkan; yaitu dengan melakukanpenggolongan tindak pidana dalam beberapa tingkatan dansekaligus menetapkan maksimum pidana untuk tiap kelompoktindak pidana.

2)      Pola Maksimum dan Minimum Pidana.

Menurut pola KUHP/WvS maksimum khusus pidana penjara yang paling rendah adalah berkisar 3 (tiga) minggu dan 15 (lima belas) tahun yang dapat mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila ada pemberatan.
Sedangkan maksimum yang di bawah 1 (satu) tahun sangat bervariasi dengan menggunakan bulan dan minggu.
Konsep KUHP ancaman pidana maksimum khusus yang paling rendah untuk pidana penjara adalah 1 (satu) tahun dan 15 (lima belas) tahun yang dapat juga mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila adapemberatan.
Menurut konsep, untuk delik yang dipandang tidak perlu diancam dengan pidana penjara atau bobotnya kurang dari 1 (satu) tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana yang sangat ringan dan hanya diancam pidana denda.
Pola maksimum khusus paling rendah 1 (satu) tahun menurut konsep dikecualikan untuk delik-delik yang selama ini dikenal sebagai kejahatan ringan.
Menurut pola KUHP, maksimum penjara untuk delik-delik kejahatan ringan ini adalah 3 (tiga) bulan, sedang menurut Konsep KUHP adalah 6 (enam) bulan yang dialternatifkan dengan pidana denda.

Pola pidana denda dalam KUHP/WvS tidak mengenal”minimum khusus”, pola pidana dalam KUHP menggunakan”minimum umum” dan ”maksimum khusus”.
Maksimum khusus pidana denda paling tinggi untuk kejahatan adalah Rp 150.000,- danu ntuk pelanggaran paling banyak Rp. 75.000,- jadi maksimum khusus pidana denda yang paling tinggi untuk kejahatan adalah dua kali lipat yang diancamkan untuk pelanggaran.

Pola pidana denda dalam Konsep KUHP tahun 2005 mengenal minimum umum, minimum khusus dan maksimum khusus. Pasal 77ayat (2) menentukan jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp. 15.000,00,- (lima belas ribu rupiah).
Pasal 77 ayat (3) menentukan bahwa pidana denda paling banyakditetapkan berdasakan kategori, yaitu :

         kategori I Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah);
         kategori II Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
         kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
         kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);
         kategori V Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan
         kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Dari pola di atas, baik menurut KUHP maupun Konsep KUHPtidak ada maksimum umum untuk pidana denda. Akibat tidak adanyaketentuan maksimum umum pidana denda KUHP tersebut, akibatnyatimbul variasi maksimum pidana denda dalam perundang-undangan diluar KUHP.

3)       Pola Pemberatan dan Peringanan Ancaman Pidana

Menurut Konsep KUHP pemberatan dan peringanan pidana tidak berbeda dengan KUHP yaitu ditambah atau dikurangi sepertiga. Namun menurut Konsep KUHP, pemberatan dan/atau peringanan sepertiga itu tidak hanya terhadap ancaman maksimum tetapi juga terhadap ancaman minimumnya. Dalam hal tertentu, pola peringanan pidana menurut Konsep KUHP dapat juga dikurangi setengahnya dari pembatasan pidana bagi anak yang berusia 12 (dua belas) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.

4)       Pola Ancaman Pidana Untuk Delik Dolus dan Delik Culpa.

Pola umum ancaman untuk delik dolus dan culpa menurut KUHPsebagai-berikut :

         Untuk perbuatan dengan culpa, diancam dengan pidana kurunganmaksimum 1-3 bulan atau denda;
         untuk yang menimbulkan akibat ancaman maksimum pidanauntuk delik dolus bervariasi, yaitu delik dolus yang diancampenjara 7-20 tahun. Sedang untuk delik culpa ada yangdiancam penjara 4 bulan sampai dengan 1 tahun 4 bulan danada juga yang diancam kurungan 3 bulan s.d 1 tahun ataudiancam dengan denda akibat yang ditimbulkan.

Pola ancaman pidana untuk delik dolus dan delik culpa menurut Konsep KUHP pada mulanya memakai pola relatif untukkeseragaman. Untuk pola relatif yang dipakai yaitu perbuatan denganculpa, maksimum 1/6 (seper enam) dari maksimum delik dolusnya,untuk yang menimbulkan akibat maksimumnya 1/4 (seper empat) darimaksimum delik dolusnya. Tapi kemudian disepakti patokan atau polaabsolut sebagai berikut :

         Untuk perbuatannya delik culpa 1 tahun dan untuk dolus y tahun;
         Untuk yang menimbulkan akibat bahaya umum culpanya 2 tahun,sedang untuk dolusnya (y + 2) tahun;
         Untuk yang mengakibatkan bahaya kesehatan berat/nyawaculpanya 3 tahun sedangkan dolusnya (y + 3) tahun;
         Untuk yang berakibat mati culpanya 5 tahun sedang dolusnya(y+5) tahun.

h.      Pola Perumusan Pidana

Jenis pidana yang pada umumnya diancamkan dalamperumusan delik menurut pola KUHP ialah pidana pokok, denganmenggunakan 9 (sembilan) bentuk perumusan, yaitu:

         diancam pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama waktu tertentu;
         diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu;
         diancam dengan pidana penjara (tertentu);
         diancam dengan pidana penjara atau kurungan;
         diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda;diancam dengan pidana penjara atau denda;
         diancam pidana kurungan;
         diancam dengan pidana kurungan atau denda;
         diancam dengan pidana denda.


Dalam perumusan pidana pokok tersebut terlihat bahwa KUHP hanya menganut 2 sistem perumusan delik yakni perumusan tunggal (hanya diancam satu pidana pokok) dan perumusan alternatif.
Pidana pokok yang dirumuskan secara tunggal, hanya pidana penjara, kurungan, atau denda.
Tidak ada pidana mati atau pidana penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal.
Sistem perumusan alternatif dimulai dari delik yang paling berat sampai yang ringan, sedang untuk pidana tambahan bersifat fakultatif,  namun pada dasarnya untuk dapat dijatuhkan harus tercantum dalam perumusan delik.
Dalam konsep ditentukan jenis pidana yang dicantumkan dalam perumusan delik hanya pidana mati, penjara dan denda.
Pidana pokok berupa pidana tutupan, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial tidak dicantumkan.

Bentuk perumusan pidana tidak berbeda dengan KUHP/WvS, hanya dengan cacatan bahwa di dalam Konsep :

1.      Pidana penjara dan denda, ada yang dirumuskan ancaman minimalnya;
2.      Pidana denda dirumuskan dengan sistem kategori.

Pedoman untuk menerapakan pidana yang dirumuskan secaratunggal dan secara alternatif yang memberi kemungkinan perumusantunggal diterapkan secara alternatif dan perumusan secara alternatifditerapkan secara kumulatif.

Stelsel Pemidanaan
Adalah cara memperhitungkan ancaman pidana dalam “gabungan tindak pidana”
Penjelasan (diambil dari Buku Prof. LOEBBY LOQMAN, halaman 116-117)
Stelsel Pokok:
1. Stelsel Absorpsi (Absorptie Stelsel)
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda-beda jenisnya, maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut melaksanakan beberapa delik.
Contoh:
A melakukan tiga jenis delik. Untuk delik I diancam pidana penjara 1 tahun, untuk delik II diancam pidana penjara 2 tahun dan untuk delik III diancam pidana penjara 3 tahun. Pidana yang terberat seolah-olah menelan atau menghisap/menyerap pidana yang ringan-ringan.

2. Stelsel Kumulasi (Cumulatie Stelsel)
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap tiap-tiap delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan
Contoh:
Seperti contoh di atas, terhadap A yang melakukan tiga jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri itu, maka menurut stelsel ini ketiga pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya, yaitu 6 tahun (1 tahun ditambah 2 tahun ditambah 3 tahun).

Stelsel Tambahan (Tussen Stelsel)
·         Stelsel Absorpsi Diperberat (Verscherpte Absorptie Stelsel)
Apabila seseorang melakukan beberpaa perbuatan yang merupakan ebberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini, pada hakekatnya dijatuhkan 1 pidana saja, yaitu pidana yang terberat. Akan tetapi diperberat dengan menambah sepertiganya.
Contoh:
Pidana yang dijatuhkan terhadap A dalam contoh di atas, menurut stelsel absorpsi diperberat adalah 3 tahun ditambah 1 tahun (1/3 x 3 tahun) menjadi 4 tahun.

·         Stelsel Kumulasi Terbatas (Gematigde Cumulatie Stelsel)
Apabila seseorang melakukan beberapa jenis perbuatan yang menimbulkan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini, semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya, akan tetapi jumlah pidana itu harus dibataso, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana yang terberat ditambah sepertiga.
Contoh:
Terhadap A dalam contoh di atas mestinya dijatuhi pidana 6 tahun (1 tahun ditambah 2 tahun ditambah 3 tahun); akan tetapi jumlah lamanya segala pidana itu dibatasi yaitu tidak boleh lebih dari 4 tahun (3 tahun ditambah 1/3 x 3 tahun).


Residivis

Pengertian Residivis
Residivis atau pengulangan  tindak pidana berasal bahasa prancis yaitu re dan cado. Re berarti lagi dan cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan kriminal yang sebelumnya bisa dilakukannya setelah dijatuhi penghukumannya. Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri,  satu atau lebih perbuatan yang telah dijatuhkan hukuman oleh hakim.
Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dianggap sebagai pengulangan tindak pidana atau Residivis, yaitu:
1.      Pelakunya adalah orang yang sama.
2.      Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijauhi pidana oleh suatu keputusan hakim.
3.      Si pelaku sudah pernah menjalani hukuman atau hukuman penjara yang dijatuhkan terhadapnya.
4.      Pengulangan terjadi dalam waktu tertentu . 

Pengertian Residivis dalam Konsep KUHP
Ada beberapa pasal yang disebutkan dalam KUHP yang mengatur akibat terjadinya sebuah tindakan pengulangan (recidive) ada dua kelompok dikategorikan sebagai kejahatan pengulangan (recidive), yaitu:
2.3.1.      Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangannya hanya terbatas terhadap tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, Pasal 487 dan Pasal 488 KUHP.
2.3.2.      Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386 sampai dengan Pasal 388 KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3) KUHP, Pasal 489 ayat (2), Pasal 495 ayat (2) dan Pasal 512 ayat (3).
Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam pemberian atau menjatuhkan pidana dimuat dalam konsep rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di samping itu juga adanya perkembangan pemikiran mengenai teori pemidanaan mengakibatkan tujuan pemidanaan yang ideal. Di samping itu dengan adanya kritik-kritik mengenai dasar pemidanaan yang menyangkut hubungan antara teori pidana, pelaksanaan dan tujuan yang hendak dicapai serta hasil yang diperoleh dari penerapan pidana.
Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat dibagi menjadi beberapa golongan. pengulangan tindak pidana menurut ilmu kriminologi, dibagi dalam penggolongan pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan, yaitu:
2.3.3. Pelanggaran hukum bukan residivis (mono delinquent/ pelanggaran satu kali/ first offenders) yaitu yang melakukan hanya satu tindak pidana dan hanya sekali saja.
2.3.4. Residivis yang dibagi lagi menjadi:
2.3.4.1.  Penjahat yang takut meliputi pelanggaran hukum yang bukan residivis dan mereka yang berkali-kali telah dijatuhi pidana umum namun antara masing-masing putusan pidana jarak waktunya jauh, atau perbuatan pidananya begitu berbeda satu sama lain sehingga tidak dapat dilakukan ada hubungan kriminalitas atau dengan kata lain dalam jarak waktu tersebut (misalnya 5 tahun menurut pasal 45 KUHP).
2.3.4.2. Penjahat kronis adalah golongan pelanggaran hukum yang telah mengalami penjatuhan pidana yang berlipat ganda dalam waktu singkat di antara masing-masing putusan pidana.
2.3.4.3. Penjahat berat adalah mereka yang paling sedikit setelah dijatuhi pidana 2 kali dan menjalani pidana berbulan-bulan dan lagi mereka yang karena kelakuan anti sosial sudah merupakan kebiasaan atau sesuatu hal yang menetap bagi mereka.
2.3.4.4. Penjahat sejak umur muda tipe ini memulai karirnya dalam kejahatan sejak ia kanak-kanak dan dimulai dengan melakukan kenakalan anak.
Kritikan tersebut dapat berpengaruh besar terhadap proses pembuatan rancangan KUHP yang telah rampung pada Tahun 2000 yang lalu dan telah disosialisasikan sejak bulan Desember Tahun 2000, “Konsep KUHP tersebut telah mengalami beberapa perubahan mulai dari konsep Tahun 1971/1972, konsep KUHP 1982/1983, konsep KUHP 1993 dan yang terakhir konsep KUHP Tahun 2000”.
Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulang tindak pidana dibedakan atas 3 jenis, yaitu:
1.     Pengulang tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara lain:
-     Pengertian yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang melakukan suatu rangkaian tanpa yang diseiringi suatu penjatuhan pidana/ condemnation.
-     Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan yang sejenis (homolugus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu misalnya 5 (lima) tahun terhitung sejak terpidana menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.
2.     Pengulangan tidak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain:
-     Accidentale recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya.
-     Habituele recidive yaitu pengulangan tindak pidana yang dilakukan karena si pelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya.
3.     Selain kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga dibedakan atas:
-     Recidive umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/ tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian melakukan kejahatan/ tindak pidana dalam bentuk apapun maka terhadapnya dikenakan pemberatan hukuman.
-     Recidive khusus, yaitu apabila seseorang melakukan perbuatan kejahatan/ tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/ tindak pidana yang sama (sejenis) maka kepadanya dapat dikenakan pemberatan hukuman.
Delik Aduan

Untuk memahami apa itu delik aduan, sebaiknya memahami pengertian dari kata atau peristilahan “delik” itu sendiri. Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaar feit. Terjemahan lain untuk kata strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana. “secara harafiah perkataan strafbaarfeit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan”. Dengan pemakaian kata peristiwa pidana, maka hal itu tegas menunjukkan adanya unsur kelakuan dan atau tindakan, berbuat atau lalai berbuat. Tidak hanya perbuatan yang dapat terlihat secara langsung, tetapi juga perbuatan yang tidak secara langsung (seperti : menyuruh, menggerakkan dan membantu) adalah juga dapat dimasukkan sebagai suatu kelakuan. Secara umum, pengertian delik, baik dalam lapangan Hukum Pidana maupun Hukum Perdata, dapat didefinisikan sebagai perbuatan seseorang terhadap siapa sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatannya itu diancamkan.
Delik aduan (klacht delict) adalah delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak yang dirugikan. Selain itu, yang dimaksud dengan delik aduan/klach delict merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Delik ini membicarakan mengenai kepentingan korban. Pada delik aduan, jaksa hanya akan melakukan penuntutan apabila telah ada pengaduan dari orang yang menderita, dirugikan oleh kejahatan tersebut. Pengaturan delik aduan tidak terdapat dalam Buku ke I KUHP, tetapi dijumpai secara tersebar di dalam Buku ke II. Tiap-tiap delik yang oleh pembuat undang-undang dijadikan delik aduan, menyatakan hal itu secara tersendiri, dan dalam ketentuan yang dimaksud sekaligus juga ditunjukan siapa-siapa yang berhak mengajukan pengaduan tersebut.
Menurut para ahli, delik aduan dapat diartikan sebagai berikut:
a.       Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.
b.      Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan.
c.       Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut Klacht Delicten.
Menurut pendapat para sarjana diatas, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik, delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku. Delik aduan (Klacht Delicten) ini adalah merupakan suatu delik, umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan sepanjang Penuntut Umum berpendapat kepentingan umum tidak terganggu dengan dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut.

Jenis-jenis Delik Aduan
Dalam ilmu hukum pidana delik aduan ini ada dua macam, yaitu:
1.      . Delik Aduan Absolute (Absolute Klacht Delict)
Delik Aduan absolute (absolute klacht delict)Merupakan suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Dan yang diadukan sifatnya hanyalah perbuatannya saja atau kejahatannya saja. Dalam hal ini bahwa perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan itu dianggap satu kesatuan yang tetap bermuara pada kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itu delik aduan absolute ini mempunyai akibat hukum dalam masalah penuntutan tidak boleh dipisah-pisahkan/onsplitbaar.
Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalamjenis delik aduan absolut seperti :
         Kejahatan penghinaan (Pasal 310 s/d 319 KUHP), kecuali penghinaan yang dilakukan oleh seseoarang terhadap seseorang pejabat pemerintah, yang waktu diadakan penghinaan tersebut dalam berdinas resmi. Si penghina dapat dituntut oleh jaksa tanpa menunggu aduan dari pejabat yang dihina.
         Kejahatan-kejahatan susila (Pasal 284, Pasal 287, Pasal 293 dana Pasal 332 KUHP).
         Kejahatan membuka rahasia (Paal 322 KUHP)
Contohnya: A dan B adalah suami istri. B berzinah dengan C dan D. Dan A hanya mengadukan B telah melakukan perbuatan perzinahan. Namun, karena tidak dapat dipisahkan/onsplitbaar maka tidak hanya B saja yang dianggap sebagai pelaku, tetapi setiap orang yang terlibat suatu perbuatan atau kejahatan yang bersangkutan yaitu C dan D secara otomatis (sesuai hasil penyelidikan) harus diadukan pula oleh A. Setidaknya delik perzinahan tidak dapat diajukan hanya terhadap dader/mededader saja, melainkan harus keduanya dan pihak lain yang terlibat.Adapun macam-macam delik yang terdapat dalam KUHP yang termasuk dalam Delik Aduan Absolut, sebagai berikut :? Pasal 284 KUHP, tentang perzinahan.? Pasal 287 KUHP, bersetubuh di luar perkawinan dengan seorang wanita berumur di bawah lima belas tahun atau belum waktunya untuk kawin.? Pasal 293-294 KUHP, tentang perbuatan cabul. ? Pasal 310-319 KUHP (kecuali pasal 316), tentang penghinaan.? Pasal 320-321 KUHP, penghinaan terhadap orang yang telah meninggal dunia.? Pasal 322-323 KUHP, perbuatan membuka rahasia.? Pasal 332 KUHP, melarikan wanita.? Pasal 335 ayat (1) butir 2, tentang pengancaman terhadap kebebasan individu.? Pasal 485 KUHP, tentang delik pers.2. Delik aduan relative (relatieve klacht delict)Yakni merupakan suatu delik yang awalnya adalah delik biasa, namun karena ada hubungan istimewa/keluarga yang dekat sekali antara si korban dan si pelaku atau si pembantu kejahatan itu, maka sifatnya berubah menjadi delik aduan atau hanya dapat dituntut jika diadukan oleh pihak korban.Dalam delik ini, yang diadukan hanya orangnya saja sehingga yang dilakukan penuntutan sebatas orang yang diadukan saja meskipun dalam perkara tersebut terlibat beberapa orang lain. Dan agar orang lain itu dapat dituntut maka harus ada pengaduan kembali.
Delik Aduan Relative (Relatieve Klacht Delict)
Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan, yang sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi khusus terhadap hal-hal tertentu, justru diperlukan sebagai delik aduan. Menurut Pompe, delik aduan relatif adalah delik dimana adanya suatu pengaduan itu hanyalah merupakan suatu voorwaarde van vervolgbaarheir atau suatu syarat untuk dapat menuntut pelakunya, yaitu bilamana antara orang yang bersalah dengan orang yang dirugikan itu terdapat suatu hubungan yang bersifat khusus. Umumnya delik aduan retalif ini hanya dapat terjadi dalam kejahatan-kejahatan seperti :
         Pencurian dalam keluarga, dan kajahatan terhadap harta kekayaan yang lain yang sejenis (Pasal 367 KUHP)
         Pemerasan dan ancaman (Pasal 370 KUHP)
         Penggelapan (Pasal 376 KUHP)
         Penipuan (Pasal 394 KUHP)
Beberapa hal perbedaan antara delik aduan absolut dengan delik aduan relatif :
         Delik aduan relatif ini penuntutan dapat dipisah-pisahkan, artinya bila ada beberapa orang yang melakukan kejahatan, tetapi penuntutan dapat dilakukan terhadap orang yang diingini oleh yang berhak mengajukan pengaduan. Sedangkan pada delik aduan absolut, bila yang satu dituntut, maka semua pelaku dari kejahatan itu harus dituntut juga.
         Pada delik aduan absolute, cukup apabila pengadu hanya menyebutkan peristiwanya saja, sedangkan pada delik aduan relatif, pengadu juga harus menyebutkan orang yang ia duga telah merugikan dirinya.
         Pengaduan pada delik aduan absolut tidak dapat di pecahkan (onsplitbaar), sedangkan Pengaduan pada delik aduan relatif dapat dipecahkan (splitbaar).
Delik aduan relative dapat dipisah-pisahkan/splitsbaar. Contoh : A adalah orang tua. B adalah anaknya. Dan C adalah keponakannya. B dan C bekerjasama untuk mencuri uang di lemari A. Dalam perkara ini jika A hanya mengadukan C saja maka hanya C sajalah yang dituntut, sedangkan B tidak.Dari kasus di atas bisa dilihat bahwa delik aduan relative ini seolah bisa memilh siapa yang ingin diadukan ke kepolisian. A karena orang tua dari B, maka ia tidak ingin anaknya yaitu B terkena hukuman pidana, dia hanya memilih C untuk diadukan, bisa karena dengan pertimbangan C bukanlah anaknya. Namun jka kita bandingkan dengan contoh kasus pada delik aduan absolute, dalam kasus perzinahan itu, walau si A hanya kesal dengan salah satu pelaku perzinahan itu, ia tidak bisa hanya mengadukan orang itu saja, karena bagaimanapun konsekuensinya, pihak lain yang terlibat juga dianggap sebagai pelaku.Adapun macam-macam delik yang terdapat dalam KUHP yang termasuk dalam Delik Aduan Relatif, sebagai berikut :? Pasal 367 ayat (2) KUHP, tentang pencurian dalam keluarga.? Pasal 370 KUHP, tentang pemerasan dan pengancaman dalam keluarga.? Pasal 376 KUHP, tentang penggelapan dalam keluarga? Pasal 394 KUHP, tentang penipuan dalam keluarga.? Pasal 411 KUHP, tentang perusakan barang dalam keluarga.C. Ketentuan Dalam KUHPDalam KUHPidana, mengenai delik aduan ini diatur dalam pasal 72-75 KUHP. Dan hal-hal yang diatur dalam KUHP ini adalah, sebaga berikut :1. Mengenai siapa yang berhak melakukan pengaduan terhadap pihak yang dirugikan/korban yang masih berumur di bawah enam belas tahun dan belum dewasa.2. Mengenai siapa yang berhak melakukan pengaduan, apabila pihak yang dirugikan/korban telah meninggal.3. Penentuan waktu dalam mengajukan delik aduan.4. Bisa atau tidaknya pengaduan ditarik kembali.


1.      Pengertian Perbarengan Tindak Pidana (Concursus atau Samenloop)
Dalam Kamus Hukum, perbarengan juga disebut Samenloop (Belanda) atau disebut juga dengan Concursus. Secara istilah yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang di mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu keputusan hakim.[1]
      Sehubung dengan lebih dari satu tindakan pidana yang dilakukan oleh satu orang, UTRECHT (1965:197) mengemukakan tentang 3 (tiga) kemungkinan yang terjadi, yaitu:
a)      Terjadi perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara dilakukannya dua tindak pidana tidak telah di tetapkan satu pidana karena tindak pidana yang paling awal di antara kedua tindak pidana itu. Dalam hal ini, dua atau lebih tindak pidana itu akan diberkas dan diperiksa dalam satu perkara dan kepada si pembuat akan dijatuhkan satu pidana, oleh karenanya praktis di sini tidak ada pemberatan pidana, yang terjadi justru peringanan pidana. Misalnya dua kali pembunuhan (pasal 338) tidaklah dipidana dua kali yang masing-masing dengan pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun, tetapi cukup dengan satu pidana penjara dengan maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah sepertiganya, pasal 65).
b)      Apabila tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan mempidana pada si pembuat oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka disini terdapat pengulangan. Pada pemidanaan si pembuat karena tindak pidana yang kedua ini terjadi pengulangan, dan disini terdapat pemberatan pidana dengan sepertiganya.
c)      Dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana pada si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum pasti, maka disini tidak terjadi perbarengan maupun pengulangan, melainkan tiap-tiap tindak pidana itu dijatuhkan sendiri-sendiri sesuai dengan pidana maksimum masing-masing yang diancamkan pada beberapa tindak pidana tersebut.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya perbarengan adalah:
  Ada dua atau lebih tindak pidana;
  Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang;
  Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
  Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.[2]
Selain keharusan untuk menyidangkan atau menyelesaikan perkara beberapa tindak pidana (perbarengan) dalam satu majelis dengan menjatuhkan satu pidana, hal yang terpenting kedua dalam perbarengan ialah mengenai system penjatuhan pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel pemidanaan, yaitu:

a)      Sistem Absorbsi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.
b)  Sistem Kumulasi Murni
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan.
c)  Sistem Absorbsi Dipertajam
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya hanya dapat dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini diperberat dengan menambah 1/3 (sepertiga).
d) Sistem Kumulasi Diperlunak
Delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini, semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya. Akan tetapi, jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).[3]
2.      Bentuk-Bentuk Perbarengan Tindak Pidana
      Gabungan perbuatan yang dapat dihukum mempunyai tiga bentuk, concursus ini diatur dalam titel VI KUHP , yaitu sebagai berikut:
1)      Concursus idealis (pasal 63 KUHP);
2)      Perbuatan berlanjut (delik berlanjut Pasal 64 KUHP);
3)      Concursus realis (pasal 65 s/d 71 KUHP).

A.     Perbarengan satu perbuatan (Concursus Idealis atau eendaadsche samenloop)
            Concursus Idealis (Eendaadse Samenloop), yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. System pemberiaan pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah system absorbs, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku telah melanggar dua aturan pidana dan dapat di ancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285 (memperkosa), dan pidana dengan penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281 (melanggar kesusilaan dimuka umum). Dengan sistem  arsorbsi, maka diambil yang terberat, yaitu 12 tahun penjara.[4]
            Satu wujud perbuatan (een feit) yang melaggar lebih dari satu aturan pidana ini diebut juga denganperbarengan peraturan atau gabungan satu perbuatan. Gabungan satu perbuatan atau  concursus idealis di atur dalam Pasal 63 ayat 1 KUHP yang berbunyi: “jika  suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; dan jika berbeda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.
            Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana  yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP.
            Selanjutnya dalam Pasal  63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogate legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran kandungan, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun . Namun, karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya, maka dalam hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. Ibu itu hanya diancam dengan Pasal 341.

B.     Perbuatan Berlanjut (Voortegezette Handeling)
            Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan syarat atau kriteria yang dikemukakan oleh MvT (Memorie van Toelichting) sebagai berikut:
1)      Harus ada keputusan  kehendak;
2)      Masing-masing perbuatan harus sejenis;
3)      Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.
            mengenai perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai berikut:
1)      Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang akan diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2)      Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.
3)      Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal-pasal 364, 373, 379, dan 470 ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari dua ratus lima puluh rupiah, maka dikenakan aturan pidana tersebut dalam pasal-pasal 362, 372, 378, dan 406.[5]
Delik berlanjut apabila:
a.       Seseorang melakukan beberapa perbuatan;
b.      Perbuatan itu merupakan kejahatan atau pelanggaran sendiri;
c.       Antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut.
            Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absrobsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda, maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat.
            Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasak 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.[6]

C.    Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis atau Merdaadse Samenloop)
            Yang dimaksud dengan Concursus Realis adalah: ”apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan dan/atau pelanggaran terhadap kejahatan dan/atau pelanggara mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan akan diadili sekaligus oleh pengadilan”.[7]
Maka  dalam concursus realis terdapat:
a)      Seorang pembuat;
b)      Serentetan tindak pidana yang dilakukan olehnya;
c)      Tindak pidana itu tidak perlu sejenis atau berhubungan satu sama lain;
d)     Di antara tindak pidana itu tidak terdapat keputusan hakim.
            Dan sistem pemberatan pidana bagi concursus realis itu sendiri terdiri beberapa macam, yaitu:
1)      Kejahatan yang diancam  dengan hukuman pokok yang sejenis (pasal 65), penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem absorbsi yang dipertajam, yaitu dijatuhi satu pidana saja (ayat 1) dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum  pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiganya (ayat 2). Contoh kasusnya, misalkan  Firman melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara.

2)      Kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis (pasal 66), penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi diperlunak, artinya masing-masing kejahatan itu diterapkan; yakni kepada si pembuatnya dijatuhi pidana sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dibuatnya tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiganya (pasal 1). Apabila kejahatan yang satu diancam dengan pidana denda sedangkan kejahatan yang lain dengan pidana penjara atau kurungan, maka untuk pidana denda dihitung dari lamanya kurungan pengganti denda (ayat 2). Contoh kasusnya, misalkan Firman melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan.
3)      Concursus realis berupa pelanggaran, penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi murni, yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun, jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
4)      Concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 ayat (1) (penganiayaan terhadap hewan), Pasak 352 (penganiayaan ringan) , Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), dan Pasal 482 (penadahan ringan), maka penjatuhan pidananya berlaku system kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan.
5)      Untuk concursus realis baik kejahatan maupun pelanggaran, yang diadili pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 yang berbunyi: ”jika seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara diadili pada saat yang sama.

 

 

PENUNTUTAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA


Hukum merupakan kumpulan kaidah-kaidah dan norma yang berlaku di masyarakat, yang keberadaannya sengaja dibuat oleh masyarakat dan diakui oleh masyarakat sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupannya. Tujuannya untuk menciptakan ketenteraman di masyarakat. Hukum sebagai instrumen dasar yang sangat penting dalam pembentukan suatu negara, berpengaruh dalam segala segi kehidupan masyarakat, karena hukum merupakan alat pengendalian sosial, agar tercipta suasana yang aman, tenteram dan damai. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum, berarti harus mampu menjunjung tinggi hukum sebagai kekuasaan tertinggi di negeri ini, sebagaimana dimaksud konstitusi kita, Undang-Undang Dasar RI 1945.

Dalam hal penuntutan menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) ialah tindakan Penuntut Umum (PU) untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri (PN), yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam persidangan. Penuntutan ini di bagi menjadi dua yaitu prapenuntutan dan penuntutan, Ihwal prapenuntutan memang tidak diatur dalam Bab tersendiri tapi terdapat di dalam Bab tentang Penyidikan dan Bab Penuntutan (pasal 109 dan pasal 138 KUHAP). Keberadaan lembaga prapenuntutan bersifat mutlak karena tidak ada suatu perkara pidana pun sampai ke pengadilan tanpa melalui proses prapenuntutan sebab dalam hal penyidik telah melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.

Maka dalam hal ini akan di jabarkan hal-hal mengenai penuntutan dari prapenuntutan dan penuntutan beserta pejabat yang berwenang melakukan penuntutan, tugas dan wewenang jaksa penuntut umum (PU), menyusun surat dawaan, syarat surat dakwaan, macam-macam surat dakwaan (tunggal, kumulatif,alternatife, subsider) hingga melimpahkan berkas perkara ke pengadilan negeri (PN).


A.PRAPENUNTUTAN

Seperti yang dikemukakan di dalam pendahuluan bahwa ihwal prapenuntutan memang tidak diatur dalam Bab tersendiri tapi terdapat di dalam Bab tentang Penyidikan dan Bab Penuntutan (pasal 109 dan pasal 138 KUHAP). Keberadaan lembaga prapenuntutan bersifat mutlak karena tidak ada suatu perkara pidana pun sampai ke pengadilan tanpa melalui proses prapenuntutan sebab dalam hal penyidik telah melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum. 

Proses berlangsungnya prapenuntutan dilaksanakan baik oleh penyidik maupun penuntut umum sebagaimana ketentuan pasal 110 ayat (2) KUHAP juncto pasal 138 ayat (1), (2) KUHAP. Antara lain, sebagai berikut: Penuntut umum setelah menerima pelimpahan berkas perkara wajib memberitahukan lengkap tidaknya berkas perkara tersebut kepada penyidik. Bila hasil penelitian terhadap berkas perkara hasil penyidikan penyidik belum lengkap maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk paling lama 14 (empat belas) hari terhitung berkas perkara diterima Penuntut Umum. Penyidik yang tidak rnelaksanakan petunjuk untuk melengkapi berkas perkara maka proses kelengkapan berkas perkara tersebut menjadi bolak - balik.


Dalam sebuah pelaksanaan prapenuntutan, proses prapenuntutan selain dapat memacu terhindarinya rekayasa penyidikan juga dapat mempercepat penyelesaian penyidikan juga menghindari terjadinya arus bolak - balik perkara. Proses prapenuntutan selain dapat menghilangkan kewenangan penyidikan oleh penuntut umum dalam perkara tindak pidana umum juga dalam melakukan pemeriksaan tambahan bilamana penyidik Polri menyatakan telah melaksanakan petunjuk penuntut umum secara optimal namun penuntut umum tidak dapat melakukan penyidikan tambahan secara menyeluruh artinya penuntut umum hanya dapat melakukan pemeriksaan tambahan terhadap saksi - saksi tanpa dapat melakukan pemeriksaan terhadap tersangka.


Definisi dari Prapenuntutan itu sendiri adalah Pengembalian berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik karena penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata kurang lengkap disertai petunjuk untuk melengkapinya. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara.


Tingkat prapenuntutan, yaitu antara dimulainya Penuntutan dalam arti sempit (perkara dikirim ke pengadilan) dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.


B.PENUNTUTAN

1.Pengertian 
Sebagaimana di ungkapkan pada pendahuluan bahwa penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum (PU) untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri (PN), yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam persidangan. Menurut pasal 137 KUHAP yang berwenang untuk melakukan penuntutan ialah penuntut umum (PU).


2.Tugas dan Wewenang Penuntut Umum (PU)

Di dalam pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Selain itu, dalam Pasal 1 Undang-Undang Pokok Kejaksaan (UU No. 15 tahun 1961) menyatakan, kejaksaan RI selanjutnya disebut kejaksaan adalah alat Negara penegak hokum yang terutama bertugas sebagai Penuntut Umum. Menurut Pasal 14 KUHAP, Penuntut Umum mempunyai wewenang:
a.Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik;
b.Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan ayat 4 dengan memberi petunjukdalam rangka menyempurnakan penyidikan dan penyidik.
c.Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan lanjutan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d.Membuat surat dakwan;
e.Melimpahkan perkara kepengadilan;
f.Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah ditentukan;
g.Melakukan penuntutan;
h.Menutup perkara demi kepentingan hokum;
i.Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut undang-undang;
j.Melaksanakan penetapan hakim.

            Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan tindakan lain adalah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan.
Setelah Penuntut Umum hasil penyidikan dari penyidik, ia segera mempelajarinya dan menelitinya dan dalam waktu 7 hari wajib memberitahuakan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Dalam hal hasil penyidikan ini ternyata belum lengkap, penuntut umum mengebalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk melengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik sudah harus menyampaikan kembali berkas yang perkara kepada penuntut umum (pasal 138 KUHAP).

Setelah Penuntut Umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak diadakan penuntutan.

3.Surat Dakwaan

•Pengertian dan Syarat
Surat Dakwaan adalah sebuah akta yang dibuat oleh penuntut umum yang berisi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan. Surat dakwaan merupakan senjata yang hanya bisa digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan atas asas oportunitas yang memberikan hak kepada jaksa penuntut umum sebagai wakil dari negara untuk melakukan penuntutan kepada terdakwa pelaku tindak pidana. Demi keabsahannya, maka surat dakwaan harus dibuat dengan sebaik-baiknya sehingga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a.Syarat Formil

Diantara syarat formil yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
1)Diberi tanggal dan ditanda tangani oleh Penuntut Umum;
2)Berisi identitas terdakwa/para terdakwa, meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa (Pasal 143 ayat 2 huruf a KUHAP). Identitas tersebut dimaksudkan agar orang yang didakwa dan diperiksa di depan sidang pengadilan adalah benar-benar terdakwa yang sebenarnya dan bukan orang lain. Apabila syarat formil ini tidak seluruhnya dipenuhi dapat dibatalkanoleh hakim (vernietigbaar) dan bukan batal demi hukum karena dinilai tidak jelas terhadap siapa dakwaan tersebut ditujukan. 
b.Syarat Materiil 
a)Menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan
Dalam menyusun surat dakwaan, Penguraian unsur mengenai waktu tindak pidana dilakukan adalah sangat penting karena hal ini berkaitan dengan hal-hal mengenai azas legalitas, penentuan recidive, alibi, kadaluarsa, kepastian umur terdakwa atau korban, serta hal-hal yang memberatkan terdakwa. Begitu juga halnya dengan penguraian tentang tempat terjadinya tindak pidana dikarenakan berkaitan dengan kompetensi relatif pengadilan, ruang lingkup berlakunya UU tindak pidana serta unsur yang disyaratkan dalam tindak pidana tertentu misalnya “di muka umum, di dalam pekarangan tertutup) dan lain-lain.
b)Memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan.
Uraian Harus CermatØ

Dalam penyusunan surat dakwaan, penuntut umum harus bersikap cermat/ teliti terutama yang berkaitan dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi kekurangan dan atau kekeliruan yang mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau unsur-unsur dalam dakwaan tidak berhasil dibuktikan. 
Uraian Harus JelasØ
Jelas adalah penuntut umum harus mampu merumuskan unsur-unsur tindak pidana/ delik yang didakwakan secara jelas dalam arti rumusan unsur-unsur delik harus dapat dipadukan dan dijelaskan dalam bentuk uraian fakta perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Dengan kata lain uraian unsur-unsur delik yang dirumuskan dalam pasal yang didakwakan harus dapat dijelaskan/ digambarkan dalam bentuk fakta perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Sehingga dalam uraian unsur-unsur dakwaan dapat diketahui secara jelas apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan tersebut sebagai Pelaku (dader/pleger), pelaku peserta (mede dader/pleger), penggerak (uitlokker), penyuruh (doen pleger) atau hanya sebagai pembantu (medeplichting). Apakah unsur yang diuraikan tersebut sebagai tindak pidana penipuan atau penggelapan atau pencurian dan sebagainya. Dengan perumusan unsur tindak pidana secara jelas dapat dicegah terjadinya kekaburan dalam surat dakwaan (obscuur libel). Pendek kata, jelas berarti harus menyebutkan :
a.Unsur tindak pidana yang dilakukan;
b.fakta dari perbuatan materiil yang mendukung setiap unsur delik;
c.cara perbuatn materiil dilakukan.
Uraian Harus LengkapØ
Lengkap adalah bahwa dalam menyusun surat dakwaan harus diuraikan unsur-unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam UU secara lengkap dalam arti tidak boleh ada yang tercecer/ tertinggal tidak tercantum dalam surat dakwaan. Surat dakwaan harus dibuat sedemikian rupa dimana semua harus diuraikan, baik unsur tindak pidana yang didakwakan, perbuatan materiil, waktu dan tempat dimana tindak pidana dilakukan sehingga tidak satupun yang diperlukan dalam rangka usaha pembuktian di dalam sidang pengadilan yang ketinggalan. 
Sebelum membuat Surat Dakwaan yang perlu diperhatikan tindak pidana yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan ialah pasal yang mengatur tindak pidana tersebut. Apabila penuntut sudah yakin atas tindak pidana yang akan didakwakan melanggar pasal terntu dalam KUHP, lalu yang perlu dilakukan oleh Penuntut Umum adalah membuat matriks tindak pidana tersebut. Matriks adalah kerangka dasar sebagai sarana mempermudah dalam pembuatan Surat Dakwaan. Matriks disusun sesuai dengan isi dan maksud pasal 143 KUHAP, karena Surat Dakwaan terancam batal apabila tidak memenuhi pasal 143 ayat (2) a dan b KUHAP.


•Proses Penyusunan Surat Dakwaan

A.Voeging
Voeging adalah penggabungan berkas perkara dalam melakukan penuntutan dan dapat dilakukan jika (pasal 141 KUHAP) :

a.Beberapa tindak pidana
b.Beberapa tindak pidana yang dilakukan satu orang atau lebih
c.Belum diperiksa dan akan diperiksa bersama
B.Splitsing 
Selain pengganbungan perara PU juga mempunyai ha untuk melakukan penuntutan dengan jalan memisahan perkara (pasal 142 KUHAP). Splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi. Hal ini dilakukan untuk memperkuat dakwaan PU.


•Macam-Macam Surat Dakwaan

1.Dakwaan Tunggal
Dakwaannya hanya satu/tunggal dan tindak pidana yang digunakan apabila berdasarkan hasil penelitian terhadap materi perkara hanya satu tindak pidana saja yang dapat didakwakan. Dalam dakwaan ini, terdakwa hanya dikenai satu perbuatan saja, tanpa diikuti dengan dakwaan-dakwaan lain. Dalam menyusun surat dakwaan tersebut tidak terdapat kemungkinan-kemungkinan alternatif, atau kemungkinan untuk merumuskan tindak pidana lain sebagai penggantinya, maupun kemungkinan untuk mengkumulasikan atau mengkombinasikan tindak pidana dalam surat dakwaan. Penyusunan surat dakwaan ini dapat dikatakan sederhana, yaitu sederhana dalam perumusannya dan sederhana pula dalam pembuktian dan penerapan hukumnya.
2.Dakwaan Alternatif
Dalam bentuk dakwaan demikian, maka dakwaan tersusun dari beberapa tindak pidana yang didakwakan antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang lain bersifat saling mengecualikan. Dalam dakwaan ini, terdakwa secara faktual didakwakan lebih dari satu tindak pidana, tetapi pada hakikatnya ia hanya didakwa satu tindak pidana saja. Biasanya dalam penulisannya menggunakan kata “atau”. Dasar pertimbangan penggunaan dakwaan alternatif adalah karena penuntut umum belum yakin benar tentang kualifikasi atau pasal yang tepat untuk diterapkan pada tindak pidana tersebut, maka untuk memperkecil peluang lolosnya terdakwa dari dakwaan digunakanlah bentuk dakwaan alternatif. Biasanya dakwaan demikian, dipergunakan dalam hal antara kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukkan corak/ciri yang sama atau hampir bersamaan, misalnya:pencurian atau penadahan, penipuan atau penggelapan, pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan mati dan sebagainya. Jaksa menggunakan kata sambung “atau”.
3.Dakwaan Subsidiair
Bentuk dakwaan ini dipergunakan apabila suatu akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana menyentuh atau menyinggung beberapa ketentuan pidana. Keadaan demikian dapat menimbulkan keraguan pada penunutut umum, baik mengenai kualifikasi tindak pidananya maupun mengenai pasal yang dilanggarnya. Dalam dakwaan ini, terdakwa didakwakan satu tindak pidana saja. Oleh karena itu, penuntut umum memilih untuk menyusun dakwaan yang berbentuk subsider, dimana tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok terberat ditempatkan pada lapisan atas dan tindak pidana yang diancam dengan pidana yang lebih ringan ditempatkan di bawahnya. Konsekuensi pembuktiannya, jika satu dakwaan telah terbukti, maka dakwaan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi. Biasanya menggunakan istilah primer, subsidiair dan seterusnya. Meskipun dalam dakwaan tersebut terdapat beberapa tindak pidana, tetapi yang dibuktikan hanya salah satu saja dari tindak pidana yang didakwakan itu.
4.Dakwaan Kumulatif
Bentuk dakwaan ini dipergunakan dalam hal menghadapi seorang yang melakukan beberapa tindak pidana atau beberapa orang yang melakukan satu tindak pidana. Dalam dakwaan ini, terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus. Biasanya dakwaan akan disusun menjadi dakwaan satu, dakwaan dua dan seterusnya. Jadi, dakwaan ini dipergunakan dalam hal terjadinya kumulasi, baik kumulasi perbuatan maupun kumulasi pelakunya. Jaksa menerapkan dua pasal sekaligus dengan menerapkan kata sambung “dan”.
5.Dakwaan Campuran/Kombinasi
Bentuk dakwaan ini merupakan gabungan antara bentuk kumulatif dengan dakwaan alternatif ataupun dakwaan subsidiair. Ada dua perbuatan, jaksa ragu-ragu mengenai perbuatan tersebut dilakukan. Biasanya dakwaan ini digunakan dalam perkara narkotika.
4.Pelimpahan Perkara ke Pengadilan Negeri
Pelimpahan perara ke pengadilan diatur dalam pasal 143 UU no.8 th 1981 tentang hukum acara pidana yang berbunyi sebagai berikut :
1)Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. 
4)Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan. dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar