Asas Legalitas dalam Perspektif Hukum Pidana
Indonesia dan Kajian Perbandingan Hukum
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan
terminologi ‘principle of legality’, ‘legaliteitbeginsel’, ‘non-retroaktif’,
‘de la legalite’ atau ‘ex post facto laws’. Ketentuan asas legalitas diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang
berbunyi: ‘Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan
undang-undang pidana yang mendahuluinya.’ (Geen feit is strafbaar dan uit
kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling).
P.A.F. Lamintang dan
C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, ‘Tiada suatu
perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut
undang-undang yang telah diadakan lebih dulu’.[1] Andi Hamzah menterjemahkan
dengan terminologi, ‘Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
mendahuluinya’.[2] Moeljatno menyebutkan pula bahwa, ‘Tiada suatu perbuatan
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan
yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan’.[3]
Oemar Seno Adji
menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel,
baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’
dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan
berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi,
berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan
suatu refleksi dari prinsip ‘legality’.[4] Nyoman Serikat Putra Jaya,
menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung
makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah
undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas
‘nonretroaktif’, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana
secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post
facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi
pidana (nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions).[5]
Dikaji dari
substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin
sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak
ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau
nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut
undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan
pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya)
atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa
ketentuan yang tegas).
Konsepsi asas ini
dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833), seorang sarjana
hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801
yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie).
Paul Johan Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan
usaha preventif terjadinya tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui
sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan
akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Akan tetapi, menurut
J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel von Pufendorflah yang mendahului von
Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap bahwa ‘Talmudic Jurisprudence’ lah yang
mendahului teori von Feurbach.[6] Bambang Poernomo menyebutkan bahwa, apa yang
dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yaitu dalam
bahasa Latin berbunyi: ‘nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum
crimen sine poena legali’.[7]
Akan tetapi, walaupun
asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin, ada menimbulkan kesan
seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum Romawi kuno. Aturan ini,
dalam formulasi bahasa Latin, berasal dari juris Jerman, von Feuerbach – ini
berarti bahwa asas ini lahir pada awal abad 19 dan harus dipandang sebagai
produk ajaran klasik.[8] J.E. Sahetapy menyebutkan bahwa asas legalitas
dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa Latin merupakan bahasa
‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu.[9] Moeljatno menyebutkan bahwa,
baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi
Kuno.[10]
Pada saat itu dikenal
kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti
‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Diantara criminal
extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan
durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi
raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk
menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang
harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu
perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.
Selain konteks di
atas, ada juga yang berasumsi bahwa asas legalitas berasal dari ajaran
Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois. Menurut van der Donk dan
Hazewinkel Suringa baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau mempersiapkan
penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam ajaran kedua tokoh
tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas. Maksud dari pelajaran kedua
tokoh tersebut adalah melindungi individu terhadap tindakan hakim yang
sewenang-wenang, yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap
tuntutan tindakan yang sewenang-wenang.[11] Hans Kelsen menyebutkan dimensi
asas nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal
positivism dalam hukum pidana.[12]
Dikaji dari perspektif
sejarah terbentuknya asas legalitas dalam KUHP Indonesia berasal
dari Wetboek van Strafrecht Nederland (WvS. Ned), sebagaimana berasal dari
ketentuan Pasal 8 Declaration des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789
yang berbunyi, ‘tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan
undang-undang yang sudah ada sebelumnya’, dan merupakan pandangan Lafayette
dari Amerika ke Perancis dan bersumber dari Bill of Rights Virgina tahun 1776.
Apabila dianalisis
lebih intens, detail dan terperinci terminologi ‘ketentuan perundang-undangan
(wettelijk strafbepaling)’ dan ‘undang-undang’ maka ruang lingkup asas
legalitas dalam hukum pidana materiil lebih luas dengan terminologi
‘perundang-undangan’ dari kata ‘undang-undang’ pada ketentuan hukum acara
pidana. Tegasnya, asas legalitas di samping dikenal dalam ketentuan hukum
pidana materiel juga dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana (hukum pidana
formal). Andi Hamzah kemudian lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian,
asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana
materiel, karena istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda)
‘ketentuan perundang-undangan’ (wettelijk strafbepaling) sedangkan dalam hukum
acara pidana disebut undang-undang pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih
rendah seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat menentukan suatu
perbuatan dapat dipidana tetapi tidak boleh membuat aturan acara pidana.[13]
Hakikat ketentuan
Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang pemberlakuan hukum
pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti). Konkritnya,
untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana maka
ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan
dilakukan. Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Inggris merumuskan dalam
adagium moneat lex, priusquam feriat (undang-undang harus memberikan peringatan
terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya),
ini kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni mencakup juga pembenaran
atas pidana yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman pidana yang muncul terlebih
dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegahan, menghukum dapat dibenarkan.
Dalam perspektif
tradisi Civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat,
yaitu terhadap peraturan perundangan-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity),
lex certa dan analogi.[14] Roelof H. Haveman menyebutkan keempat dimensi
konteks di atas sebagai, though it might be said that not every aspect is that
strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true
meaning to principle of legality.[15] Moeljatno menyebutkan bahwa asas
legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:
1.
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam
suatu aturan undang-undang.
2.
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana
tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3.
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku
surut.[16]
Komariah Emong
Sapardjaja[17] dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen menyebutkan ada
empat makna yang terkandung asal legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan
pidana berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat
dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa
terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau
hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan
analogi. Polarisasi pemikiran Komariah Emong Sapardjaja dengan bertitik tolak
pandangan Groenhuijsen hakikatnya identik dengan pendapat dari Machteld Boot
dengan titik tolak pandangan Jeschek dan Weigend yang menyebutkan empat syarat
asas legalitas.
Pertama, tidak ada
perbuatan pidana dan pidana tanpa undang-undang sebelumnya (asas nullum crimen,
noela poena sine lege pravia). Kedua, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada
pidana tanpa undang-undang tertulis (asas nullum crimen, nulla poena sine lege
scripta). Ketiga, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan
undang-undang yang jelas (asas nullum crimen, nulla poena sine lege certa).
Keempat, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang
ketat (asas nullum crimen, noela poena sine lege stricta). Lebih detail
Machteld Boot menyebutkan bahwa:
‘The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip
in Article 1 StGB is generally considered to include four separate
requirements. Fist, conduct can only be punished if the punishability as well
as the acconpanying penalty had been determined before the offence was
committed (nullum crimen, noela poena sine lege praevia). Furthermore, these
determinations have to be be included in statutes (Gesetze): nullum crimen,
noela poena sine lege scripta. These statutes have to be difinite (bestimmt):
nullum crimen, noela poena sine lege certa. Lastly, these statutes may not be
applied by analogy which is reflected in the axion nullum crimen, noela poena
sine lege stricta.'[18]
JH. J. Enschede,
menyebutkan hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu:
Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam
perundang-undangan pidana (…wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen
onder een wettelijke strafbepaling…). Kedua, kekuatan ketentuan pidana pidana
tidak boleh diberlakukan surut (…zo’n strafbepaling mag geen terugwerkende
kracht hebben…).[19] Kemudian Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna
asas legalitas. Pertama, Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan
Pasal 1. Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, bdgk. Pasal
3 KUHP Indonesia 1981) menetapkan bahwa hanya perundang-undangan dalam arti
formal yang dapat memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata
perundang-undangan (wettelijk) dalam ketentuan Pasal 1 menunjuk pada semua
produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara
legitimate.
Sebelumnya telah
ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundang-undangan tercakup di dalamnya,
termasuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah (tingkat provinsi maupun
kabupaten/kotamadya) dan seterusnya. Kedua, Lex Certa (undang-undang yang
dirumuskan terperinci dan cermat/nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex
Certa atau bestimmtheitsgebot merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak
jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan
menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan
dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna
sebagai pedoman perilaku. Ketiga, dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan
larangan untuk menerapkan ketentuan pidana secara analogis (nullum crimen sine
lege stricta: tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat
di dalam peraturan perundang-undangan).[20]
Lebih lanjut Von
Feurbach menyebutkan makna asas legalitas menimbulkan tiga peraturan lain.
Pertama, setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum
pidana (nulla poena sine lege). Kedua, penggunaan pidana hanya mungkin
dilakukan, jika terjadi perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang
(nulla poena sine crimine). Ketiga, perbuatan yang diancam dengan pidana yang
menurut undang-undang, membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh
undang-undang dijatuhkan (nullum crimen sine poena legali).[21] Berikutnya
Richard G. Singer dan Martin R. Gardner menyebutkan asas legalitas berkorelasi
dengan 3 (tiga) dimensi, yaitu: Pertama, pemidanaan tidak dapat diberlakukan
secara retroaktif. Kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum yang
berlaku surut. Ketiga, perbuatan pidana harus didefinisikan oleh lembaga atau
institusi yang berwenang.[22]
Pada dasarnya,
perkembangan asas legalitas eksistensinya diakui dalam KUHP Indonesia
baik asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP)
maupun asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP
Tahun 2008).[23] Akan tetapi, Utrecht keberatan dengan dianutnya asas legalitas
di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana
(strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas
menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Lebih
terperinci maka Utrecht mengatakan bahwa:
‘Terhadap azas nullum delictum itu dapat
dikemukakan beberapa keberatan. Pertama-tama dapat dikemukakan bahwa azas
nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif
(collectieve belangen). Akibat azas nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum
mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (=peraturan yang telah
ada) disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada
kemungkinan seorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya
merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran
ketertiban umum, tinggal tidak terhukum. Azas nullum delictum itu menjadi suatu
halangan bagi hakim pidana menghukum seorang yang melakukan suatu perbuatan
yang biarpun tidak ‘strafbaar’’ masih juga ‘strafwaardig’. Ada lagi satu alasan
untuk menghapuskan pasal 1 ayat 1 KUHPidana, yaitu suatu alasan yang
dikemukakan oleh terutama hakim pidana di daerah bahwa pasal 1 ayat 1 KUH
Pidana menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat.'[24]
Akan tetapi, walaupun
demikian pada umumnya asas legalitas tersebut menurut Andi Hamzah diterima
dalam KUHP Indonesia meskipun merupakan dilema. Lebih jauh dikatakan, bahwa:
‘Menurut pendapat Andi
Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena
memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht tentang
hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak mungkin
dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa,
tetapi dilihat dari sudut yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari
penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai negara
berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang
kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan.'[25]
Barda Nawawi Arief[26]
menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di
dalamnya asas ‘legalitas formal’, asas ‘lex certa’, dan asas ‘Lex Temporis
Delicti’ atau asas ‘nonretroaktif’. Asas legalitas formal (lex scripta) dalam
tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan
Undang-Undang atau hukum tertulis. Undang-Undang (statutory, law) harus
mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex Certa
atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan
undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine
lege stricta). Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan
memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan
(pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan
seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif
menentukan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat
diberlakukan surut (retroaktif) akan tetapi harus bersifat prospectif. Oleh
karena itu maka makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak
ada 4 (empat) larangan (prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut,
yaitu:
a) ‘nullum crimen,
nulla poena sine lege scripta’ (larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak
tertulis—unwritten law–);
b) ‘Nullum crimen,
nulla poena sine lege stricta’ (larangan untuk melakukan analogy);
c) ‘Nullum crimen,
nulla poena sine lege praevia’ (larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana
secara surut);
d) ‘Nullum crimen,
nulla poena sine lege certa’ (larangan terhadap perumusan hukum pidana yang
tidak jelas –unclear terms-).
Ketentuan asas
legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Tahun 2008 perumusannya
identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun
2008 menyebutkan asas legalitas dengan redaksional sebagai, ‘Tiada seorangpun
dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah
ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan’. Kemudian ketentuan asas legalitas
ini lebih lanjut menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008
disebutkan, bahwa:
‘Ayat ini mengandung asas legalitas.
Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila
ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada Undang-undang. Dipergunakan asas
tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana.
Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung
ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti
bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan
penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan
suatu tindak pidana.’
Asas legalitas konteks
di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya kepastian hukum
(rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka ketentuan asas
legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan
pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum transistoir (peralihan) yang
mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang menurut waktu
(sphere of time, tijdgebied) yang terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUH Pidana
yang berbunyi, ‘bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya
perbuatan pidana, maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling
menguntungkan baginya.[27]
Barda Nawawi Arief
mempergunakan terminologi melemahnya/bergesernya asas legalitas antara lain
dikarenakan sebagai berikut:
- Bentuk pelunakan/penghalusan
pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat
(2) KUHP;
- Dalam praktik yurisprudensi dan
perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang
materiel;
- Dalam hukum positif dan
perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-undang Dasar Sementara 1950;
Undang-undang Nomor 1 Drt 1951; Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas legalitas
tidak semata-mata diartikan sebagai ‘nullum delictum sine lege’, tetapi
juga sebagai ‘nullum delictum sine ius’ atau tidak semata-mata dilihat
sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu
dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak
tertulis sebagai sumber hukum;
- Dalam dokumen internasional
dalam KUHP negara lain juga terlihat perkembangan/pengakuan ke arah asas
legalitas materiel (lihat Pasal 15 ayat (2) International Convention on
Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP Kanada di atas);
- Di beberapa KUHP negara lain
(antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal) ada ketentuan mengenai
‘pemaafan/pengampunan hakim’ (dikenal dengan berbagai istilah, antara lain
‘rechterlijk pardon’, ‘Judicial pardon’, ‘Dispensa de pena’ atau
‘Nonimposing of penalty’) yang merupakan bentuk ‘Judicial corrective to
the legality principle’;
- Ada perubahan fundamental di
KUHAP Perancis pada tahun 1975 (dengan Undang-undang Nomor 75-624 tanggal
11 Juli 1975) yang menambahkan ketentuan mengenai ‘pernyataan bersalah
tanpa menjatuhkan pidana’ (‘the declaration of guilt without imposing a
penalty’);
- Perkembangan/perubahan yang
sangat cepat dan sulit diantisipasi dari ‘cyber-crime’ merupakan tantangan
cukup besar bagi berlakunya asas ‘lex certa’, karena dunia maya
(cyber-space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti.[28]
Khusus terhadap pengecualian asas
legalitas ditentukan asas ‘lex temporis
delicti’ sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Konklusi dasar asas ini
menentukan apabila terjadi perubahan perundang-undangan maka diterapkan
ketentuan yang menguntungkan terdakwa. Jan Remmelink menyebutkan ketentuan
Pasal 1 ayat (2) memberikan jawaban dalam artian bahwa bila undang-undang yang
berlaku setelah tindak pidana ternyata lebih menguntungkan, maka
pemberlakuannya secara surut diperkenankan. Pandangan demikian diakui dan
diterima di Belgia dan Jerman.
A. Zainal Abidin Farid menyebutkan yang dimaksud dengan perubahan
undang-undang dalam pasal 1 ayat (2) KUHP apakah termasuk undang-undang pidana
saja atau semua aturan hukum maka aspek ini dapat dijawab dengan tiga teori
yaitu teori formil yang dianut oleh Simons, kemudian teori materiil terbatas
yang dikemukakan oleh van Geuns dan teori materiil tak terbatas. Menurut teori
formil maka perubahan undang-undang baru dapat terjadi bilamana redaksi
undang-undang pidana yang diubah. Perubahan undang-undang lain selain dari
undang-undang pidana, walaupun berhubungan dengan undang-undang pidana,
bukanlah perubahan undang-undang menurut pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Kemudian
menurut teori materiil terbatas bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud
harus diartikan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang. Perubahan
karena zaman atau keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan undang-undang
ex pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Teori materiil tak terbatas dimana H.R. dalam
keputusannya tanggal 5 Desember 1921 (N.J. 1922 h. 239) yang disebut
Huurcommicciewet-arrest, berpendapat bahwa ‘perundang-undangan meliputi semua
undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang meliputi semua macam
perubahan, baik perubahan perasaan hukum pembuat undang-undang menurut teori
materiil terbatas, maupun perubahan keadaan karena waktu’.
Konklusi dasar asas
legalitas sebagaimana diuraikan konteks di atas, dikaji dari prespektif
karakteristiknya terdapat dimensi-dimensi sebagai berikut:
- Tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang.
- Tidak dapat diterapkan
undang-undang pidana berdasarkan analogi.
- Tidak dipidana hanya
berdasarkan kebiasaan.
- Tidak boleh ada rumusan delik
yang kurang jelas (asas lex certa).
- Tidak ada ketentuan pidana
diberlakukan secara surut (asas nonretroaktif).
- Tidak ada pidana, kecuali
ditentukan dalam undang-undang.
- Penuntutan pidana hanya
berdasarkan ketentuan undang-undang.
Dikaji dari perspektif perbandingan hukum (comparative law) maka asas
legalitas tersebut juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Pada
International Criminal Court (ICC) asas legalitas diatur khususnya pada article
22, article 23 dan article 24. Ketentuan article 22 Nullum crimen sine lege
ayat (1) menyebutkan, ‘A person shall not be criminally responsible under this
Statute unless the conduct in question constitutes, at the time it takes place,
a crime within the jurisdiction of the court’, dan ayat (2) menyebutkan, ‘The
definition of a crime shall not be extended by analogy. In case of ambiguity.
The definition shall be intepreted in favour of the person being investigated,
prosecuted, or convicted’, dan ayat (3), ‘This article shll not affect the
characterization of any conduct as criminal under international law
independently of the Statute’. Kemudian article 23 berbunyi, ‘A person
convicted by the court may be punished only in accordance with the Statute’,
dan article 24 ayat (1) selengkapnya berbunyi bahwa, ‘No person shall be
criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into
force of the Statute’, dan ayat (2) berbunyi bahwa, ‘In the event of change in
the applicable to a given case prior to a final judgment, the law more
favorable to the person being investigated or convicted shall apply’.
Kemudian dalam Pasal 9 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia yang
ditandatangani di San Jose, Costa Rica tanggal 22 November 1968 dan mulai
berlaku pada tanggal 18 Juli 1978 asas legalitas diformulasikan dengan
redaksional bahwa, ‘No one shall be convicted of any act or omission that did
notconstitute a criminal offence, under applicable law, at the time when it was
committed. A heavier penalty shall not be imposed than the one that was
applicable at the time the criminal offence. If subsequent to the commission of
the offense that law provides for the imposition of a lighter punishment, the
guilty person shall benefit thereform’.
Berikutnya, asas legalitas juga terdapat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia
yang diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III) tanggal 10 Desember
1948 dimana pada Pasal 11 ayat (2) disebutkan asas legalitas dengan redaksional
bahwa, ‘No one shall be had guilty of any penal offence on account of any act
or omission which did not constitute a penal offence, under national or
international law, at the time when it was commited. Not shall a heavier by
imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was
committed’. Selain itu, asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 7 ayat (2)
African Charter on Human and People Rights yang ditandatangani di Nairobi,
Kenya, dan berlaku pada tangal 21 Oktober 1986 yang menyebutkan bahwa, ‘No one
may be condemmed for an act or omission which did not constitute a legally
punishable offence for which no provision was made at the time it was
committed. Punishment is personal and can be imposed only on the offender’.
Kemudian pada KUHP Jerman yang diumumkan tanggal 13 November 1998 (Federal
Law Gazette I, p. 945, p. 322) disebut Strafgesetzbuch (StGB) pada Section 1 No
Punishment Without a Law disebutkan bahwa, ‘Sebuah perbuatan hanya dapat
dipidana apabila telah ditetapkan oleh undang-undang sebelum perbuatan itu
dilakukan’, (An act may only be punished if its punishability was determined by
law before the act was committed). Pada asasnya, asas legalitas ini di Jerman
juga berorientasi kepada dimensi penuntutan, sehingga menurut George P.
Fletcher di Jerman menganut ‘positive legality principle’.[29]
Kemudian asas
legalitas ini juga dikenal di Negara Polandia. Pada ketentuan Pasal 42
Konstitusi Republik Polandia maka asas legalitas dirumuskan dengan redaksional,
‘Only a person who has commited an act prohibited by a statute in force at the
moment of commission there of, and which is subject to a penalty, shall be geld
criminally responsible. This principle shaal not prevent punishment of any act
which, at the moment of its commission, constituted an offence within the
meaning of international law’. Berikutnya asas legalitas ini dirumuskan dalam
Pasal 7 Konstitusi Perancis dengan menyebutkan bahwa, ‘A person may be accused,
arrested, or detained only in the cases specified by law and in accordance with
the procedures which the law provides. Those who solicit, forward, carry out or
have arbitrary orders carried out shall be punished; however, any citizen
summoned or apprehended pursuant to law obey forhwith; by resisting, he admits
his guilt’.
Kemudian dalam Pasal 25 Konstitusi Spanjol ditegaskan asas legalitas
adalah, ‘No one may be convicted or sentenced for actions or omissions which
when committed did not constitute a criminal offence, misdemeanour or
administrative offence under the law then in force’ dan dalam Pasal 25
Konstitusi Italia asas legalitas dirumuskan sebagai, ‘No one shall be punished
on the basic of a law which has entered into force before the offence has been
committed’.
Selain negara-negara di atas maka asas legalitas juga dikenal dalam Pasal
14 Konstitusi Negara Belgia sebagai, ‘No punishment can be made or given except
in pursuance of the law’. Kemudian Pasal 29 Konstitusi Republik Portugal
menentukan bahwa, ‘No one shall be convicted under the criminal law except for
an act or omission made punishable under exiisting law; and no one shall be
subjected to a security measure, except for reasons authorised under existing
law. No sentences or security measures shall be ordered that are not expressly
provided for in existing lawas. No one shall bee subjected to a sentence or
security measure that is more severe than hose applicable at the time the act
was committed or the preparations for its commission were made. Criminal laws
that are favourable to the affender shall aply retroactively’. Selanjutnya pada
Pasal 57 Konstitusi Hongaria disebut asas legalitas dengan redaksional sebagai,
‘No one shall be declared guilty and subjected to punishment for an offense
that was not a criminal offense under Hungarian law at the time such offense
was committed’.
Stelsel Sanksi Dalam Hukum Pidana
di Indonesia
Pidana dan Tindakan.
Pidana (straf) merupakan salah satu sarana yang
dapat digunakan dalam kebijakan hukum pidana. Roeslan Saleh pernah
mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan hukum pidana itu tidaklah semata-mata menjatuhkan
pidana, akan tetapi juga ada-kalanya menggunakan tindakan-tindakan.
Tindakan merupakan suatu sanksi juga, tetapi tidak ada
sifat pembalasan padanya dan ditujukan sebagai prevensi khusus dengan
maksud menjaga keamanan masyarakat terhadap orang-orang yang
dipandang berbahya, dan dikhawatirkan akan melakukan
perbuatan-perbuatan pidana.
Batas antara pidana dan tindakan walaupun secara
teoritis agak sukar dibedakan tetapi secara praktis batasannya cukup jelas
seperti yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP merupakan lingkup pidana,
selain itu adalah termasuk tindakan.
Roeslan Saleh dalam hal ini mengutarakan, walaupun
tindakan itu juga merampas dan menyinggung kemerdekaan seseorang, tetapi
jika bukansebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP bukanlah pidana.
Seperti pendidikan paksa pada anak-anak, penempatan
seseorang dalamrumah sakit jiwa.
Berbicara tentang stelsel pidana adalah juga berbicara
masalah sistem pemidanaan yang memiliki pengertian yang sangat luas. L. H.
C.Hulsman sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, mengemukakanbahwa sistem
pemidanaan (the sentencing sistem) adalah
“peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana
dan pemidanaan” (the statutory rules relating to penal sactions
andpunishment). Barda Nawawi Arief juga mengemukakan bahwa apabila
pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian
atau penjatuhanpidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem
pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang
mengaturbagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalisasikan
secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).
Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai
hukum pidana subtantif, hukum pidana formal dan hukum pidana
pelaksanaan dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.
Selanjutnya berkenaan dengan perbedaan antara
pemidanaan (punishment)dan tindakan (treatment), meurut Alf
Ross tidak didasarkanpada ada tidaknya unsur penderitaan, tetapi harus didasarkan
ada tidaknya unsur pencelaan, sedangkan menurut H. L. Packer perbedaan
keduanya Barda Nawawi Arief,.harus dilihat dari tujuan dan seberapa jauh
peranan dari perbuatan si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan
diperlakukan.
H. L. Packer mengemukakan bahwa tujuan dari treatment adalah untuk
memperbaiki orang yang bersangkutan, sedangkan punishment sebenarnya
didasarkan pada tujuan sebagi berikut:
1. Untuk
mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yangtidak dikehendaki atau
perbuatan yang salah (the prevention ofcrime or undersired conduct of
offending conduct)b)
2. Untuk
mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada pelanggar (the
deserved infliction of suffering onevildoers/retribution for perceived wrong
doing).
Secara tradisional perbedaan antara pidana dan
tindakan menurut Sudarto yakni pidana merupakan pembalasan (pengimbalan)
terhadapkesalahan sipembuat, sedangkan tindakan adalah untuk
perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat.
Berkenaan dengan masalah perbedaan antara pidana dan
tindakanini, perlu kiranya diperhatikan pendapat dari Roeslan Saleh, bahwa
batasan antara pidana dan tindakan secara teoritis sukar ditentukan,
karena pidana sendiripun dalam banyak hal juga mengandung pikiran-pikiran
melindungi dan memperbaiki, sebaliknya pada tindakan juga dapat dirasakan
berat oleh orang yang dikenal tindakan dan kerap kali pula dirasakan
sebagai pidana, karena berhubungan erat sekali dengan pencabutan atau
pembatasan kemerdekaan.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas bisa dilihat
bahwasanya baik pidana maupun tindakan pada hakikatnya merupakan bentuk
sanksi yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum oleh penguasa
yang berwenang.
Perbedaan diatara keduanya hanya terletak pada aspek pendekatannya
saja, namun yang jelas dengan semakin bervariasasinya bentuk sanksi, maka
dapat dipilih bentuk sanksi yang tepat untuk kejahatan tertentu sebagai
upaya penanggulangannya.
Jenis-jenis Sanksi Pidana Dalam Kitab Undang Undang
Hukum Pidana.
Menurut KUHP, pidana dibedakan dalam pidana pokok dan
pidanatambahan, terutama sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP.Dlam
hal ini Roeslan Saleh menjelaskan bahwa urutan pidana ini dibuatmenurut
beratnya pidana, dan yang terberat disebut lebih depan. Jenis-jenis pidana yang
disebutkan dalam Pasal 10 KUHP adalah:
1. Pidana Pokok
a. Pidana Mati;
b. Pidana
Penjara;
c. Pidana
Kurungan; dan,
d. Pidana
Denda.
2. Pidana
Tambahan:
a. Pencabutan
beberapa hak tertentu;
b. Perampasan
barang tertentu; dan,
c. Pengumuman
keputusan hakim.
3. Pidana
Tutupan
Pidana
tutupan sebagai pidana pokok (UU Nomor 20Tahun 1946).
Secara rinci dari jenis-jenis pidana yang terdapat
dalam Pasal 10 KitabUndang-undang Pidana tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Pidana
Pokok.
a. Pidana
Mati
Pidana mati di dalam Kitab Undang-undang HukumPidana
Indonesia diatur dalam Pasal 11, yang menyatakan bahwa pidana mati
dijalankan algojo di atas tempat gantungan (schavot) dengan cara
mengikat leher si terhukum dengan jerat pada tiang gantungan, lalu
dijatuhkan papan dari bawah kakinya. Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor
2 Tahun 1964, LembaranNegara 1964 Nomor 38 yang ditetapkan menjadi Undang-undangdengan
UU Nomor 5 Tahun 1969, pidana mati dijalankan dengan menembak mati
terpidana.
b. Pidana
Penjara.
Pidana penjara merupakan pidana utama diantara
pidana penghilangan kemerdekaan dan pidana ini dapat dijatuhkan
untuk seumur hidup atau sementara waktu.
Berbeda dengan jenis lainnya, maka pidana penjara
ini adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang
terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah
lembaga permasyarakatan.
Andi Hamzah pernah mengemukakan bahwa
pidana penjara disebut juga dengan pidana hilang kemerdekaan, tetapi
narapidana kehilangan hak-hak tertentu, seperti hak memilih dan dipilih,
hakim memangku jabatan publik, dan beberpa hak sipil lain.
Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara
minimal 1 (satu) hari sampai pidana penjara seumur hidup. Namun
pada umumnya pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun dan dapat
dilampaui dengan 20 (dua puluh) tahun.
Roeslan Saleh menjelaskan bahwa banyak pakar
memiliki keberatan terhadap penjara seumur hidup ini, keberatan
ini disebabakan oleh putusan kemudian terhukum tidak akan mempunyai
harapan lagi kembali dalam masyarakat.
Padahal harapan tersebut dipulihkan oleh lembaga
grasi dan lembagaremisi. Maka dari itu walaupun pidana penjara sudah menjadi pidana
yang sudah umum diterapkan di seluruh dunia namun dalam perkembangan
terakhir ini banyak yang mempersoalkan kembali manfaat penggunaan pidana
penjara.
c. Pidana
Kurungan.
Pidana kurungan ini sama halnya dengan pidana
penjara, namun lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara
walaupun kedua pidana ini sama-sama membatasi kemerdekaan
bergerak seorang terpidana. Sebagai pembedaan itu dalam ketentuan Pasal
69105 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1993,hal. 28.106 Op.cit, hal. 62.KUHP disebutkan,
bahwa perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan
menurut urutan di dalam KUHP.
Dalam hal ini Roeslan Saleh menjelaskan bahwa:” Dari
urutan dalam Pasal 10 KUHP ternyata pidana kurungan disebutkan sesudah
pidana penjara, sedangkan Pasal 69 (1) KUHP menyebutkan bahwa perbandingan
beratnya pidana pokok yangtidak sejenis ditentukan menurut urut-urutan dalam
Pasal 10.
Demikian pula jika diperhatikan bahwa pekerjaan
yang diwajibkan kepada orang yang dipidana kurungan juga lebih ringan
daripada mereka yang menjalani pidana penjara”.
Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya adalah
1 (satu) hari dan selama-lamanya adalah satu tahun. Akan
tetapil amanya pidana tersebut dapat diperberat hingga satu tahun
empat bulan, yaitu bila terjadisamenloop, recidive dan
berdasarkan Pasal 52 KUHP.
Dengan demikian jangka waktu pidana kurungan
lebih pendek dari pidana penjara, sehingga pembuat
undang-undang memandang pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara.
Olehkarena itu, pidana kurungan diancamkan pada
delik-delik yangdipandang ringan seperti delik culpa dan
pelanggaran.
Menurut penjelasan di dalam Memori Van
Toelichting, dimasukkannya pidana kurungan di dalam KUHP terdorong
olehdua macam kebutuhan masing-masing yaitu:a) Oleh kebutuhan akan perlunya
suatu bentuk pidanayang sangat sederhana berupa pembatasan
kebebasan bergerak atau suatu vrijheidsstraf yang
sifatnya sangatsederhana bagi delik-delik yang sifatnya ringan;
Oleh kebutuhan akan perlunya suatu bentuk
pidana berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak yang sifatnya tidak
begitu mengekang bagi delik-delik yang menurut sifatnya ”tidak menunjukkan
adanya sesuatukebobrokan mental atau suatu maksud yang sifatnya jahat pada
pelaku, ataupun yang juga sering disebut sebagai suatu custodia
honesta belaka.
Berkenaan dengan perbedaan pidana kurungan dan pidana
penjara dapat dirinci sebagai berikut:
1. Pidana
kurungan hanya diancamkan pada tindak pidana yang lebih
ringan daripada tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara.
2. Ancaman
maksimum umum pidana penjara 15 tahun, sedang ancaman maksimum umum pidana
kurungan 1 tahun.
3. Pelaksanaan
pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan pidana penjara, tetapi
pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pelaksanaan pidana kurungan.
4. Dalam
melaksanakan pidana penjara dapat dilakukan di LembagaPemasyarakatan diseluruh
Indonesia (dapat dipindah-pindahkan),sedang pelaksanaan pidana kurungan
LembagaPemasyarakatannya di mana ia berdiam ketika putusan hakimdijalankan.
5. Pekerjaan-pekerjaan
narapidana penjara lebih berat dari padapekerjaan-pekerjaan pada
narapidana kurungan.
d. Pidana
Denda
Pidana denda ini banyak diancamkan pada banyak
jenis pelanggaran, baik sebagai alternatif dari pidana kurungan
atau berdiri sendiri.
Adapun keistimewaan yang terdapat pada pidana denda
adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan
pidana denda bisa dilakukan atau dibayar olehorang lain.
2. Pelaksanaan
pidana denda boleh diganti dengan menjalanipidana kurungan dalam hal terpidana
tidak membayarkan denda.
Hal ini tentu saja diberikan kebebasan kepada
terpidana untuk memilih. Dalam pidana denda ini tidak terdapat maksimum
umum, yang ada hanyalah minimum umum.
Sedang maksimum khususnya ditentukan pada
masing-masing rumusan tindak pidana yangbersangkutan.
e. Tindak
Pidana Tutupan
Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam Pasal 10
KUHP, melalui UndangUndang Nomor 20 Tahun 1946, yang dalam Pasal 2
ayat 1 menyatakan bahwa:” Dalam mengadili orang yang melakukan tindak
pidana,yang diancamkan dengan pidana penjara, karenaterdorong oleh maksud yang
patut dihormati, hakimboleh menjatuhkan pidana tutupan”.
f. Pidana
Tambahan, meliputi :
1) Pencabutan
Hak-Hak Tertentu.
Menurut Pasal 35 ayat 1 KUHP,
hak-hak yang dapat dicabut adalah:
Hak jabatan pada
umumnya atau jabatan tertentu.
Hak
menjalankan jabatan dalam Angkatan Bersenjata/TentaraNasional Indonesia.
Hak
memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
Hak
menjadi Penasihat Hukum, hak menjadi wali, wali pengawas, wali pengampu.
Hak
menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian ataupengampuan atas anak
sendiri.
Hak
menjalankan mata pencaharian.
2) Perampasan
Barang Tertentu
Barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim ada 2
jenisberdasarkan
Pasal 39 KUHP, yaitu:
Barang-barang
yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan,misalnya: uang palsu dari
kejahatan pemalsuan uang.
Barang-barang
yang digunakan dalam melakukan kejahatan,misalnya : pisau yang digunakan
dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan.
3) Pengumuman
Putusan Hakim
Pengumuman hakim ini, hakim dibebaskan
menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu, dapat melalui surat-kabar,
ditempelkan di papan pengumuman, atau diumumkan melalui media radio atau
televisi.
Tujuannya adalah untuk mencegah bagi orang-orang
tertentu agar tidak melakukan tindak-pidana yang dilakukan orang
tersebut.
Menurut Bambang Poernomo, selain
putusan-putusan pemidanaan, bebas, dan dilepaskan masih terdapat
jenis-jenis lainyaitu:
Putusan yang
bersifat penetapan untuk tidak menjatuhkan pidana akan tetapi berupa tindakan
hakim, misalnya memasukkan ke rumah sakit jiwa, menyerahkan kepada
lembaga pendidikan khusus anaknakal dan lain-lainnya.
Putusan yang
bersifat penetapan berupa tidak berwenang untuk mengadili perkara
terdakwa, misalnya terdakwa menjadi kewenangan untuk diadili olehmahkamah
militer.
Putusan yang
bersifat penetapan berupa pernyataan surat-surat tuduhan batal karena
tidak mengandung isi yang diharuskan oleh syarat formal undang-undang.
Putusan yang
bersifat penetapan menolak atau tidak menerima tuntutan yang diajukan oleh
penuntut umum.
Misalnya, perkara jelas delik aduan tidak disertai
surat pengaduan oleh si korban atau keluarganya.
Setelah hakim membacakan putusan yang
mengandung pemidanaan maka hakim wajib memberitahukan kepada
terdakwa akan hak-haknya, hak menolak, atau menerima putusan, atau
hak mengajukan banding dan lain-lain.
Di samping jenis sanksi yang berupa pidana, dalam
hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya :
- Penempatan
di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapatdipertanggung-jawabkan
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu penyakit (Pasal 44
ayat (2) KUHP);
- Bagi anak
yang belum berumur 16 tahun melakukan tindakpidana, hakim dapat mengenakan
tindakan berupa (lihat Pasal45 KUHP):a. Mengembalikan kepada orang tuanya,
walinya atau pemeliharanya, atau;
- Memerintahkan
agar anak tersebut diserahkan kepadapemerintah; Dalam hal ini yang ke-2,
anak tersebut dimasukkan kedalam rumah pendidikan negara yang
penyelenggaraannya diatur dalam Peraturan Pendidikan Paksa(Dwangopvoedingregeling,
Stb. 1916 nomor 741).
- Penempatan
di tempat bekerja negara (landswerkinrichting)bagi penganggur yang malas
bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta mengganggu ketertiban
umum dengan pengemisan, bergelandangan atau perbuatan asosial(Stb. 1936
nomor 160);
Tindakan
tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi (pasal 8Undang-Undang No. 7 Drt.
1955) dapat berupa:
- penempatan
perusahaan si terhukum di bawah pengampuanuntuk selama waktu tertentu (tiga
tahun untuk kejahatanTPE dan 2 tahun untuk pelanggaran TPE);
- pembayaran
uang jaminan untuk waktu tertentu;
- pembayaran
sejumlah uang sebagai pencabutan keuntunganyang menurut taksiran yang diperoleh
dari tindak pidana yang dilakukan;
- kewajiban
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak,meniadakan apa yang dilakukan tanpa
hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama
lain, semua atas biaya si terhukum sekedar hakim tidakmenentukan lain.
g. Pola
lamanya Pemidanaan
1) Pola
Penetapan Jumlah Ancaman Pidana.
Dalam menetapakan jumlah atau lamanya ancaman
pidana,dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief terdapat dua alternatif sistemyaitu:
Sistem
pendekatan absolut, yakni untuk setiap orang tindak pidanaditetapkan
bobot/kualitasnya sendiri-sendiri, yaitu denganmenetapkan ancaman pidana
maksimum (dapat juga ancamanpidana minimum) untuk setiap tindak pidana. Penetapan maksimum
pidana untuk tiap pidana ini dikenal dengan sistem indifinite atau
sistem maksimum. Sistem ini biasa digunakan dalam perumusan KUHP/WvS
diberbagai negara termasuk alam praktek legislatif di Indonesia, sehingga
dikenal sebagai sistem tradisional;
Sistem atau
pendekatan relatif, yaiut untuk tiap-tiap tindak pidanatidak ditetapkan
bobot/kualitasnya (maksimum pidananya) sendirisendiritetapi bobotnya
direlatifkan; yaitu dengan melakukanpenggolongan tindak pidana dalam beberapa
tingkatan dansekaligus menetapkan maksimum pidana untuk tiap kelompoktindak
pidana.
2) Pola
Maksimum dan Minimum Pidana.
Menurut pola KUHP/WvS maksimum khusus pidana
penjara yang paling rendah adalah berkisar 3 (tiga) minggu dan 15 (lima
belas) tahun yang dapat mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila ada pemberatan.
Sedangkan maksimum yang di bawah 1 (satu) tahun
sangat bervariasi dengan menggunakan bulan dan minggu.
Konsep KUHP ancaman pidana maksimum khusus yang
paling rendah untuk pidana penjara adalah 1 (satu) tahun dan 15 (lima
belas) tahun yang dapat juga mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila
adapemberatan.
Menurut konsep, untuk delik yang dipandang tidak
perlu diancam dengan pidana penjara atau bobotnya kurang dari 1
(satu) tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana yang sangat
ringan dan hanya diancam pidana denda.
Pola maksimum khusus paling rendah 1 (satu) tahun
menurut konsep dikecualikan untuk delik-delik yang selama ini dikenal
sebagai kejahatan ringan.
Menurut pola KUHP, maksimum penjara
untuk delik-delik kejahatan ringan ini adalah 3 (tiga) bulan, sedang
menurut Konsep KUHP adalah 6 (enam) bulan yang dialternatifkan
dengan pidana denda.
Pola pidana denda dalam KUHP/WvS tidak
mengenal”minimum khusus”, pola pidana dalam KUHP menggunakan”minimum umum” dan
”maksimum khusus”.
Maksimum khusus pidana denda paling tinggi untuk
kejahatan adalah Rp 150.000,- danu ntuk pelanggaran paling banyak Rp.
75.000,- jadi maksimum khusus pidana denda yang paling tinggi untuk
kejahatan adalah dua kali lipat yang diancamkan untuk pelanggaran.
Pola pidana denda dalam Konsep KUHP tahun 2005
mengenal minimum umum, minimum khusus dan maksimum khusus. Pasal 77ayat
(2) menentukan jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda
paling sedikit Rp. 15.000,00,- (lima belas ribu rupiah).
Pasal 77 ayat (3) menentukan bahwa pidana denda paling
banyakditetapkan berdasakan kategori, yaitu :
kategori I
Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah);
kategori II
Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
kategori III
Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
kategori IV
Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);
kategori V
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan
kategori VI
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Dari pola di atas, baik menurut KUHP maupun Konsep
KUHPtidak ada maksimum umum untuk pidana denda. Akibat tidak adanyaketentuan
maksimum umum pidana denda KUHP tersebut, akibatnyatimbul variasi maksimum
pidana denda dalam perundang-undangan diluar KUHP.
3) Pola
Pemberatan dan Peringanan Ancaman Pidana
Menurut Konsep KUHP pemberatan dan peringanan
pidana tidak berbeda dengan KUHP yaitu ditambah atau dikurangi
sepertiga. Namun menurut Konsep KUHP, pemberatan dan/atau
peringanan sepertiga itu tidak hanya terhadap ancaman maksimum tetapi
juga terhadap ancaman minimumnya. Dalam hal tertentu, pola
peringanan pidana menurut Konsep KUHP dapat juga dikurangi setengahnya
dari pembatasan pidana bagi anak yang berusia 12 (dua belas)
sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.
4) Pola
Ancaman Pidana Untuk Delik Dolus dan Delik Culpa.
Pola umum ancaman untuk delik dolus dan culpa menurut
KUHPsebagai-berikut :
Untuk
perbuatan dengan culpa, diancam dengan pidana kurunganmaksimum 1-3
bulan atau denda;
untuk yang
menimbulkan akibat ancaman maksimum pidanauntuk delik dolus bervariasi, yaitu
delik dolus yang diancampenjara 7-20 tahun. Sedang untuk
delik culpa ada yangdiancam penjara 4 bulan sampai dengan 1
tahun 4 bulan danada juga yang diancam kurungan 3 bulan s.d 1 tahun ataudiancam
dengan denda akibat yang ditimbulkan.
Pola ancaman pidana untuk delik dolus dan
delik culpa menurut Konsep KUHP pada mulanya memakai pola
relatif untukkeseragaman. Untuk pola relatif yang dipakai yaitu perbuatan
denganculpa, maksimum 1/6 (seper enam) dari maksimum delik dolusnya,untuk yang
menimbulkan akibat maksimumnya 1/4 (seper empat) darimaksimum delik dolusnya.
Tapi kemudian disepakti patokan atau polaabsolut sebagai berikut :
Untuk
perbuatannya delik culpa 1 tahun dan untuk dolus y
tahun;
Untuk yang
menimbulkan akibat bahaya umum culpanya 2 tahun,sedang untuk dolusnya (y + 2)
tahun;
Untuk yang
mengakibatkan bahaya kesehatan berat/nyawaculpanya 3 tahun sedangkan dolusnya
(y + 3) tahun;
Untuk yang
berakibat mati culpanya 5 tahun sedang dolusnya(y+5) tahun.
h. Pola
Perumusan Pidana
Jenis pidana yang pada umumnya diancamkan
dalamperumusan delik menurut pola KUHP ialah pidana pokok, denganmenggunakan 9
(sembilan) bentuk perumusan, yaitu:
diancam
pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama waktu tertentu;
diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu;
diancam
dengan pidana penjara (tertentu);
diancam
dengan pidana penjara atau kurungan;
diancam
dengan pidana penjara atau kurungan atau denda;diancam dengan pidana penjara
atau denda;
diancam
pidana kurungan;
diancam
dengan pidana kurungan atau denda;
diancam
dengan pidana denda.
Dalam perumusan pidana pokok tersebut terlihat
bahwa KUHP hanya menganut 2 sistem perumusan delik yakni
perumusan tunggal (hanya diancam satu pidana pokok) dan perumusan
alternatif.
Pidana pokok yang dirumuskan secara tunggal, hanya
pidana penjara, kurungan, atau denda.
Tidak ada pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup yang diancam secara tunggal.
Sistem perumusan alternatif dimulai dari delik yang
paling berat sampai yang ringan, sedang untuk pidana tambahan
bersifat fakultatif, namun pada dasarnya untuk dapat
dijatuhkan harus tercantum dalam perumusan delik.
Dalam konsep ditentukan jenis pidana yang
dicantumkan dalam perumusan delik hanya pidana mati, penjara dan denda.
Pidana pokok berupa pidana tutupan, pidana
pengawasan dan pidana kerja sosial tidak dicantumkan.
Bentuk perumusan pidana tidak berbeda dengan KUHP/WvS,
hanya dengan cacatan bahwa di dalam Konsep :
1. Pidana
penjara dan denda, ada yang dirumuskan ancaman minimalnya;
2. Pidana denda
dirumuskan dengan sistem kategori.
Pedoman untuk menerapakan pidana yang dirumuskan
secaratunggal dan secara alternatif yang memberi kemungkinan perumusantunggal
diterapkan secara alternatif dan perumusan secara alternatifditerapkan secara
kumulatif.
Stelsel Pemidanaan
Adalah cara memperhitungkan
ancaman pidana dalam “gabungan tindak pidana”
Penjelasan
(diambil dari Buku Prof. LOEBBY LOQMAN, halaman 116-117)
Stelsel Pokok:
1. Stelsel
Absorpsi (Absorptie Stelsel)
Apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang
masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda-beda jenisnya, maka menurut
sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja yaitu pidana yang terberat
walaupun orang tersebut melaksanakan beberapa delik.
Contoh:
A melakukan tiga jenis delik. Untuk delik I diancam pidana penjara 1 tahun,
untuk delik II diancam pidana penjara 2 tahun dan untuk delik III diancam
pidana penjara 3 tahun. Pidana yang terberat seolah-olah menelan atau
menghisap/menyerap pidana yang ringan-ringan.
2. Stelsel Kumulasi
(Cumulatie Stelsel)
Apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang
diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana
yang diancamkan terhadap tiap-tiap delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya
dijatuhkan
Contoh:
Seperti contoh di atas, terhadap A yang melakukan tiga jenis delik yang
masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri itu, maka menurut stelsel
ini ketiga pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan
semuanya, yaitu 6 tahun (1 tahun ditambah 2 tahun ditambah 3 tahun).
Stelsel Tambahan
(Tussen Stelsel)
·
Stelsel Absorpsi Diperberat (Verscherpte
Absorptie Stelsel)
Apabila seseorang melakukan beberpaa perbuatan yang merupakan ebberapa
jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut
stelsel ini, pada hakekatnya dijatuhkan 1 pidana saja, yaitu pidana yang
terberat. Akan tetapi diperberat dengan menambah sepertiganya.
Contoh:
Pidana yang dijatuhkan terhadap A dalam contoh di atas, menurut stelsel
absorpsi diperberat adalah 3 tahun ditambah 1 tahun (1/3 x 3 tahun) menjadi 4
tahun.
·
Stelsel Kumulasi Terbatas
(Gematigde Cumulatie Stelsel)
Apabila seseorang melakukan beberapa jenis perbuatan yang menimbulkan
beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri,
maka menurut stelsel ini, semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing
delik dijatuhkan semuanya, akan tetapi jumlah pidana itu harus dibataso, yaitu
jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana yang terberat ditambah sepertiga.
Contoh:
Terhadap A dalam contoh di atas mestinya dijatuhi pidana 6 tahun (1 tahun
ditambah 2 tahun ditambah 3 tahun); akan tetapi jumlah lamanya segala pidana
itu dibatasi yaitu tidak boleh lebih dari 4 tahun (3 tahun ditambah 1/3 x 3
tahun).
Residivis
Pengertian Residivis
Residivis atau
pengulangan tindak pidana berasal bahasa prancis
yaitu re dan cado. Re berarti lagi dan cado berarti
jatuh, sehingga secara umum dapat diartikan sebagai melakukan kembali
perbuatan-perbuatan kriminal yang sebelumnya bisa dilakukannya setelah dijatuhi
penghukumannya. Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang
merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri, satu atau lebih perbuatan
yang telah dijatuhkan hukuman oleh hakim.
Penjelasan di
atas dapat dipahami bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu
perbuatan dianggap sebagai pengulangan tindak pidana atau Residivis, yaitu:
1. Pelakunya
adalah orang yang sama.
2. Terulangnya
tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijauhi pidana oleh suatu
keputusan hakim.
3. Si
pelaku sudah pernah menjalani hukuman atau hukuman penjara yang dijatuhkan
terhadapnya.
4. Pengulangan
terjadi dalam waktu tertentu .
Pengertian
Residivis dalam Konsep KUHP
Ada beberapa
pasal yang disebutkan dalam KUHP yang mengatur akibat terjadinya sebuah
tindakan pengulangan (recidive) ada dua kelompok dikategorikan sebagai
kejahatan pengulangan (recidive), yaitu:
2.3.1. Menyebutkan
dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat
tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangannya hanya terbatas
terhadap tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, Pasal 487 dan
Pasal 488 KUHP.
2.3.2. Di
luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386 sampai dengan Pasal 388 KUHP juga
menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi
pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3) KUHP, Pasal 489 ayat (2), Pasal 495
ayat (2) dan Pasal 512 ayat (3).
Mengingat
pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam pemberian atau menjatuhkan
pidana dimuat dalam konsep rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
di samping itu juga adanya perkembangan pemikiran mengenai teori
pemidanaan mengakibatkan tujuan pemidanaan yang ideal. Di samping itu dengan
adanya kritik-kritik mengenai dasar pemidanaan yang menyangkut hubungan antara
teori pidana, pelaksanaan dan tujuan yang hendak dicapai serta hasil yang
diperoleh dari penerapan pidana.
Dalam
perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat dibagi menjadi beberapa
golongan. pengulangan tindak pidana menurut ilmu kriminologi, dibagi dalam
penggolongan pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang
dilakukan, yaitu:
2.3.3.
Pelanggaran hukum bukan residivis (mono delinquent/ pelanggaran satu
kali/ first offenders) yaitu yang melakukan hanya satu tindak pidana dan
hanya sekali saja.
2.3.4. Residivis
yang dibagi lagi menjadi:
2.3.4.1.
Penjahat yang takut meliputi pelanggaran hukum yang bukan residivis dan mereka
yang berkali-kali telah dijatuhi pidana umum namun antara masing-masing putusan
pidana jarak waktunya jauh, atau perbuatan pidananya begitu berbeda satu sama
lain sehingga tidak dapat dilakukan ada hubungan kriminalitas atau dengan kata
lain dalam jarak waktu tersebut (misalnya 5 tahun menurut pasal 45 KUHP).
2.3.4.2.
Penjahat kronis adalah golongan pelanggaran hukum yang telah mengalami
penjatuhan pidana yang berlipat ganda dalam waktu singkat di antara
masing-masing putusan pidana.
2.3.4.3.
Penjahat berat adalah mereka yang paling sedikit setelah dijatuhi pidana 2 kali
dan menjalani pidana berbulan-bulan dan lagi mereka yang karena kelakuan anti
sosial sudah merupakan kebiasaan atau sesuatu hal yang menetap bagi mereka.
2.3.4.4.
Penjahat sejak umur muda tipe ini memulai karirnya dalam kejahatan sejak ia
kanak-kanak dan dimulai dengan melakukan kenakalan anak.
Kritikan
tersebut dapat berpengaruh besar terhadap proses pembuatan rancangan KUHP yang
telah rampung pada Tahun 2000 yang lalu dan telah disosialisasikan sejak bulan
Desember Tahun 2000, “Konsep KUHP tersebut telah mengalami beberapa perubahan
mulai dari konsep Tahun 1971/1972, konsep KUHP 1982/1983, konsep KUHP 1993 dan
yang terakhir konsep KUHP Tahun 2000”.
Dari sudut ilmu
pengetahuan hukum pidana, pengulang tindak pidana dibedakan atas 3 jenis,
yaitu:
1. Pengulang
tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara lain:
- Pengertian
yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang melakukan suatu rangkaian
tanpa yang diseiringi suatu penjatuhan pidana/ condemnation.
- Pengertian
yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan yang sejenis
(homolugus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia
mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu misalnya 5 (lima)
tahun terhitung sejak terpidana menjalani sama sekali atau sebagian dari
hukuman yang telah dijatuhkan.
2. Pengulangan
tidak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain:
- Accidentale
recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang dilakukan merupakan
akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya.
- Habituele
recidive yaitu pengulangan tindak pidana yang dilakukan karena si pelaku
memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat
sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya.
3. Selain
kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga dibedakan
atas:
- Recidive
umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/ tindak pidana yang telah
dikenai hukuman, dan kemudian melakukan kejahatan/ tindak pidana dalam bentuk
apapun maka terhadapnya dikenakan pemberatan hukuman.
- Recidive
khusus, yaitu apabila seseorang melakukan perbuatan kejahatan/ tindak pidana
yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/ tindak pidana
yang sama (sejenis) maka kepadanya dapat dikenakan pemberatan hukuman.
Delik Aduan
Untuk memahami apa itu delik aduan,
sebaiknya memahami pengertian dari kata atau peristilahan “delik” itu sendiri.
Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaar feit. Terjemahan lain untuk kata
strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana,
perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana. “secara harafiah perkataan
strafbaarfeit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan
yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan
kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai
pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan”. Dengan pemakaian kata
peristiwa pidana, maka hal itu tegas menunjukkan adanya unsur kelakuan dan atau
tindakan, berbuat atau lalai berbuat. Tidak hanya perbuatan yang dapat terlihat
secara langsung, tetapi juga perbuatan yang tidak secara langsung (seperti :
menyuruh, menggerakkan dan membantu) adalah juga dapat dimasukkan sebagai suatu
kelakuan. Secara umum, pengertian delik, baik dalam lapangan Hukum Pidana maupun
Hukum Perdata, dapat didefinisikan sebagai perbuatan seseorang terhadap siapa
sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatannya itu diancamkan.
Delik aduan (klacht delict) adalah
delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang yang merasa
dirugikan. Delik aduan sifatnya pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu
harus ada aduan dari pihak yang dirugikan. Selain itu, yang dimaksud dengan
delik aduan/klach delict merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan
penuntutan. Ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung
persetujuan dari yang dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh
undang-undang. Delik ini membicarakan mengenai kepentingan korban. Pada delik
aduan, jaksa hanya akan melakukan penuntutan apabila telah ada pengaduan dari
orang yang menderita, dirugikan oleh kejahatan tersebut. Pengaturan delik aduan
tidak terdapat dalam Buku ke I KUHP, tetapi dijumpai secara tersebar di dalam
Buku ke II. Tiap-tiap delik yang oleh pembuat undang-undang dijadikan delik
aduan, menyatakan hal itu secara tersendiri, dan dalam ketentuan yang dimaksud
sekaligus juga ditunjukan siapa-siapa yang berhak mengajukan pengaduan
tersebut.
Menurut para ahli, delik aduan dapat
diartikan sebagai berikut:
a. Menurut
Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang diadili
apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan mengadukannya. Bila tidak ada
pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.
b. Menurut
R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang
hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa
pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan.
c. Menurut
P. A. F Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat dituntut apabila ada
pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut Klacht
Delicten.
Menurut pendapat para sarjana
diatas, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya
suatu delik aduan, maka disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim
dimiliki oleh tiap delik, delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan
dari si korban atau pihak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si
pelaku. Delik aduan (Klacht Delicten) ini adalah merupakan suatu
delik, umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya
pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan sepanjang Penuntut Umum
berpendapat kepentingan umum tidak terganggu dengan dilakukannya penuntutan
atas perkara tersebut.
Jenis-jenis Delik Aduan
Dalam ilmu hukum pidana delik aduan
ini ada dua macam, yaitu:
1. . Delik
Aduan Absolute (Absolute Klacht Delict)
Delik Aduan absolute (absolute
klacht delict)Merupakan suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada
pengaduan dari pihak yang dirugikan. Dan yang diadukan sifatnya hanyalah
perbuatannya saja atau kejahatannya saja. Dalam hal ini bahwa perbuatan dan
orang yang melakukan perbuatan itu dianggap satu kesatuan yang tetap bermuara
pada kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itu delik aduan absolute ini
mempunyai akibat hukum dalam masalah penuntutan tidak boleh dipisah-pisahkan/onsplitbaar.
Kejahatan-kejahatan yang termasuk
dalamjenis delik aduan absolut seperti :
Kejahatan
penghinaan (Pasal 310 s/d 319 KUHP), kecuali penghinaan yang dilakukan oleh
seseoarang terhadap seseorang pejabat pemerintah, yang waktu diadakan penghinaan
tersebut dalam berdinas resmi. Si penghina dapat dituntut oleh jaksa tanpa
menunggu aduan dari pejabat yang dihina.
Kejahatan-kejahatan
susila (Pasal 284, Pasal 287, Pasal 293 dana Pasal 332 KUHP).
Kejahatan
membuka rahasia (Paal 322 KUHP)
Contohnya: A dan B adalah suami
istri. B berzinah dengan C dan D. Dan A hanya mengadukan B telah melakukan
perbuatan perzinahan. Namun, karena tidak dapat dipisahkan/onsplitbaar maka
tidak hanya B saja yang dianggap sebagai pelaku, tetapi setiap orang yang
terlibat suatu perbuatan atau kejahatan yang bersangkutan yaitu C dan D secara
otomatis (sesuai hasil penyelidikan) harus diadukan pula oleh A. Setidaknya
delik perzinahan tidak dapat diajukan hanya terhadap dader/mededader saja,
melainkan harus keduanya dan pihak lain yang terlibat.Adapun macam-macam delik
yang terdapat dalam KUHP yang termasuk dalam Delik Aduan Absolut, sebagai
berikut :? Pasal 284 KUHP, tentang perzinahan.? Pasal 287 KUHP, bersetubuh di
luar perkawinan dengan seorang wanita berumur di bawah lima belas tahun atau
belum waktunya untuk kawin.? Pasal 293-294 KUHP, tentang perbuatan cabul. ?
Pasal 310-319 KUHP (kecuali pasal 316), tentang penghinaan.? Pasal 320-321
KUHP, penghinaan terhadap orang yang telah meninggal dunia.? Pasal 322-323
KUHP, perbuatan membuka rahasia.? Pasal 332 KUHP, melarikan wanita.? Pasal 335
ayat (1) butir 2, tentang pengancaman terhadap kebebasan individu.? Pasal 485
KUHP, tentang delik pers.2. Delik aduan relative (relatieve klacht delict)Yakni
merupakan suatu delik yang awalnya adalah delik biasa, namun karena ada
hubungan istimewa/keluarga yang dekat sekali antara si korban dan si pelaku
atau si pembantu kejahatan itu, maka sifatnya berubah menjadi delik aduan atau
hanya dapat dituntut jika diadukan oleh pihak korban.Dalam delik ini, yang
diadukan hanya orangnya saja sehingga yang dilakukan penuntutan sebatas orang
yang diadukan saja meskipun dalam perkara tersebut terlibat beberapa orang
lain. Dan agar orang lain itu dapat dituntut maka harus ada pengaduan kembali.
Delik Aduan Relative (Relatieve
Klacht Delict)
Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejahatan yang
dilakukan, yang sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi khusus
terhadap hal-hal tertentu, justru diperlukan sebagai delik aduan. Menurut
Pompe, delik aduan relatif adalah delik dimana adanya suatu pengaduan itu
hanyalah merupakan suatu voorwaarde van vervolgbaarheir atau
suatu syarat untuk dapat menuntut pelakunya, yaitu bilamana antara orang yang
bersalah dengan orang yang dirugikan itu terdapat suatu hubungan yang bersifat
khusus. Umumnya delik aduan retalif ini hanya dapat terjadi dalam
kejahatan-kejahatan seperti :
Pencurian
dalam keluarga, dan kajahatan terhadap harta kekayaan yang lain yang sejenis
(Pasal 367 KUHP)
Pemerasan
dan ancaman (Pasal 370 KUHP)
Penggelapan
(Pasal 376 KUHP)
Penipuan
(Pasal 394 KUHP)
Beberapa hal perbedaan antara delik aduan absolut
dengan delik aduan relatif :
Delik
aduan relatif ini penuntutan dapat dipisah-pisahkan, artinya bila ada beberapa
orang yang melakukan kejahatan, tetapi penuntutan dapat dilakukan terhadap
orang yang diingini oleh yang berhak mengajukan pengaduan. Sedangkan pada delik
aduan absolut, bila yang satu dituntut, maka semua pelaku dari kejahatan itu
harus dituntut juga.
Pada
delik aduan absolute, cukup apabila pengadu hanya menyebutkan peristiwanya
saja, sedangkan pada delik aduan relatif, pengadu juga harus menyebutkan orang
yang ia duga telah merugikan dirinya.
Pengaduan
pada delik aduan absolut tidak dapat di pecahkan (onsplitbaar),
sedangkan Pengaduan pada delik aduan relatif dapat dipecahkan (splitbaar).
Delik aduan relative dapat
dipisah-pisahkan/splitsbaar. Contoh : A adalah orang tua. B adalah anaknya. Dan
C adalah keponakannya. B dan C bekerjasama untuk mencuri uang di lemari A.
Dalam perkara ini jika A hanya mengadukan C saja maka hanya C sajalah yang
dituntut, sedangkan B tidak.Dari kasus di atas bisa dilihat bahwa delik aduan
relative ini seolah bisa memilh siapa yang ingin diadukan ke kepolisian. A
karena orang tua dari B, maka ia tidak ingin anaknya yaitu B terkena hukuman
pidana, dia hanya memilih C untuk diadukan, bisa karena dengan pertimbangan C
bukanlah anaknya. Namun jka kita bandingkan dengan contoh kasus pada delik
aduan absolute, dalam kasus perzinahan itu, walau si A hanya kesal dengan salah
satu pelaku perzinahan itu, ia tidak bisa hanya mengadukan orang itu saja,
karena bagaimanapun konsekuensinya, pihak lain yang terlibat juga dianggap
sebagai pelaku.Adapun macam-macam delik yang terdapat dalam KUHP yang termasuk
dalam Delik Aduan Relatif, sebagai berikut :? Pasal 367 ayat (2) KUHP, tentang
pencurian dalam keluarga.? Pasal 370 KUHP, tentang pemerasan dan pengancaman
dalam keluarga.? Pasal 376 KUHP, tentang penggelapan dalam keluarga? Pasal 394
KUHP, tentang penipuan dalam keluarga.? Pasal 411 KUHP, tentang perusakan
barang dalam keluarga.C. Ketentuan Dalam KUHPDalam KUHPidana, mengenai delik
aduan ini diatur dalam pasal 72-75 KUHP. Dan hal-hal yang diatur dalam KUHP ini
adalah, sebaga berikut :1. Mengenai siapa yang berhak melakukan pengaduan
terhadap pihak yang dirugikan/korban yang masih berumur di bawah enam belas
tahun dan belum dewasa.2. Mengenai siapa yang berhak melakukan pengaduan,
apabila pihak yang dirugikan/korban telah meninggal.3. Penentuan waktu dalam
mengajukan delik aduan.4. Bisa atau tidaknya pengaduan ditarik kembali.
1. Pengertian
Perbarengan Tindak Pidana (Concursus atau Samenloop)
Dalam Kamus Hukum, perbarengan juga
disebut Samenloop (Belanda) atau disebut juga dengan Concursus. Secara istilah
yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana
oleh satu orang di mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi
pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya
belum dibatasi oleh suatu keputusan hakim.[1]
Sehubung dengan lebih
dari satu tindakan pidana yang dilakukan oleh satu orang, UTRECHT (1965:197)
mengemukakan tentang 3 (tiga) kemungkinan yang terjadi, yaitu:
a) Terjadi perbarengan,
dalam hal apabila dalam waktu antara dilakukannya dua tindak pidana tidak telah
di tetapkan satu pidana karena tindak pidana yang paling awal di antara kedua
tindak pidana itu. Dalam hal ini, dua atau lebih tindak pidana itu akan
diberkas dan diperiksa dalam satu perkara dan kepada si pembuat akan dijatuhkan
satu pidana, oleh karenanya praktis di sini tidak ada pemberatan pidana, yang
terjadi justru peringanan pidana. Misalnya dua kali pembunuhan (pasal 338)
tidaklah dipidana dua kali yang masing-masing dengan pidana penjara maksimum 15
(lima belas) tahun, tetapi cukup dengan satu pidana penjara dengan maksimum 20
tahun (15 tahun ditambah sepertiganya, pasal 65).
b) Apabila
tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan mempidana pada si pembuat
oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka disini terdapat pengulangan.
Pada pemidanaan si pembuat karena tindak pidana yang kedua ini terjadi
pengulangan, dan disini terdapat pemberatan pidana dengan sepertiganya.
c) Dalam
hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana pada si
pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum pasti, maka
disini tidak terjadi perbarengan maupun pengulangan, melainkan
tiap-tiap tindak pidana itu dijatuhkan sendiri-sendiri sesuai dengan pidana
maksimum masing-masing yang diancamkan pada beberapa tindak pidana tersebut.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
menyatakan adanya perbarengan adalah:
Ada dua atau lebih
tindak pidana;
Bahwa dua atau lebih
tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang;
Bahwa dua atau lebih
tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
Selain keharusan untuk menyidangkan
atau menyelesaikan perkara beberapa tindak pidana (perbarengan) dalam satu
majelis dengan menjatuhkan satu pidana, hal yang terpenting kedua dalam
perbarengan ialah mengenai system penjatuhan pidana. Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel pemidanaan, yaitu:
a) Sistem
Absorbsi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang
merupakan beberapa delik yang masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda,
maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang
terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.
b)
Sistem Kumulasi Murni
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang
merupakan beberapa delik yang diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka
menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap delik-delik yang
dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan.
c) Sistem
Absorbsi Dipertajam
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang
merupakan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana
sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya hanya dapat dijatuhkan 1
(satu) pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini diperberat
dengan menambah 1/3 (sepertiga).
d) Sistem
Kumulasi Diperlunak
Delik yang masing-masing diancam dengan pidana
sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini, semua pidana yang diancamkan
terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya. Akan tetapi, jumlah pidana
itu harus dibatasi, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat
ditambah 1/3 (sepertiga).[3]
2. Bentuk-Bentuk
Perbarengan Tindak Pidana
Gabungan perbuatan yang dapat dihukum mempunyai tiga bentuk, concursus ini
diatur dalam titel VI KUHP , yaitu sebagai berikut:
1) Concursus
idealis (pasal 63 KUHP);
2) Perbuatan
berlanjut (delik berlanjut Pasal 64 KUHP);
3) Concursus
realis (pasal 65 s/d 71 KUHP).
A. Perbarengan
satu perbuatan (Concursus Idealis atau eendaadsche samenloop)
Concursus
Idealis (Eendaadse Samenloop), yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari
satu aturan pidana. System pemberiaan pidana yang dipakai dalam concursus
idealis adalah system absorbs, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang
terberat. Misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku telah
melanggar dua aturan pidana dan dapat di ancam dengan pidana penjara 12 tahun
menurut Pasal 285 (memperkosa), dan pidana dengan penjara 2 tahun 8 bulan
menurut Pasal 281 (melanggar kesusilaan dimuka umum). Dengan sistem
arsorbsi, maka diambil yang terberat, yaitu 12 tahun penjara.[4]
Satu wujud perbuatan (een feit) yang melaggar
lebih dari satu aturan pidana ini diebut juga denganperbarengan peraturan atau gabungan
satu perbuatan. Gabungan satu perbuatan atau concursus
idealis di atur dalam Pasal 63 ayat 1 KUHP yang berbunyi: “jika
suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan
hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; dan jika berbeda, yang dikenakan
yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.
Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang
diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS
ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat.
Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana
pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan
jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP.
Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2)
terkandung adagium lex specialis derogate legi generali (aturan
undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada
seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran kandungan, maka dia dapat diancam
dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun . Namun,
karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang
membunuh anaknya, maka dalam hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. Ibu itu
hanya diancam dengan Pasal 341.
B. Perbuatan
Berlanjut (Voortegezette Handeling)
Perbuatan
berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan
atau pelanggaran), dan perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan syarat atau kriteria
yang dikemukakan oleh MvT (Memorie van Toelichting) sebagai
berikut:
1) Harus
ada keputusan kehendak;
2) Masing-masing
perbuatan harus sejenis;
3) Tenggang
waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.
mengenai perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 yang rumusannya adalah
sebagai berikut:
1) Jika
antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika
berbeda-beda, yang akan diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling
berat.
2) Demikian
pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan bersalah
melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang
dipalsu atau yang dirusak itu.
3) Akan
tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam
pasal-pasal 364, 373, 379, dan 470 ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan
nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari dua ratus lima puluh
rupiah, maka dikenakan aturan pidana tersebut dalam pasal-pasal 362, 372, 378,
dan 406.[5]
Delik berlanjut apabila:
a. Seseorang
melakukan beberapa perbuatan;
b. Perbuatan
itu merupakan kejahatan atau pelanggaran sendiri;
c. Antara
perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai perbuatan berlanjut.
Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absrobsi,
yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda,
maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat.
Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan
mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal
kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasak 364 (pencurian ringan),
Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 407 ayat (1) (perusakan barang ringan),
yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.[6]
C. Perbarengan
Perbuatan (Concursus Realis atau Merdaadse Samenloop)
Yang dimaksud dengan Concursus Realis adalah: ”apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan
masing-masing merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang
berupa kejahatan dan/atau pelanggaran terhadap kejahatan dan/atau pelanggara
mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan akan diadili
sekaligus oleh pengadilan”.[7]
Maka dalam concursus realis terdapat:
a) Seorang
pembuat;
b) Serentetan
tindak pidana yang dilakukan olehnya;
c) Tindak
pidana itu tidak perlu sejenis atau berhubungan satu sama lain;
d) Di
antara tindak pidana itu tidak terdapat keputusan hakim.
Dan sistem pemberatan pidana bagi concursus realis itu sendiri terdiri
beberapa macam, yaitu:
1) Kejahatan
yang diancam dengan hukuman pokok yang sejenis (pasal 65), penjatuhan
pidananya dengan menggunakan sistem absorbsi yang dipertajam, yaitu
dijatuhi satu pidana saja (ayat 1) dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum
pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiganya (ayat
2). Contoh kasusnya, misalkan Firman melakukan tiga kejahatan yang
masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang
berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara.
2) Kejahatan
yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis (pasal 66), penjatuhan
pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi diperlunak, artinya
masing-masing kejahatan itu diterapkan; yakni kepada si pembuatnya dijatuhi
pidana sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dibuatnya tetapi
jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana yang terberat ditambah
sepertiganya (pasal 1). Apabila kejahatan yang satu diancam dengan pidana denda
sedangkan kejahatan yang lain dengan pidana penjara atau kurungan, maka untuk
pidana denda dihitung dari lamanya kurungan pengganti denda (ayat 2). Contoh
kasusnya, misalkan Firman melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam
pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2
tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus
dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan.
3) Concursus
realis berupa pelanggaran, penjatuhan pidananya menggunakan sistem
kumulasi murni, yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun,
jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
4) Concursus
realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 ayat (1) (penganiayaan
terhadap hewan), Pasak 352 (penganiayaan ringan) , Pasal 373 (penggelapan
ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), dan Pasal 482 (penadahan ringan), maka
penjatuhan pidananya berlaku system kumulasi dengan pembatasan
maksimum pidana penjara 8 bulan.
5) Untuk concursus
realis baik kejahatan maupun pelanggaran, yang diadili pada saat yang
berlainan, berlaku Pasal 71 yang berbunyi: ”jika seseorang setelah dijatuhi
pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau
pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu
diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan
aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara diadili pada saat yang
sama.
PENUNTUTAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Hukum merupakan kumpulan kaidah-kaidah dan norma yang berlaku di masyarakat,
yang keberadaannya sengaja dibuat oleh masyarakat dan diakui oleh masyarakat
sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupannya. Tujuannya untuk menciptakan
ketenteraman di masyarakat. Hukum sebagai instrumen dasar yang sangat penting
dalam pembentukan suatu negara, berpengaruh dalam segala segi kehidupan
masyarakat, karena hukum merupakan alat pengendalian sosial, agar tercipta
suasana yang aman, tenteram dan damai. Indonesia sebagai negara yang
berdasarkan hukum, berarti harus mampu menjunjung tinggi hukum sebagai
kekuasaan tertinggi di negeri ini, sebagaimana dimaksud konstitusi kita,
Undang-Undang Dasar RI 1945.
Dalam hal penuntutan menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum
Acara Pidana (KUHAP) ialah tindakan Penuntut Umum (PU) untuk melimpahkan
perkara pidana ke Pengadilan Negeri (PN), yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam UU dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim dalam persidangan. Penuntutan ini di bagi menjadi dua yaitu prapenuntutan
dan penuntutan, Ihwal prapenuntutan memang tidak diatur dalam Bab tersendiri
tapi terdapat di dalam Bab tentang Penyidikan dan Bab Penuntutan (pasal 109 dan
pasal 138 KUHAP). Keberadaan lembaga prapenuntutan bersifat mutlak karena tidak
ada suatu perkara pidana pun sampai ke pengadilan tanpa melalui proses
prapenuntutan sebab dalam hal penyidik telah melakukan penyelidikan suatu
peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan
dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.
Maka dalam hal ini akan di jabarkan hal-hal mengenai penuntutan dari
prapenuntutan dan penuntutan beserta pejabat yang berwenang melakukan
penuntutan, tugas dan wewenang jaksa penuntut umum (PU), menyusun surat dawaan,
syarat surat dakwaan, macam-macam surat dakwaan (tunggal,
kumulatif,alternatife, subsider) hingga melimpahkan berkas perkara ke
pengadilan negeri (PN).
A.PRAPENUNTUTAN
Seperti yang dikemukakan di dalam pendahuluan bahwa ihwal prapenuntutan memang
tidak diatur dalam Bab tersendiri tapi terdapat di dalam Bab tentang Penyidikan
dan Bab Penuntutan (pasal 109 dan pasal 138 KUHAP). Keberadaan lembaga
prapenuntutan bersifat mutlak karena tidak ada suatu perkara pidana pun sampai
ke pengadilan tanpa melalui proses prapenuntutan sebab dalam hal penyidik telah
melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
wajib memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.
Proses berlangsungnya prapenuntutan dilaksanakan baik oleh penyidik maupun
penuntut umum sebagaimana ketentuan pasal 110 ayat (2) KUHAP juncto pasal 138
ayat (1), (2) KUHAP. Antara lain, sebagai berikut: Penuntut umum setelah
menerima pelimpahan berkas perkara wajib memberitahukan lengkap tidaknya berkas
perkara tersebut kepada penyidik. Bila hasil penelitian terhadap berkas perkara
hasil penyidikan penyidik belum lengkap maka penuntut umum mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai petunjuk paling lama 14 (empat belas) hari
terhitung berkas perkara diterima Penuntut Umum. Penyidik yang tidak
rnelaksanakan petunjuk untuk melengkapi berkas perkara maka proses kelengkapan
berkas perkara tersebut menjadi bolak - balik.
Dalam sebuah pelaksanaan prapenuntutan, proses prapenuntutan selain dapat
memacu terhindarinya rekayasa penyidikan juga dapat mempercepat penyelesaian
penyidikan juga menghindari terjadinya arus bolak - balik perkara. Proses
prapenuntutan selain dapat menghilangkan kewenangan penyidikan oleh penuntut
umum dalam perkara tindak pidana umum juga dalam melakukan pemeriksaan tambahan
bilamana penyidik Polri menyatakan telah melaksanakan petunjuk penuntut umum
secara optimal namun penuntut umum tidak dapat melakukan penyidikan tambahan
secara menyeluruh artinya penuntut umum hanya dapat melakukan pemeriksaan
tambahan terhadap saksi - saksi tanpa dapat melakukan pemeriksaan terhadap
tersangka.
Definisi dari Prapenuntutan itu sendiri adalah Pengembalian berkas perkara dari
penuntut umum kepada penyidik karena penuntut umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan tersebut ternyata kurang lengkap disertai petunjuk untuk
melengkapinya. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat
belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara.
Tingkat prapenuntutan, yaitu antara dimulainya Penuntutan dalam arti sempit
(perkara dikirim ke pengadilan) dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
Dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan
adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima
pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik, mempelajari atau meneliti
kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta
memberikan petunjuk guna dilengkapi penyidik untuk dapat menentukan apakah
berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
B.PENUNTUTAN
1.Pengertian
Sebagaimana di ungkapkan pada pendahuluan bahwa penuntutan adalah tindakan
Penuntut Umum (PU) untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri (PN),
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam persidangan. Menurut
pasal 137 KUHAP yang berwenang untuk melakukan penuntutan ialah penuntut umum
(PU).
2.Tugas dan Wewenang Penuntut Umum (PU)
Di
dalam pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Selain
itu, dalam Pasal 1 Undang-Undang Pokok Kejaksaan (UU No. 15 tahun 1961)
menyatakan, kejaksaan RI selanjutnya disebut kejaksaan adalah alat Negara
penegak hokum yang terutama bertugas sebagai Penuntut Umum. Menurut Pasal 14
KUHAP, Penuntut Umum mempunyai wewenang:
a.Menerima
dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik;
b.Mengadakan
prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan
ketentuan pasal 110 ayat 3 dan ayat 4 dengan memberi petunjukdalam rangka
menyempurnakan penyidikan dan penyidik.
c.Memberikan
perpanjangan penahanan, melakukan penahanan lanjutan atau mengubah status
tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d.Membuat
surat dakwan;
e.Melimpahkan perkara kepengadilan;
f.Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah ditentukan;
g.Melakukan penuntutan;
h.Menutup perkara demi kepentingan hokum;
i.Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut undang-undang;
j.Melaksanakan penetapan hakim.
Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, bahwa yang
dimaksud dengan tindakan lain adalah antara lain meneliti identitas tersangka,
barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara
penyidik, penuntut umum dan pengadilan.
Setelah Penuntut Umum hasil penyidikan dari penyidik, ia segera mempelajarinya
dan menelitinya dan dalam waktu 7 hari wajib memberitahuakan kepada penyidik
apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Dalam hal hasil
penyidikan ini ternyata belum lengkap, penuntut umum mengebalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan
untuk melengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik
sudah harus menyampaikan kembali berkas yang perkara kepada penuntut umum
(pasal 138 KUHAP).
Setelah Penuntut Umum menerima kembali hasil penyidikan yang
lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara sudah
memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak diadakan penuntutan.
3.Surat Dakwaan
•Pengertian dan Syarat
Surat Dakwaan adalah sebuah akta yang dibuat oleh penuntut umum
yang berisi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan
kesimpulan dari hasil penyidikan. Surat dakwaan merupakan senjata yang hanya
bisa digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan atas asas oportunitas yang
memberikan hak kepada jaksa penuntut umum sebagai wakil dari negara untuk
melakukan penuntutan kepada terdakwa pelaku tindak pidana. Demi keabsahannya,
maka surat dakwaan harus dibuat dengan sebaik-baiknya sehingga memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a.Syarat Formil
Diantara syarat formil yang harus dipenuhi adalah sebagai
berikut :
1)Diberi tanggal dan ditanda tangani oleh Penuntut Umum;
2)Berisi identitas terdakwa/para terdakwa, meliputi nama
lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa (Pasal 143 ayat 2 huruf a KUHAP).
Identitas tersebut dimaksudkan agar orang yang didakwa dan diperiksa di depan
sidang pengadilan adalah benar-benar terdakwa yang sebenarnya dan bukan orang
lain. Apabila syarat formil ini tidak seluruhnya dipenuhi dapat dibatalkanoleh
hakim (vernietigbaar) dan bukan batal demi hukum karena dinilai tidak jelas
terhadap siapa dakwaan tersebut ditujukan.
b.Syarat Materiil
a)Menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan
Dalam menyusun surat dakwaan, Penguraian unsur mengenai waktu
tindak pidana dilakukan adalah sangat penting karena hal ini berkaitan dengan
hal-hal mengenai azas legalitas, penentuan recidive, alibi, kadaluarsa,
kepastian umur terdakwa atau korban, serta hal-hal yang memberatkan terdakwa.
Begitu juga halnya dengan penguraian tentang tempat terjadinya tindak pidana
dikarenakan berkaitan dengan kompetensi relatif pengadilan, ruang lingkup
berlakunya UU tindak pidana serta unsur yang disyaratkan dalam tindak pidana
tertentu misalnya “di muka umum, di dalam pekarangan tertutup) dan lain-lain.
b)Memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan.
Uraian Harus CermatØ
Dalam penyusunan surat dakwaan, penuntut umum harus bersikap
cermat/ teliti terutama yang berkaitan dengan penerapan peraturan
perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi kekurangan dan atau
kekeliruan yang mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau unsur-unsur dalam
dakwaan tidak berhasil dibuktikan.
Uraian Harus JelasØ
Jelas adalah penuntut umum harus mampu merumuskan unsur-unsur
tindak pidana/ delik yang didakwakan secara jelas dalam arti rumusan
unsur-unsur delik harus dapat dipadukan dan dijelaskan dalam bentuk uraian
fakta perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Dengan kata lain uraian
unsur-unsur delik yang dirumuskan dalam pasal yang didakwakan harus dapat
dijelaskan/ digambarkan dalam bentuk fakta perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa. Sehingga dalam uraian unsur-unsur dakwaan dapat diketahui secara
jelas apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan tersebut
sebagai Pelaku (dader/pleger), pelaku peserta (mede dader/pleger), penggerak
(uitlokker), penyuruh (doen pleger) atau hanya sebagai pembantu
(medeplichting). Apakah unsur yang diuraikan tersebut sebagai tindak pidana
penipuan atau penggelapan atau pencurian dan sebagainya. Dengan perumusan unsur
tindak pidana secara jelas dapat dicegah terjadinya kekaburan dalam surat
dakwaan (obscuur libel). Pendek kata, jelas berarti harus menyebutkan :
a.Unsur tindak pidana yang dilakukan;
b.fakta dari perbuatan materiil yang mendukung setiap unsur
delik;
c.cara perbuatn materiil dilakukan.
Uraian Harus LengkapØ
Lengkap adalah bahwa dalam menyusun surat dakwaan harus
diuraikan unsur-unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam UU secara lengkap
dalam arti tidak boleh ada yang tercecer/ tertinggal tidak tercantum dalam
surat dakwaan. Surat dakwaan harus dibuat sedemikian rupa dimana semua harus
diuraikan, baik unsur tindak pidana yang didakwakan, perbuatan materiil, waktu
dan tempat dimana tindak pidana dilakukan sehingga tidak satupun yang
diperlukan dalam rangka usaha pembuktian di dalam sidang pengadilan yang
ketinggalan.
Sebelum membuat Surat Dakwaan yang perlu diperhatikan tindak pidana yang akan
diajukan ke muka sidang pengadilan ialah pasal yang mengatur tindak pidana
tersebut. Apabila penuntut sudah yakin atas tindak pidana yang akan didakwakan
melanggar pasal terntu dalam KUHP, lalu yang perlu dilakukan oleh Penuntut Umum
adalah membuat matriks tindak pidana tersebut. Matriks adalah kerangka dasar
sebagai sarana mempermudah dalam pembuatan Surat Dakwaan. Matriks disusun
sesuai dengan isi dan maksud pasal 143 KUHAP, karena Surat Dakwaan terancam
batal apabila tidak memenuhi pasal 143 ayat (2) a dan b KUHAP.
•Proses Penyusunan Surat Dakwaan
A.Voeging
Voeging adalah penggabungan berkas perkara dalam melakukan penuntutan dan dapat
dilakukan jika (pasal 141 KUHAP) :
a.Beberapa tindak pidana
b.Beberapa tindak pidana yang dilakukan satu orang atau lebih
c.Belum diperiksa dan akan diperiksa bersama
B.Splitsing
Selain pengganbungan perara PU juga mempunyai ha untuk melakukan penuntutan
dengan jalan memisahan perkara (pasal 142 KUHAP). Splitsing dilakukan dengan
membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi. Hal ini
dilakukan untuk memperkuat dakwaan PU.
•Macam-Macam Surat Dakwaan
1.Dakwaan Tunggal
Dakwaannya hanya satu/tunggal dan tindak pidana yang digunakan
apabila berdasarkan hasil penelitian terhadap materi perkara hanya satu tindak
pidana saja yang dapat didakwakan. Dalam dakwaan ini, terdakwa hanya dikenai
satu perbuatan saja, tanpa diikuti dengan dakwaan-dakwaan lain. Dalam menyusun
surat dakwaan tersebut tidak terdapat kemungkinan-kemungkinan alternatif, atau
kemungkinan untuk merumuskan tindak pidana lain sebagai penggantinya, maupun
kemungkinan untuk mengkumulasikan atau mengkombinasikan tindak pidana dalam
surat dakwaan. Penyusunan surat dakwaan ini dapat dikatakan sederhana, yaitu
sederhana dalam perumusannya dan sederhana pula dalam pembuktian dan penerapan
hukumnya.
2.Dakwaan Alternatif
Dalam bentuk dakwaan demikian, maka dakwaan tersusun dari
beberapa tindak pidana yang didakwakan antara tindak pidana yang satu dengan
tindak pidana yang lain bersifat saling mengecualikan. Dalam dakwaan ini,
terdakwa secara faktual didakwakan lebih dari satu tindak pidana, tetapi pada
hakikatnya ia hanya didakwa satu tindak pidana saja. Biasanya dalam
penulisannya menggunakan kata “atau”. Dasar pertimbangan penggunaan dakwaan
alternatif adalah karena penuntut umum belum yakin benar tentang kualifikasi
atau pasal yang tepat untuk diterapkan pada tindak pidana tersebut, maka untuk
memperkecil peluang lolosnya terdakwa dari dakwaan digunakanlah bentuk dakwaan
alternatif. Biasanya dakwaan demikian, dipergunakan dalam hal antara
kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain
menunjukkan corak/ciri yang sama atau hampir bersamaan, misalnya:pencurian atau
penadahan, penipuan atau penggelapan, pembunuhan atau penganiayaan yang
mengakibatkan mati dan sebagainya. Jaksa menggunakan kata sambung “atau”.
3.Dakwaan Subsidiair
Bentuk dakwaan ini dipergunakan apabila suatu akibat yang
ditimbulkan oleh suatu tindak pidana menyentuh atau menyinggung beberapa
ketentuan pidana. Keadaan demikian dapat menimbulkan keraguan pada penunutut
umum, baik mengenai kualifikasi tindak pidananya maupun mengenai pasal yang
dilanggarnya. Dalam dakwaan ini, terdakwa didakwakan satu tindak pidana saja.
Oleh karena itu, penuntut umum memilih untuk menyusun dakwaan yang berbentuk
subsider, dimana tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok terberat ditempatkan
pada lapisan atas dan tindak pidana yang diancam dengan pidana yang lebih
ringan ditempatkan di bawahnya. Konsekuensi pembuktiannya, jika satu dakwaan
telah terbukti, maka dakwaan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi. Biasanya
menggunakan istilah primer, subsidiair dan seterusnya. Meskipun dalam dakwaan
tersebut terdapat beberapa tindak pidana, tetapi yang dibuktikan hanya salah
satu saja dari tindak pidana yang didakwakan itu.
4.Dakwaan Kumulatif
Bentuk dakwaan ini dipergunakan dalam hal menghadapi seorang
yang melakukan beberapa tindak pidana atau beberapa orang yang melakukan satu
tindak pidana. Dalam dakwaan ini, terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana
sekaligus. Biasanya dakwaan akan disusun menjadi dakwaan satu, dakwaan dua dan
seterusnya. Jadi, dakwaan ini dipergunakan dalam hal terjadinya kumulasi, baik
kumulasi perbuatan maupun kumulasi pelakunya. Jaksa menerapkan dua pasal
sekaligus dengan menerapkan kata sambung “dan”.
5.Dakwaan Campuran/Kombinasi
Bentuk dakwaan ini merupakan gabungan antara bentuk kumulatif
dengan dakwaan alternatif ataupun dakwaan subsidiair. Ada dua perbuatan, jaksa
ragu-ragu mengenai perbuatan tersebut dilakukan. Biasanya dakwaan ini digunakan
dalam perkara narkotika.
4.Pelimpahan Perkara ke Pengadilan Negeri
Pelimpahan perara ke pengadilan diatur dalam pasal 143 UU no.8
th 1981 tentang hukum acara pidana yang berbunyi sebagai berikut :
1)Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan
permintaan agar segera mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
4)Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan
disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan
penyidik, pada saat yang bersamaan. dengan penyampaian surat pelimpahan perkara
tersebut ke pengadilan negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar