BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menghadapi setiap persoalan yang menyangkut dengan kehidupan manusia
perlulah adanya sebuah hukum untuk menyelesaikan persoalan tersebut, dalam ilmu
fiqih hampir semua persoalan yang menyangkut dengan kehidupan manusia sudah
diatur dengan sedemikian rupa agar terciptanya keseimbangan dalam hidup. Namun
hanya ada beberapa orang yang mengetahui dan mau menggunakan hukum syari’at
islam dalam kehidupannya, baik dalam sosialisasi atau pun berbisnis. Seiringnya
perkembangan zaman yang semakin maju persoalan yang dihadapi pun semakin
sedemikian rupa, disini penulis akan menjelaskan tentang Mafhum Mukhalafah yang
sering digunakan oleh sebagian para ulama dalam mengatasi setiap
persoalan-persoalan yang sering ditemui dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk
mengetahui bagaimana para ulama dalam menggunakan Mafhum Mukhalafah sebagai
hujah, maka disni penulis merangkum sumber yang bersangkutan dengan Mafhum
Mukhalafah.
B. Tujuan penulis
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang Mafhum Mukhalafah yang
dijadikan sebagai hujah oleh sebagian ulama, dan juga penulis berharap bagi
para pembaca tidak hanya cukup puas dengan adanya makalah ini yang menjelaskan
tentang mafhum mukhalafah, karna isi dari makalah ini hanyalah sebagian dari
apa yang ada didalam buku dan masih banyak lagi buku-buku yang menjelaskan
tentang mafhum mukhalafah.
C. Metode Penulisan
Penulisan makalah ini dilakukan dengan cara mencari refrensi dari berbagai
sumber, dan dirangkumnya ke dalam bentuk makalah.
BAB II
A. Dilalah Mafhum Al-Mukhalaf
Dilalah mafhum al-mukhalaf ialah menetapkan kebalikan dari hukum yang
disebut (manthuq) lantaran tidak adanya suatu batasan (qiyad) yang membatasai
berlakunya hukum menurut nashnya. Ada juga pendapat lain yaitu hukum yang
berlaku berdasarkan mafhum yang berlawanan dengan hukum yang berlaku pada
manthuq )”. Dengan demikian suatau nash sekaligus dapat menunjukan dua hukum,
yaitu: hukum yang ditunjukkan oleh bunyi (manthuq) suatu nash dan hukum yang
difahami dari kebalikan nash tersebut. Jika bunyi suatu nash menunjukkan pada
hukum halal dengan adanya pembatas (qiyad), maka nash tersebut dapat dipahami
sebagai hukum yang mengharamkan, bila qiyad tidak ada. Seperti firman Allah:
ومن لم يستطع منكم طولا ان ينكح المحصنات الؤمنات فمن مامكت ايما نكم من
فتياتكم الؤمنات
Artinya: Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak
cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita
merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak
yang kamu miliki. (QS. An-Nisa: 25)
Bunyi manthuq ayat tersebut menunjukkan adanya kehalalan bagi seorang yang
merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qiyad): orang tersebut tidak mampu
menikah dengan wanita yang merdeka. Disamping itu, ayat tersebut dapat dipahami
kebalikan (mafhum al-mukhalafah) dari bunyinya, yakni haramnya seseorang yang
merdeka menikahi hamba sahaya, bila orang tersebut mamou menikah dengan wanita
yang merdeka.
Menurut pandangan mahdzhab Hanafi, Mafhum Mukhalafah tidak dapa dimasukkan
dalam kategori methodologi penafsiran nash-nash Al-Qur’an dan Hadits.
Bahkan lebih jauh dari itu, mereka tidak menggunakan mafhum mukhalafah sebagai
methodologi dalam memahami hukum-hukum islam, karna faktor-faktor berikut ini:
1. Nash-nash syara’ telah menunjukka adanya kesalahan (fasad) dengan
digunakannya mafhum mukhalafah. Misalnya firman Allah:
انّ عدّة الشّهور عند الله اثنا عشر شهرا فى كتاب الله يوم خلق السّموات
والارض منها اربعة حرم.
Artinya: sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah ialah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah-waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan
haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri
kamu dalam bulan yang empat itu. (QS. At-Tubah: 36)
Jika menggunakan mafhum mukhalafah, maka dapat dipahami bahwa perbuatan
zalim itu hanya diharamkan pada masa empat bulan tersebut, dan selain pada
empat bulan tersebut perbuatan zalim tidak diharamkan. Padahal perbuatan zalim
itu diharamkan sepanjang masa (selama-lamanya).
Dengan kebanyakan nash-nash dalam Al-Qur’an dan Hadits yang bila dipahami
dengan menggunakan mafhum mukhalafah, justru bertentangan dengan
ketetapan-ketetapan syara’, maka hal tersebut menujukkan bahwa ulsub Al-Qur’an
dan Hadits tidak memberikan peluang bagi mafhum mukhalafah untuk memahami
hukuk-hukum syara’ dari kedua sumber tersebut. Dengan demikian mafhum
mukhalafah tidak dapat dijadikan methode dalam menggali hukum-hukum syara’
dalam Al-Qur’an dan Hadits.
2. Kebanyakan sifat yang membatasi dalam nash Al-Qur’an dan Hadits bukanlah
untuk membatasi hukum, akan tetapi sekedar dorongan atau peringatan. Misalnya
firman Allah yang berkenaan dengan masalah mahram (wanita yang haram dinikahi)
وامّهات نسائكم وربائبكم الّتى فى حجركم من نسائكم الّتى د خلتم بهنّ فان لم
تكونوا د خلتم بهنّ فلا جناح علبكم
Artinya: Dan ibu-ibu istrimu (mertua): anak-anak yang dalam pemeliharaanmu
dari istri yang telah kamu campuri, tetapi apabila kamu belum campur dengan
istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya (QS
An-Nisa: 23)
Dalam aya tersebut terdapat dua sifat sebagai berikut:
a. Anak tiri tersebut berada dalam pemeliharaan sang suami
b. Ibu anak tiri tersebut telah dicampuri (disetubuhi) oleh suami
Dan ayat tersebut dapat dipahami, bahwa apabila sifat (qayd) tersebut tidak
ada, maka menurut mafhum mukhalafah, suami tersebut halal menikahi anak
tirinya. Akan tetapi ternyata dalam Al-Qur’an tidak memberikan kesempatan untuk
menggunakan mafhum mukhalafah, bahkan untuk menjelaskan seorang suami menikah
dengan anak tirinya.
Sedangkan sifat pertama yang disebutkan dalam ayat diatas tidak mungkin
didekati dengan mafhun mukhalafah, yakni apabila anak tiri tersebut tidak ada
dalam pemeliharaan suami, maka ia halal diniakhi suami. Hal ini bertentangan
dengan ijma’ para ulama selain Ibnu Hazam dan mahdzhab Zahiriyah yang
menyatakan sifat yang pertama diatas bukanlah sifat untuk membatasi hukum
(qayd), akan tetapi semata-mata bertujuan seorang suami tidak menikahi anak
tirinya yang pada umumnya ia pelihara.
3. Menurut jumur ulama bahwa suatu hukum itu pada umumnya mempunyai sebab
(‘illat) dan ‘illat tersebut melampuai pada apa yang terkandung didalam suatu
nash. Tidak selamanya kebalikan hukum yang mempunyai batasan (qayd) sunyi dari
hukum yang dijelaskan dalam nash, sehingga secara otomatis kebalikan hukum
tersebut dapat diberlakukan. Terkadang hukum yang tidak disebutkan itu
mempunyai ‘illat hukum sendiri, sehingga tidak logis bila secara otomatis
diberlakukan kebalikan hukum tersebut dengan menggunakan mafhum mukhalafah.
Demikianlah menurut pandangan madzhab Hanafi dalam menetapkan hukum dari
nash Al-Qur’an dan Hadits mereka tidak mau menggunakan mafhum mukhalafah, tapi
hanya menggunakan dilalah yang berorientasi pada manthuq atau yang berhubungan
dengannya.
Sedangkan madzhab Syafi’i, Maliki dan mayoritas ulama-ulama Hanbali
mempunyai pandangan lain, yaitu: bahwa suatu batasan (qayd) yang disebutkan
dalam nash Al-Qur’an dan Hadits, tentu mempunyai sebab. Qayyid bila tidak
bertujuan untuk sekedar dorongan (targhib) atau peringatan (tarhib) atau tujuan
lain, maka tidak diragukan lagi bahwa qayd tersebut berlaku untuk membatasi
hukum dalam suatu keadaan yang tidak beralih pada keadaan lain. Mereka (madzhab
Syafi’i, Maliki, dan Hanbali) berhujjah, bahwa mafhum mukhalafah adalah sesuai
dengan logika yang benar karna sifat, syarat dan tujuan tersebut akan sia-sia.
Jika dalam menyebutkan sifat, syarat dan tujuan tersebut tidak dimaksudkan
sebagai dorongan (targhib) atau peringatan (tarhib), atau agar dijauhi (tanfir)
maka penyebutan hal tersebut hanyalah untuk membatasi suatu hukum dengan suatu
qayyd.
Dalam mempergunakan mafhum mukhalafah, mereka juga berdasarkan pada
nash-nash syara’ sebagai berikut:
1. Rasulullah SAW bersabda:
فى السّائمة زكاة
Arinya: bintang yang dikembalakan itu wajib dikeluarkan zakatnya
Hadits tersebut menetapkan atas wajibnya zakat bagi binatang ternak yang
digembalakan ditempat umum. Dengan mafhum mukhalafah dapat dipahami bahwa
binatang ternak yang tidak digembalakan pada padang gembala yang umum, tidak
wajib dizskati sebagai mana yang telah ditetapkan oleh jumhur ulama termasuk
didalamnya ulama-ulama Hanafi, kecuali imam Maliki yang menetapkan atas
wajibnya zakat bagi binatang ternak yang dipelihara dan dibiayai.
Untuk menggunakan mafhum mukhalafah harus memenuhi dua syarat sebagai
berikut:
1. Batasan (qayd) dalam nash itu tidak mempunyai tujuan lain, kecuali untuk
membatasi hukum. Jika qayd tersebut mempunyai tujuan lain seperti dorongan
(taghrib), memberikan peringatan (tarhib), atau untuk menjauhinya (tanfir),
maka tidak dapat digunakan mafhum mukhalafah, sebab sebagaimana firman Allah:
يا ايّها الّذين امنوا لا تأ كلوا الرّبا اضعافا مضاعفة.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda. (QS. Ali Imran: 130)
Mensifati riba dengan berlipat ganda dalam ayat tersebut adalah semata-mata
agar orang-orang mukmin menjauhinya (tabfir), karna yang dimaksud riba adalah
menambah pada uang (hutang) pokok, sedang melipatgandakan adalah menambah bunga
pada setiap tahun (waktu).
2. Tidak ada dalil khusus dalam objek hukum yang dipahami dengan mafhum
mukhalafah. Jika ada dalil khusus maka mafhum mukhalafah tersebut tidak dapat
digunakan. Seperti firman Allah
يا ايّها الّذ ين امنوا كتب علبكم القصاص فى القتلى الحرّبا لحرّ والعبد با
لعبد والانشى بالانش.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang yang
merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita (QS. Al-Baqarah: 178)
Dengan menggunakan mafhum mukhalafah ayat ini menunjukan bahwa, seorang
laki-laki tidak dibunuh (qishash) lantaran membunuh seseorang perempuan. Akan
tetapi ada nash dalam Al-Qur’an lain yang menjelaskan bahwa seorang laki-laki
dihukum qishash lantaran membunuh seseorang perempuan, berbunyi sebagai
berikut:
وكتبنا عليهم فيها انّ النّفس با لنّفس والعين با لعين والانف بالانف والاذن
بالاذن والسّنّ بالسّنّ والجروح قصاص.
Artinya: Dan kami telah tetapkan kepada mereka didalamnya (At-Taurat)
bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dengan luka (pun) ada
qishashnya (QS. Al-Maidah: 45)
Dengan demikian, mafhum mukhalafah tidak dapat digunakan dalam nash diatas.
B. Pembagian Mafhum Mukhalafah
Dalam pembagiannya mafhum mukhalafah dibagi kedalam lima bagian sebagai
berikut:
1. Mafhum Al-Laqab
2. Mafhum As-Sifat
3. Mafhum Al-Syarat
4. Mafhum Al-Ghayah
5. Mafhum Al-‘Adad
1. Mafhum Al-Laqab
Mafhum Al-Laqab ialah menyebutkan suatu hukum yang ditentukan (ditakhsis)
dengan jenis atau macamnya, sehingga hukum tersebut positif dalam masalah yang
terdapat pada nash, dan negatif (manfi) bagi masalah yang tidak disedbutkan.
Misalnya sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
ليّ الواجد ظلم يحلّ عقوبته.
Artinya: Memperlambat pembayaran hutang bagi orang yang telah mampu
membayarnya, adalah suatu perbuatan zalim yang halal (boleh) dikenakan sanksi
(hukuman).
Hadits tersebut dapat diambil mafhum mukhalafah, bahwa orang yang
memperlambat pembayaran hutang karena belum mampu membayarnya, tidak termasuk
dalam kategori zalim yang boleh untuk dikenakan sanksi.
Adapun pengertian lain tentang Mafhum Al-Laqab adalah penunjukkan suatu
lafaz yang menjelaskan berlakunnya suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan
tertentu atas tidak berlakunya hukum itu untuk orang lain )”.
Umpamanya ucapan,”Muhammad itu adalah Rasul Allah”. Manthuq dari ucapan itu
adalah menetapkan kerasulan untuk seseorang yang bernama Muhammad bin Abdullah.
Mafhum laqab dari ucapan itu adalah tidak berlakunya kerasulan bagi orang
selain Muhammad bin Abdullah. )”
Apabila laqab tersebut berupa lafazh yang tidak memberikan isyarat pada
sifat yang tidak membatasi hukum maka para fuqaha telah sepakat bahwa mafhum
mukhalafah tidak dapat dipergunakan untuk menentukan hukum dari laqab tersebut.
Laqab tersebut tidak mengandung batasan (qayd) yang dapat menetapkan hukum atau
meniadakan hukum dengan hilangnya qayd tersebut. Sebab laqab yang tidak
mempunyai qayd adalah menjadi objek hukum yang konkrit, sehingga tidak dapat
diambil mafhum mukhalafah. Misalnya sabda Rasul yang berbunyi:
في البرّ صدقة
Artinya: Gandum wajib dikeluarkan zakatnya
Hadits tersebut tidak dapat diambil mafhum mukhalafah, bahwa selain gandum
tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
Jika laqab tersebut memberikan isyarah pada sifat, maka para ulama berbeda
pendapat tentang dipergunakannya mafhum mukhalafah sebagai mana dalam
contoh-contoh diatas. Laqab dalam hadits tersebut timbul dari suatu sifat,
karna pengertian hadits pertama “Seseorang yang telah mempunyai uang untuk
membayar hutangnya, bila tidak mau membayarnya, maka berarti ia berbuat
aniaya”. Jadi yang dimaksud adalah orang yang hutang, yang disifati (diberi
laqab) mampu.
Sebagian ulama madzhab Hanbali berpendapat, bahwa mafhum mukhalafah al-laqab
yang timbul dari sifat dapat diambil mafhum mkhalafahnya, karena hal tersebut
tidak jauh dari mafhum al-wasfi. Akan tetapi jumhur fuqaha berpendapat bahwa
mafhum al-laqab tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya, karena tidak ada
sesuatu yang menunjukkan batasan (qayd).
2. Mafhum Al-Wafsi (Mafhum Al-Sifat)
Mafhum al-wafsi ialah menetapkan hukum dalam bunyi (manthuq) suatu nash
yang dibatasi (diberi qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafazh, dan jika
sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut, misalnya
firman Allah
من لم يستطع منكم طول ان ينكح المصنات المؤ منات فمن ما ملكت ايما نكم من فتيا
تكم المؤ منا ت.
Artinya: Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita mereka yang beriman, ia boleh mengawini
wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki (QS. An-Nisa: 25).
Diperbolehkannya mengawini wanita-wanita budak dalam ayat tersebut adalah
dibatasi (diberi qayd) dengan keimanan. Oleh karna itu wanita-wanita budak yang
tidak beriman tidak halal untuk dinikahi. Pendapat diatas sangat sesuai dengan
pendapat imam Syafi’i dan sebagian imam fiqih yang lainnya, karna mereka
berpendapat bahwa wanita-wanita budak tidak halal untuk dinikahi, keculai jika
mereka beeriman. Akan tetapi berbeda lagi dengan imam Hanafi, mereka
berpendapat bahwa menikahi amah (budak) yang tidak muslimah adalah sah.
Berdasarkan firman Allah SWT:
واحلّ لكم ما وراء ذلكم.
Artinya: Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (QS. An-Nisa: 24)
3. Mafhum Al-Syarth
Mafhum Al-Syarth ialah menetapkan kebalikan hukum yang tergantung pada
syarat, atau bersamaan dengan syarat jika syarat tersebut tidak terwujud.
Misalnya firman Allah:
وان كنّ الات حمل فا نفقوا عليهنّ حتّى يضعن حملهنّ.
Artinya: Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan (QS.
Ath-Thalaq: 6).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada istri
yang telah dicerai dan tengah menjalani masa ‘iddah itu dibatasi (diberi qayd)
jika istri yang telah dicerai tersebut sedang hamil. Dapat diambil mafhum
mukhalafahnya, bahwa jika istri yang telah dicerai tersebut tengah hamil, maka
mantan suami tersebut tidak wajib memberikan nafkah kepadanya. Dengan mafhum
al-syarth, dapat dipahami bahwa mantan suami tersebut tidak wajib memberikan
nafkah kepada istri yang telah dicerai dan tengah menjalani masa ‘iddah,
kecuali bila istri yang telah dicerai dengan talaq raja’i atau sedang hamil.
Tetapi berbeda lagi dengan madzhab imam Hanafi yang tidak menggunakan mafhum
mukhalafah sebagai dasar hukum, mereka mewajibkan suami untuk memberikan nafkah
kepada istri yang dicerai dan tengah menjalani masa ‘iddah, kecuali jika istri
yang dicerai tersebut telah membebaskannya, berdasarkan firman Allah SWT:
لينفق ذوسعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق ممّا اتاه الله.
Artinya: Hendaklah orang-orang yang mampu memberikan nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya (QS. Ath-thalaq: 7).
4. Mafhum Al-Ghayah
Mafhum Al-Ghayah ialah menetapkan hukum yang berada diluar tujuan nash
(ghayah), bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan (ghayah). Misalnya firman
Allah SWT
وقا تلوهم حتّى لا نكون فتنة ويكون الدّين لله فان انتهوا فلا عدوان الا على
الظا لمين.
Artinya: Dan perngilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari
memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang
yang zalim (QS. Al-Baqarah: 193).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa peperangan diperbolehkan karna ada tujuan,
yaitu: mencegah timbulnya fitnah dalam agama, sehingga manusia itu bebas
memilih agama sesuai dengan yang mereka kehendaki. Jika fitnah dalam agama
tersebut sudah tidak ada maka peperangan tidak diperbolehkan lagi.
Para ulama madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali menetapkan hukum syara’
berdasarkan Mafhum Al-Ghayah ini. Akan tetapi madzhab Hanafi dan sebagian
fuqaha tidak mau menggunakan Mafhum Al-Ghayah dan mafhum yang lainnya untuk
menetapkan hukum syara’.
Mafhum Al-Ghayah ini diterapkan pula dalam undang-undang modern, maupun
peraturan-peraturan pemerintahan. Dalam undang-undang dan peraturan-peraturan
tersebut banyak ketentuan yang ditetapkan ampai batas akhir atau sampai timbul
keadaan sebaliknya, atau sampi akhir bulan tertentu.
5. Mafhum Al-‘Adad
Mafhum Al-‘Adad adalah penetapan kebalikan dari suatu hukum yang dibatasi
dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi. Sebagai contoh
firman Allah:
الزّا نية والزّنى فا جلدوا كلّ واحد منهما ما ئة جلدة.
Artinya: Wanita dan laki-laki yang berzina, maka deralah mereka sebanyak
seratus pukulan (QS. An-Nur: 2).
Dalam hukuman ini ditetapkan pukulan seratus kali, tidak boleh lebih atau
kurang, kecuali jika tambahan itu karena hukuman terhadap kejahatan yang lain.
Begitu juga dalam nash Al-Qur’an telah ditetapkan batasan hukuman qadzaf (orang
yang menuduh orang lain yang berzina), adalah dera delapan puluh pukulan, karena
batasan itu telah ditetapkan oleh Allah, maka tidak ada yang boleh menambah
atau mengurangi.
Larangan ini adalah didasarkan pada mafhum mukhalafah, yakni suatu hukuman
telah ditetapkan ukurannya, maka tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Madzhab Hanafi tidak menetapkan hukuman tersebut berdasarkan mafhum
mukhalafah, akan tetapi didasarkan pada ketetapan jumlah bilangan hukuman
tersebut. Misalnya kafarat zhihar adalah puasa enam puluh hari berturut-turut.
Tapi jika tidak mampu, diganti dengan memberi makan enam puluh orang miskin,
tidak boleh kurang. Jika kurang berarti ia belum membayar kafarat, apabila
lebih, maka kelebihannya tidak dimasukkan dalam kategori kafarat, tapi
merupakan shadaqah atau puasa sunat yang diperbolehkan.
C. Berhujah dengan Mafhum Mukhalafah
Para ulama sepakat tentang bolehnya berhujah dengan mafhum sifat, mafhum
syarth, mafhum ghayah, dan mafhum ‘adad, diluar lingkungan nash-nash syar’iah.
Kecuali mafhum laqab karena dalam bentuk mafhum laqab itu tidak mungkin kita
menghasilkan suatu ketentuan hukum kebalikannya, sebab dengan berlakunya suatu
ketentuan pada nama tertentu, maka tidak lazim untuk tidak memberlakukannya
diluar nama itu.
Tetapi para ulama bereda pendapat mengenai kekuatan hukum yang ditetapkan
melalui beberapa bentuk mafhum tersebut dalam kaitannya dengan teks hukum.
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum yang memberi petunjuk
tentang hukum atas suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat,
bialangan, mempunyai kekuatan untuk menetapkan suatu hukum atas kejadian yang
memiliki sifat, syarat, bilangan tersebut. Begitu pula, nash hukum tersebut
mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat,
sifat, syarat, atau bilangannya sudah berlalu. Pandangan tersebut dikuatkan dengan
argumentasi jumhur ulama:
“ kaitan yang terdapat dalam nash syara’ baik dalam bentuk sifat, syarat,
bilangan bukanlah tanpa arti. Tujuannya yaitu untuk menetapkan hukum dalam
kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan adanya maksud
lain dari kaitan tersebut”. Dalam keadaan demikian memang tidak berlaku mafhum
mukhalafah.
2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukkan hukum
suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, atau bilangan, maka
mempunyai kekuatan hukum terhadap kejadian yang disebutkan sifat, syara’, atau
bilangan itu saja secara manthuq. Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat,
syarat, atau bilangan, maka tidak dapat diketahui hukumnya dari mafhum
mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil lain.
D. Syarat Berhujah dengan Mafhum Mukhalafah
Ulama yang memperbolehkan berhujah dengan mafhum mukhalafah mengemukakan
beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujah. Syarat
tersebut adalah:
1. Mafhum mukhalafah itu tidak bertentangan dengan dalil manthuq atau
mafhum muwafaqah, karena keduannya lebih kuat untuk digunakan dalam istidlal.
Bila mafhum mukhalafah berlawanan dengan qiyas jali, maka didahulukan qiyas
jali. Tetapi bila berlawanan dengan qiyas khafi, maka mafhum mukhalafah yang
didahulukan.
2. Hukum yang tersebut dalam nash tidaklah ditujukkan sekedar merangsang
keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu. Contoh firman Allah SWT:
لتأ كلوا منه لحما طر يا.
Artinya: Supaya mereka makan dari padanya daging yang empuk
(QS. An-Nahal: 14).
Qayid yang berupa sifat “daging yang empuk” dalam ayat suruhan makan itu
tidaklah berarti tidak boleh memakan daging yang tidak empuk.
3. Hukum yang terdapat dalam nash tidak merupakan jawaban atas pertanyaan
yang menyangkut hukum khusus yang berlaku waktu itu. Contohnya firman Allah
SWT:
لا تأ كلوا الرّبا أضعفا مضا عفة.
Artinya: Janganlah kamu memakan riba secara berlebihan
(QS. Ali-‘Imran: 130).
Larangan riba dalam ayat ini muncul terhadap suatu bentuk mu’amalah
tertentu yang berlaku pada masa jahiliyah, yaitu pinjaman atau utang yang
ditangguhkan dengan kewajiban bayaran berlipat ganda. Adanya larangan dengan
sifat tertentu tidaklah berarti bahwa riba yang tiak mengandung sifat berlipat
ganda dibolehkan hukumnya. Mafhum mukhalafah tidak berlaku dalam menghadapi
ayat tersebut.
4. Dalil manthuqnya disebutkan secara terpisah. Seandainya manthuq tidak
terpisah dan disebutkan sebagai rangkaian bagi dalil lain, maka tidak dapat
diambil mafhum mukhalafahnya. Contoh firman Allah SWT:
ولا تبا شرو هنّ وأنتم عا كفون في المساجد.
Artinya: Janganlah kamu gauli istrimu sedang kamu beri’tikaf dimasjid (QS.
Al-baqarah: 187).
Keadaan i’tikaf dimesjid itu hanyalah sekedar rangkaian kelanjutan dari
tidak boleh menggauli istri dalam keadaan puasa. Dengan demikian, tidaklah
berarti dibolehkan menggauli istri dalam puasa yang dilakukan diluar mesjid.
Oleh karna itu, ucapan “i’tikaf dimasjid” itu bukanlah suatu qayid yang berlaku
pada ucapan itu mafhum mukhalafah.
5. Manthuq bukanlah dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku. Bila manthuq
membicarakan hukuman atas sesuatu yang menurut lazimnya berlaku, maka tidak
dapat diambil mafhum mukhalafahnya. Contoh firman Allah:
وربا ئبكم اللاّ تى فى حجوركم من نسا بكم اللاتى دخلتم بهنّ فأن لم تكونوا
دخلتم بهنّ.
Artinya: Dan (diharamkan atasmu) anak-anak tiri yang berada dibawah
asuhanmu dari istri yang telah kamu gauli (QS. An-Nisa: 23).
Dalam ayat yang melarang mengawini anak tiri itu terdapat dua qayid:
pertama, anak tiri itu berada dibawah asuhan suami atau ayah tiri, dan kedua,
ibu anak tiri yang dikawini itu telah digauli. Anak tiri itu berada dibawah
asuhan sang ayah tiri merupakan sesuatu yang lazim terjadi, sedangkan istri
bukanlah suatu yang lazim karena ada saja suami yang tidak pernah menggauli
istri sebelum dicerai. Tentang persyaratan telah digauli, memang berlaku mafhum
mukhalafah, makasudnya, bila si ibu belum digauli, maka anak tiri tidak haram
bagi ayah tiri. Sedangkan persyaratan anak tiri itu berada dalam pemeliharaan
ayah tiri tidak merupakan qayid yang berlaku padanya mafhum mukhalafah. Hal ini
berarti anak tiri yang ibunya sudah digauli haram dikawini oleh ayah tirinya,
baik anak tiri itu berada dibawah pemeliharaan ayah tirinya atau tidak.
Adanya beberapa persyaratan yang dikemukakan golongan ulama merupakan
pembatasan dalam penggunaan mafhum mukhalafah sebagai hujah. Persyaratan ini
berlaku dikalangan ulama yang memperbolehkan berhujah dengan mafhum mukhalafah.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai sumber hukum para ulama
berbeda-beda pendapat, ada yang memperbolehkan dan juga tidak
memperbolehkannya. Seperti imam Hanafi yang tidak mau sama sekali menggunakan
mafhum mukhalafah sebagai sumber hukum, tapi hanya menggunakan dilalah yang
berorientasi pada manthuq atau yang berhubungan dengannya. Akan tetapi berbeda
lagi dengan madzhab Syafi’i, Maliki dan mayoritas ulama-ulama Hanbali mempunyai
pandangan lain tentang menggunakan mafhum mukhalafah sebagai sumber hukum.
B. Saran
Dalam memperbaiki segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini penulis
berharap kritik dan saran dari pembaca maupun pendengar sekalian, karna seperti
yang sudah dijelaskan bahwa isi dari makalah ini hanyalah sebagian dari apa
yang penulis rangkum dari buku, maka dari itu kritik dan saran sangat
diperlukan demi memperbaiki setiap kesalahan yang terdapat dalam makalah ini.
Dan juga buat pembelajaran bagi penulis agar lebih ditingkatkan lagi
kinerjanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar