Selasa, 04 April 2017

Dilalah Mafhum Al-Mukhalaf


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam menghadapi setiap persoalan yang menyangkut dengan kehidupan manusia perlulah adanya sebuah hukum untuk menyelesaikan persoalan tersebut, dalam ilmu fiqih hampir semua persoalan yang menyangkut dengan kehidupan manusia sudah diatur dengan sedemikian rupa agar terciptanya keseimbangan dalam hidup. Namun hanya ada beberapa orang yang mengetahui dan mau menggunakan hukum syari’at islam dalam kehidupannya, baik dalam sosialisasi atau pun berbisnis. Seiringnya perkembangan zaman yang semakin maju persoalan yang dihadapi pun semakin sedemikian rupa, disini penulis akan menjelaskan tentang Mafhum Mukhalafah yang sering digunakan oleh sebagian para ulama dalam mengatasi setiap persoalan-persoalan yang sering ditemui dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mengetahui bagaimana para ulama dalam menggunakan Mafhum Mukhalafah sebagai hujah, maka disni penulis merangkum sumber yang bersangkutan dengan Mafhum Mukhalafah.

B. Tujuan penulis
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang Mafhum Mukhalafah yang dijadikan sebagai hujah oleh sebagian ulama, dan juga penulis berharap bagi para pembaca tidak hanya cukup puas dengan adanya makalah ini yang menjelaskan tentang mafhum mukhalafah, karna isi dari makalah ini hanyalah sebagian dari apa yang ada didalam buku dan masih banyak lagi buku-buku yang menjelaskan tentang mafhum mukhalafah.

C. Metode Penulisan
Penulisan makalah ini dilakukan dengan cara mencari refrensi dari berbagai sumber, dan dirangkumnya ke dalam bentuk makalah.

BAB II

A. Dilalah Mafhum Al-Mukhalaf
Dilalah mafhum al-mukhalaf ialah menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (manthuq) lantaran tidak adanya suatu batasan (qiyad) yang membatasai berlakunya hukum menurut nashnya. Ada juga pendapat lain yaitu hukum yang berlaku berdasarkan mafhum yang berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq )”. Dengan demikian suatau nash sekaligus dapat menunjukan dua hukum, yaitu: hukum yang ditunjukkan oleh bunyi (manthuq) suatu nash dan hukum yang difahami dari kebalikan nash tersebut. Jika bunyi suatu nash menunjukkan pada hukum halal dengan adanya pembatas (qiyad), maka nash tersebut dapat dipahami sebagai hukum yang mengharamkan, bila qiyad tidak ada. Seperti firman Allah:

ومن لم يستطع منكم طولا ان ينكح المحصنات الؤمنات فمن مامكت ايما نكم من فتياتكم الؤمنات
Artinya: Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak            cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. (QS. An-Nisa: 25)

Bunyi manthuq ayat tersebut menunjukkan adanya kehalalan bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qiyad): orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita yang merdeka. Disamping itu, ayat tersebut dapat dipahami kebalikan (mafhum al-mukhalafah) dari bunyinya, yakni haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya, bila orang tersebut mamou menikah dengan wanita yang merdeka.

Menurut pandangan mahdzhab Hanafi, Mafhum Mukhalafah tidak dapa dimasukkan dalam kategori methodologi penafsiran  nash-nash Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka tidak menggunakan mafhum mukhalafah sebagai methodologi dalam memahami hukum-hukum islam, karna faktor-faktor berikut ini:
1. Nash-nash syara’ telah menunjukka adanya kesalahan (fasad) dengan digunakannya mafhum mukhalafah. Misalnya firman Allah:

انّ عدّة الشّهور عند الله اثنا عشر شهرا فى كتاب الله يوم خلق السّموات والارض منها اربعة حرم.
Artinya: sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah-waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. (QS. At-Tubah: 36)

Jika menggunakan mafhum mukhalafah, maka dapat dipahami bahwa perbuatan zalim itu hanya diharamkan pada masa empat bulan tersebut, dan selain pada empat bulan tersebut perbuatan zalim tidak diharamkan. Padahal perbuatan zalim itu diharamkan sepanjang masa (selama-lamanya).

Dengan kebanyakan nash-nash dalam Al-Qur’an dan Hadits yang bila dipahami dengan menggunakan mafhum mukhalafah, justru bertentangan dengan ketetapan-ketetapan syara’, maka hal tersebut menujukkan bahwa ulsub Al-Qur’an dan Hadits tidak memberikan peluang bagi mafhum mukhalafah untuk memahami hukuk-hukum syara’ dari kedua sumber tersebut. Dengan demikian mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan methode dalam menggali hukum-hukum syara’ dalam Al-Qur’an dan Hadits.
2. Kebanyakan sifat yang membatasi dalam nash Al-Qur’an dan Hadits bukanlah untuk membatasi hukum, akan tetapi sekedar dorongan atau peringatan. Misalnya firman Allah yang berkenaan dengan masalah mahram (wanita yang haram dinikahi)

وامّهات نسائكم وربائبكم الّتى فى حجركم من نسائكم الّتى د خلتم بهنّ فان لم تكونوا د خلتم بهنّ فلا جناح علبكم
Artinya: Dan ibu-ibu istrimu (mertua): anak-anak yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi apabila kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya (QS An-Nisa: 23)

Dalam aya tersebut terdapat dua sifat sebagai berikut:
a. Anak tiri tersebut berada dalam pemeliharaan sang suami
b. Ibu anak tiri tersebut telah dicampuri (disetubuhi) oleh suami

Dan ayat tersebut dapat dipahami, bahwa apabila sifat (qayd) tersebut tidak ada, maka menurut mafhum mukhalafah, suami tersebut halal menikahi anak tirinya. Akan tetapi ternyata dalam Al-Qur’an tidak memberikan kesempatan untuk menggunakan mafhum mukhalafah, bahkan untuk menjelaskan seorang suami menikah dengan anak tirinya.
Sedangkan sifat pertama yang disebutkan dalam ayat diatas tidak mungkin didekati dengan mafhun mukhalafah, yakni apabila anak tiri tersebut tidak ada dalam pemeliharaan suami, maka ia halal diniakhi suami. Hal ini bertentangan dengan ijma’ para ulama selain Ibnu Hazam dan mahdzhab Zahiriyah yang menyatakan sifat yang pertama diatas bukanlah sifat untuk membatasi hukum (qayd), akan tetapi semata-mata bertujuan seorang suami tidak menikahi anak tirinya yang pada umumnya ia pelihara.
3. Menurut jumur ulama bahwa suatu hukum itu pada umumnya mempunyai sebab (‘illat) dan ‘illat tersebut melampuai pada apa yang terkandung didalam suatu nash. Tidak selamanya kebalikan hukum yang mempunyai batasan (qayd) sunyi dari hukum yang dijelaskan dalam nash, sehingga secara otomatis kebalikan hukum tersebut dapat diberlakukan. Terkadang hukum yang tidak disebutkan itu mempunyai ‘illat hukum sendiri, sehingga tidak logis bila secara otomatis diberlakukan kebalikan hukum tersebut dengan menggunakan mafhum mukhalafah.

Demikianlah menurut pandangan madzhab Hanafi dalam menetapkan hukum dari nash Al-Qur’an dan Hadits mereka tidak mau menggunakan mafhum mukhalafah, tapi hanya menggunakan dilalah yang berorientasi pada manthuq atau yang berhubungan dengannya.
Sedangkan madzhab Syafi’i, Maliki dan mayoritas ulama-ulama Hanbali mempunyai pandangan lain, yaitu: bahwa suatu batasan (qayd) yang disebutkan dalam nash Al-Qur’an dan Hadits, tentu mempunyai sebab. Qayyid bila tidak bertujuan untuk sekedar dorongan (targhib) atau peringatan (tarhib) atau tujuan lain, maka tidak diragukan lagi bahwa qayd tersebut berlaku untuk membatasi hukum dalam suatu keadaan yang tidak beralih pada keadaan lain. Mereka (madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali) berhujjah, bahwa mafhum mukhalafah adalah sesuai dengan logika yang benar karna sifat, syarat dan tujuan tersebut akan sia-sia. Jika dalam menyebutkan sifat, syarat dan tujuan tersebut tidak dimaksudkan sebagai dorongan (targhib) atau peringatan (tarhib), atau agar dijauhi (tanfir) maka penyebutan hal tersebut hanyalah untuk membatasi suatu hukum dengan suatu qayyd.
Dalam mempergunakan mafhum mukhalafah, mereka juga berdasarkan pada nash-nash syara’ sebagai berikut:
1. Rasulullah SAW bersabda:

فى السّائمة زكاة
Arinya: bintang yang dikembalakan itu wajib dikeluarkan zakatnya

Hadits tersebut menetapkan atas wajibnya zakat bagi binatang ternak yang digembalakan ditempat umum. Dengan mafhum mukhalafah dapat dipahami bahwa binatang ternak yang tidak digembalakan pada padang gembala yang umum, tidak wajib dizskati sebagai mana yang telah ditetapkan oleh jumhur ulama termasuk didalamnya ulama-ulama Hanafi, kecuali imam Maliki yang menetapkan atas wajibnya zakat bagi binatang ternak yang dipelihara dan dibiayai.

Untuk menggunakan mafhum mukhalafah harus memenuhi dua syarat sebagai berikut:
1. Batasan (qayd) dalam nash itu tidak mempunyai tujuan lain, kecuali untuk membatasi hukum. Jika qayd tersebut mempunyai tujuan lain seperti dorongan (taghrib), memberikan peringatan (tarhib), atau untuk menjauhinya (tanfir), maka tidak dapat digunakan mafhum mukhalafah, sebab sebagaimana firman Allah:

يا ايّها الّذين امنوا لا تأ كلوا الرّبا اضعافا مضاعفة.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda. (QS. Ali Imran: 130)

Mensifati riba dengan berlipat ganda dalam ayat tersebut adalah semata-mata agar orang-orang mukmin menjauhinya (tabfir), karna yang dimaksud riba adalah menambah pada uang (hutang) pokok, sedang melipatgandakan adalah menambah bunga pada setiap tahun (waktu).
2. Tidak ada dalil khusus dalam objek hukum yang dipahami dengan mafhum mukhalafah. Jika ada dalil khusus maka mafhum mukhalafah tersebut tidak dapat digunakan. Seperti firman Allah

يا ايّها الّذ ين امنوا كتب علبكم القصاص فى القتلى الحرّبا لحرّ والعبد با لعبد والانشى بالانش.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang yang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita (QS. Al-Baqarah: 178)

Dengan menggunakan mafhum mukhalafah ayat ini menunjukan bahwa, seorang laki-laki tidak dibunuh (qishash) lantaran membunuh seseorang perempuan. Akan tetapi ada nash dalam Al-Qur’an lain yang menjelaskan bahwa seorang laki-laki dihukum qishash lantaran membunuh seseorang perempuan, berbunyi sebagai berikut:

وكتبنا عليهم فيها انّ النّفس با لنّفس والعين با لعين والانف بالانف والاذن بالاذن والسّنّ بالسّنّ والجروح قصاص.
Artinya: Dan kami telah tetapkan kepada mereka didalamnya (At-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dengan luka (pun) ada qishashnya (QS. Al-Maidah: 45)

Dengan demikian, mafhum mukhalafah tidak dapat digunakan dalam nash diatas.

B. Pembagian Mafhum Mukhalafah
Dalam pembagiannya mafhum mukhalafah dibagi kedalam lima bagian sebagai berikut:
1. Mafhum Al-Laqab
2. Mafhum As-Sifat
3. Mafhum Al-Syarat
4. Mafhum Al-Ghayah
5. Mafhum Al-‘Adad

1. Mafhum Al-Laqab

Mafhum Al-Laqab ialah menyebutkan suatu hukum yang ditentukan (ditakhsis) dengan jenis atau macamnya, sehingga hukum tersebut positif dalam masalah yang terdapat pada nash, dan negatif (manfi) bagi masalah yang tidak disedbutkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

ليّ الواجد ظلم يحلّ عقوبته.
Artinya: Memperlambat pembayaran hutang bagi orang yang telah mampu membayarnya, adalah suatu perbuatan zalim yang halal (boleh) dikenakan sanksi (hukuman).

Hadits tersebut dapat diambil mafhum mukhalafah, bahwa orang yang memperlambat pembayaran hutang karena belum mampu membayarnya, tidak termasuk dalam kategori zalim yang boleh untuk dikenakan sanksi.
Adapun pengertian lain tentang Mafhum Al-Laqab adalah penunjukkan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunnya suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas tidak berlakunya hukum itu untuk orang lain )”.
Umpamanya ucapan,”Muhammad itu adalah Rasul Allah”. Manthuq dari ucapan itu adalah menetapkan kerasulan untuk seseorang yang bernama Muhammad bin Abdullah. Mafhum laqab dari ucapan itu adalah tidak berlakunya kerasulan bagi orang selain Muhammad bin Abdullah. )”
Apabila laqab tersebut berupa lafazh yang tidak memberikan isyarat pada sifat yang tidak membatasi hukum maka para fuqaha telah sepakat bahwa mafhum mukhalafah tidak dapat dipergunakan untuk menentukan hukum dari laqab tersebut. Laqab tersebut tidak mengandung batasan (qayd) yang dapat menetapkan hukum atau meniadakan hukum dengan hilangnya qayd tersebut. Sebab laqab yang tidak mempunyai qayd adalah menjadi objek hukum yang konkrit, sehingga tidak dapat diambil mafhum mukhalafah. Misalnya sabda Rasul yang berbunyi:

في البرّ صدقة
Artinya: Gandum wajib dikeluarkan zakatnya

Hadits tersebut tidak dapat diambil mafhum mukhalafah, bahwa selain gandum tidak wajib dikeluarkan zakatnya.

Jika laqab tersebut memberikan isyarah pada sifat, maka para ulama berbeda pendapat tentang dipergunakannya mafhum mukhalafah sebagai mana dalam contoh-contoh diatas. Laqab dalam hadits tersebut timbul dari suatu sifat, karna pengertian hadits pertama “Seseorang yang telah mempunyai uang untuk membayar hutangnya, bila tidak mau membayarnya, maka berarti ia berbuat aniaya”. Jadi yang dimaksud adalah orang yang hutang, yang disifati (diberi laqab) mampu.
Sebagian ulama madzhab Hanbali berpendapat, bahwa mafhum mukhalafah al-laqab yang timbul dari sifat dapat diambil mafhum mkhalafahnya, karena hal tersebut tidak jauh dari mafhum al-wasfi. Akan tetapi jumhur fuqaha berpendapat bahwa mafhum al-laqab tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya, karena tidak ada sesuatu yang menunjukkan batasan (qayd).

2. Mafhum Al-Wafsi (Mafhum Al-Sifat)

Mafhum al-wafsi ialah menetapkan hukum dalam bunyi (manthuq) suatu nash yang dibatasi (diberi qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafazh, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut, misalnya firman Allah

من لم يستطع منكم طول ان ينكح المصنات المؤ منات فمن ما ملكت ايما نكم من فتيا تكم المؤ منا ت.
Artinya: Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita mereka yang beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki (QS. An-Nisa: 25).

Diperbolehkannya mengawini wanita-wanita budak dalam ayat tersebut adalah dibatasi (diberi qayd) dengan keimanan. Oleh karna itu wanita-wanita budak yang tidak beriman tidak halal untuk dinikahi. Pendapat diatas sangat sesuai dengan pendapat imam Syafi’i dan sebagian imam fiqih yang lainnya, karna mereka berpendapat bahwa wanita-wanita budak tidak halal untuk dinikahi, keculai jika mereka beeriman. Akan tetapi berbeda lagi dengan imam Hanafi, mereka berpendapat bahwa menikahi amah (budak) yang tidak muslimah adalah sah. Berdasarkan firman Allah SWT:
واحلّ لكم ما وراء ذلكم.
Artinya: Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (QS. An-Nisa: 24)

3. Mafhum Al-Syarth

Mafhum Al-Syarth ialah menetapkan kebalikan hukum yang tergantung pada syarat, atau bersamaan dengan syarat jika syarat tersebut tidak terwujud. Misalnya firman Allah:

وان كنّ الات حمل فا نفقوا عليهنّ حتّى يضعن حملهنّ.
Artinya: Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan (QS. Ath-Thalaq: 6).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada istri yang telah dicerai dan tengah menjalani masa ‘iddah itu dibatasi (diberi qayd) jika istri yang telah dicerai tersebut sedang hamil. Dapat diambil mafhum mukhalafahnya, bahwa jika istri yang telah dicerai tersebut tengah hamil, maka mantan suami tersebut tidak wajib memberikan nafkah kepadanya. Dengan mafhum al-syarth, dapat dipahami bahwa mantan suami tersebut tidak wajib memberikan nafkah kepada istri yang telah dicerai dan tengah menjalani masa ‘iddah, kecuali bila istri yang telah dicerai dengan talaq raja’i atau sedang hamil. Tetapi berbeda lagi dengan madzhab imam Hanafi yang tidak menggunakan mafhum mukhalafah sebagai dasar hukum, mereka mewajibkan suami untuk memberikan nafkah kepada istri yang dicerai dan tengah menjalani masa ‘iddah, kecuali jika istri yang dicerai tersebut telah membebaskannya, berdasarkan firman Allah SWT:

لينفق ذوسعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق ممّا اتاه الله.
Artinya: Hendaklah orang-orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya (QS. Ath-thalaq: 7).

4. Mafhum Al-Ghayah

Mafhum Al-Ghayah ialah menetapkan hukum yang berada diluar tujuan nash (ghayah), bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan (ghayah). Misalnya firman Allah SWT

وقا تلوهم حتّى لا نكون فتنة ويكون الدّين لله فان انتهوا فلا عدوان الا على الظا لمين.
Artinya: Dan perngilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim (QS. Al-Baqarah: 193).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa peperangan diperbolehkan karna ada tujuan, yaitu: mencegah timbulnya fitnah dalam agama, sehingga manusia itu bebas memilih agama sesuai dengan yang mereka kehendaki. Jika fitnah dalam agama tersebut sudah tidak ada maka peperangan tidak diperbolehkan lagi.
Para ulama madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali menetapkan hukum syara’ berdasarkan Mafhum Al-Ghayah ini. Akan tetapi madzhab Hanafi dan sebagian fuqaha tidak mau menggunakan Mafhum Al-Ghayah dan mafhum yang lainnya untuk menetapkan hukum syara’.
Mafhum Al-Ghayah ini diterapkan pula dalam undang-undang modern, maupun peraturan-peraturan pemerintahan. Dalam undang-undang dan peraturan-peraturan tersebut banyak ketentuan yang ditetapkan ampai batas akhir atau sampai timbul keadaan sebaliknya, atau sampi akhir bulan tertentu.

5. Mafhum Al-‘Adad

Mafhum Al-‘Adad adalah penetapan kebalikan dari suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi. Sebagai contoh firman Allah:

الزّا نية والزّنى فا جلدوا كلّ واحد منهما ما ئة جلدة.
Artinya: Wanita dan laki-laki yang berzina, maka deralah mereka sebanyak seratus pukulan (QS. An-Nur: 2).

Dalam hukuman ini ditetapkan pukulan seratus kali, tidak boleh lebih atau kurang, kecuali jika tambahan itu karena hukuman terhadap kejahatan yang lain. Begitu juga dalam nash Al-Qur’an telah ditetapkan batasan hukuman qadzaf (orang yang menuduh orang lain yang berzina), adalah dera delapan puluh pukulan, karena batasan itu telah ditetapkan oleh Allah, maka tidak ada yang boleh menambah atau mengurangi.
Larangan ini adalah didasarkan pada mafhum mukhalafah, yakni suatu hukuman telah ditetapkan ukurannya, maka tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Madzhab Hanafi tidak menetapkan hukuman tersebut berdasarkan mafhum mukhalafah, akan tetapi didasarkan pada ketetapan jumlah bilangan hukuman tersebut. Misalnya kafarat zhihar adalah puasa enam puluh hari berturut-turut. Tapi jika tidak mampu, diganti dengan memberi makan enam puluh orang miskin, tidak boleh kurang. Jika kurang berarti ia belum membayar kafarat, apabila lebih, maka kelebihannya tidak dimasukkan dalam kategori kafarat, tapi merupakan shadaqah atau puasa sunat yang diperbolehkan.

C. Berhujah dengan Mafhum Mukhalafah

Para ulama sepakat tentang bolehnya berhujah dengan mafhum sifat, mafhum syarth, mafhum ghayah, dan mafhum ‘adad, diluar lingkungan nash-nash syar’iah. Kecuali mafhum laqab karena dalam bentuk mafhum laqab itu tidak mungkin kita menghasilkan suatu ketentuan hukum kebalikannya, sebab dengan berlakunya suatu ketentuan pada nama tertentu, maka tidak lazim untuk tidak memberlakukannya diluar nama itu.
Tetapi para ulama bereda pendapat mengenai kekuatan hukum yang ditetapkan melalui beberapa bentuk mafhum tersebut dalam kaitannya dengan teks hukum.
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum yang memberi petunjuk tentang hukum atas suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bialangan, mempunyai kekuatan untuk menetapkan suatu hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan tersebut. Begitu pula, nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat, sifat, syarat, atau bilangannya sudah berlalu. Pandangan tersebut dikuatkan dengan argumentasi jumhur ulama:
“ kaitan yang terdapat dalam nash syara’ baik dalam bentuk sifat, syarat, bilangan bukanlah tanpa arti. Tujuannya yaitu untuk menetapkan hukum dalam kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan adanya maksud lain dari kaitan tersebut”. Dalam keadaan demikian memang tidak berlaku mafhum mukhalafah.

2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukkan hukum suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, atau bilangan, maka mempunyai kekuatan hukum terhadap kejadian yang disebutkan sifat, syara’, atau bilangan itu saja secara manthuq. Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat, syarat, atau bilangan, maka tidak dapat diketahui hukumnya dari mafhum mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil lain.

D. Syarat Berhujah dengan Mafhum Mukhalafah

Ulama yang memperbolehkan berhujah dengan mafhum mukhalafah mengemukakan beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujah. Syarat tersebut adalah:
1. Mafhum mukhalafah itu tidak bertentangan dengan dalil manthuq atau mafhum muwafaqah, karena keduannya lebih kuat untuk digunakan dalam istidlal. Bila mafhum mukhalafah berlawanan dengan qiyas jali, maka didahulukan qiyas jali. Tetapi bila berlawanan dengan qiyas khafi, maka mafhum mukhalafah yang didahulukan.
2. Hukum yang tersebut dalam nash tidaklah ditujukkan sekedar merangsang keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu. Contoh firman Allah SWT:

لتأ كلوا منه لحما طر يا.
Artinya: Supaya mereka makan dari padanya daging yang empuk
(QS. An-Nahal: 14).

Qayid yang berupa sifat “daging yang empuk” dalam ayat suruhan makan itu tidaklah berarti tidak boleh memakan daging yang tidak empuk.
3. Hukum yang terdapat dalam nash tidak merupakan jawaban atas pertanyaan yang menyangkut hukum khusus yang berlaku waktu itu. Contohnya firman Allah SWT:

لا تأ كلوا الرّبا أضعفا مضا عفة.
Artinya: Janganlah kamu memakan riba secara berlebihan
(QS. Ali-‘Imran: 130).

Larangan riba dalam ayat ini muncul terhadap suatu bentuk mu’amalah tertentu yang berlaku pada masa jahiliyah, yaitu pinjaman atau utang yang ditangguhkan dengan kewajiban bayaran berlipat ganda. Adanya larangan dengan sifat tertentu tidaklah berarti bahwa riba yang tiak mengandung sifat berlipat ganda dibolehkan hukumnya. Mafhum mukhalafah tidak berlaku dalam menghadapi ayat tersebut.
4. Dalil manthuqnya disebutkan secara terpisah. Seandainya manthuq tidak terpisah dan disebutkan sebagai rangkaian bagi dalil lain, maka tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya. Contoh firman Allah SWT:

ولا تبا شرو هنّ وأنتم عا كفون في المساجد.
Artinya: Janganlah kamu gauli istrimu sedang kamu beri’tikaf dimasjid (QS. Al-baqarah: 187).

Keadaan i’tikaf dimesjid itu hanyalah sekedar rangkaian kelanjutan dari tidak boleh menggauli istri dalam keadaan puasa. Dengan demikian, tidaklah berarti dibolehkan menggauli istri dalam puasa yang dilakukan diluar mesjid. Oleh karna itu, ucapan “i’tikaf dimasjid” itu bukanlah suatu qayid yang berlaku pada ucapan itu mafhum mukhalafah.
5. Manthuq bukanlah dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku. Bila manthuq membicarakan hukuman atas sesuatu yang menurut lazimnya berlaku, maka tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya. Contoh firman Allah:

وربا ئبكم اللاّ تى فى حجوركم من نسا بكم اللاتى دخلتم بهنّ فأن لم تكونوا دخلتم بهنّ.
Artinya: Dan (diharamkan atasmu) anak-anak tiri yang berada dibawah asuhanmu dari istri yang telah kamu gauli (QS. An-Nisa: 23).

Dalam ayat yang melarang mengawini anak tiri itu terdapat dua qayid: pertama, anak tiri itu berada dibawah asuhan suami atau ayah tiri, dan kedua, ibu anak tiri yang dikawini itu telah digauli. Anak tiri itu berada dibawah asuhan sang ayah tiri merupakan sesuatu yang lazim terjadi, sedangkan istri bukanlah suatu yang lazim karena ada saja suami yang tidak pernah menggauli istri sebelum dicerai. Tentang persyaratan telah digauli, memang berlaku mafhum mukhalafah, makasudnya, bila si ibu belum digauli, maka anak tiri tidak haram bagi ayah tiri. Sedangkan persyaratan anak tiri itu berada dalam pemeliharaan ayah tiri tidak merupakan qayid yang berlaku padanya mafhum mukhalafah. Hal ini berarti anak tiri yang ibunya sudah digauli haram dikawini oleh ayah tirinya, baik anak tiri itu berada dibawah pemeliharaan ayah tirinya atau tidak.

Adanya beberapa persyaratan yang dikemukakan golongan ulama merupakan pembatasan dalam penggunaan mafhum mukhalafah sebagai hujah. Persyaratan ini berlaku dikalangan ulama yang memperbolehkan berhujah dengan mafhum mukhalafah.


BAB III
Penutup

A. Kesimpulan
Dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai sumber hukum para ulama berbeda-beda pendapat, ada yang memperbolehkan dan juga tidak memperbolehkannya. Seperti imam Hanafi yang tidak mau sama sekali menggunakan mafhum mukhalafah sebagai sumber hukum, tapi hanya menggunakan dilalah yang berorientasi pada manthuq atau yang berhubungan dengannya. Akan tetapi berbeda lagi dengan madzhab Syafi’i, Maliki dan mayoritas ulama-ulama Hanbali mempunyai pandangan lain tentang menggunakan mafhum mukhalafah sebagai sumber hukum.

B. Saran
Dalam memperbaiki segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini penulis berharap kritik dan saran dari pembaca maupun pendengar sekalian, karna seperti yang sudah dijelaskan bahwa isi dari makalah ini hanyalah sebagian dari apa yang penulis rangkum dari buku, maka dari itu kritik dan saran sangat diperlukan demi memperbaiki setiap kesalahan yang terdapat dalam makalah ini. Dan juga buat pembelajaran bagi penulis agar lebih ditingkatkan lagi kinerjanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar