Selasa, 04 April 2017

Materi Tentang Maslahah Mursalah

PEMBAHASAN


A .      Pengertian Al – Maslahah Al – Mursalah
            Al-maslahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada ‘illat yang keluar syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut. Kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai hukum syara’ yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfaat dari kemaslahatan tersebut.
            Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya:  Imam Ar-Razi mendefinisikan mashlahah yaitu  perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya. Imam Al-Ghazali  mendefinisikan sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat. Selanjutnya is menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa maksudnya adalah menjaga maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah, maka ia merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah mashlahah.
1.1 Menurut Etimologi
Dari segi bahasa kata al-mashlahah yaitu seperti lafazh al-manfa’at baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah. Bisa juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata al-mashalih. Pengarang kamus lisan al-‘arab manjelaskan dua arti, yaitu al-mashlahah yang berarti al-shalah dan al-mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih. Semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses. Manfaat yang dimaksud oleh hukum syara’(Allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluk-Nya.  Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.
            Dengan kata lain, tahshil al-ibqa. Maksud tahshil adalah penghimpunan kenikmatan secara langsung, sedangkan yang dimaksud al-iqba adalah penjagaan terhadap kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemadharatan dan sebab-sebabny.
1.2  Menurut  Terminologi
Kemaslahahan yang oleh syar’i tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang menunjukan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu bersifat mutlak (umum) karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan dan dalil pembatalan.
Al-mashlahah al-mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqashid as-syari’ah).
Kemaslahahan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahahan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan. Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, karena pendekatan ini akan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa fleksibilitas hukum Islam, hukum Islam akan kaku (rigid) sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.
    
B . Peristilahan Al-mashlahah  al-mursalah Menurut para Ulama  
Peristilahan Al-maslahah al-mursalah
            Dalam kajian usul fiqh, dapat disebut maslahah mursalah (dalam bentuk mufrad) atau masalih mursalah (dalam bentuk jamak). Keduanya lazim digunakan. Menurut penelitian Dr. Muhammad Sa’ad asy-Syanawi, tokoh usuliyyin yang pertama kali memunculkan dan mempopulerkan istilah istislah ini adalah imam al-Haramain al-Juwaini (w.478 H). Al-Ghazali menyebutkan dalam kitabnya al-Mankhul dengan istidlal sahih. Sebagian fuqaha dan usuliyyin menamakannya denagan munasib mursal. Sebagaian ulama menggunakan istilah al-maslahah al-mursalah itu dengan al-munasib al-mursal.
Ada juga yang menggunakan al-istishlah dan ada pula yang menggunakan istilah al-istidlal al-mursal.
Setiap hukum yang didirikan atas dasar mashlahah dapat ditinjau dari tiga segi yaitu :
  Melihat mashlahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan.
  Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf al-munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan.
  Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang  ditunjukkan oleh dalil khusus.
Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang al-mashlahah al mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang didalamnya terdapat tujuan syara’,  
C . Teori mashlahah dalam syariat islam
Dalam bahasa arab mashlahah merupakan sinonim dari kata manfa’at dan lawan kata dari kata kerusakan. Kata manfa’at sendiri selalu di artikan dengan ladzdah (rasa enak) dalam kajian syariat, kata mashlahat dapat di pakai sebagai istilah untuk mengungkapkan pengertian yang khusus meskipun tidak lepas dari arti aslinya.  Sedangkan arti mashlahat adalah menarik manfa’at atau menolak mudharat.
Menurut ‘izz ad-Din bin ‘Abdul Salam mashlahah dan mafsadah sering di maksud dengan baik dan buruk, karena mashlahah itu baik sedangkan mafsidah itu semua buruk membahayakan dan tidak baik untuk manusia.
Dalam bagian lain ‘izz ad-Din mengemukakan bahwa mashlahah itu ada empat macam yaitu kelezatan, sebab-sebab nya, kesenangan dan sarana nya. Sedangakan mafsadah juga ada empat macam, yaitu rasa sakit atau tidak enak, penyebab atau hal-hal yang menyebabkannya, rasa sedih dan penyebabnya atau hal-hal yang menyebabkannya imam al-Razi8 menyatakan bahwa pengertian manfa’at itu tidak perlu di definisikan seperti itu sebab Al Ghozali menjelaskan bahwa menurut asalnya maslahah itu berarti sesuai yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat yang hakikatnya adalah memelihara tujuan syara dalam menetapkan hukum. Yusuf Hamid dalam kitabnya al-maqashid yang dikutip oleh Amir Syarifudin menjelaskan keistimewaan maslahah syari dibandingkan dengan maslahah. Ketiga, maslahah dalam arti syara’ tidak terbatas pada rasa enak dan tidak enak dalam artian fisik jasmani saja tetapi juga enak dan tidak enak dalam artian mental spiritual atau secara rohaniah.
D . Pandangan Para Ahli Hukum Islam Terhadap Maslahah Mursalah
Para ahli hukum islam dalam menghadapi mashlahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum terbagi dua golongan. Golongan pertama mengatakan bahwa pengguna mashlahah mursalah sebagai dalil hukum dalam melaksanakan ijtihad yaitu diperbolehkan dan dapat dipakai sebagai landasan untuk ijtihad, golongan kedua mengatakan penggunaan mashlahah mursalah sebagai dalil hukum dalam ijtihad tidak diperbolehkan.
  Pandangan Ulama Malikiyah
            Suatu mashlahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’ yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyat (primer) maupun hajjiyat (sekunder). (Al – I’tisham, juz 11 : 1229).  
            Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima Maslahah Mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas penerapanya. Untuk menjadikan maslahah mursalah menjadi dalil, ulama Malikiyah dan Hanabilah bertumpu pada;
v  Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah diantaranya, saat sahabat mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak dilakukan pada masa Rosululloh SAW. Alasan yang mendorong mereka tak lain untuk menjaga al-Quran dari kepunahan karna banyak hafidz yang meninggal. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah, “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”(Q.S: Al-hijr).
v  Adanya maslahath berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syari’. Oleh karena itu, wajib menggunakan dalil maslahah karena merupakan sumber hukum pokok yang berdiri sendiri.
v  Seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat, maka orang-orang mualaf akan mengalami kesulitan, Allah berfirman:
Artinya; “Dia tidak sekali-kali menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S: Al Hajj 78).
     Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh imam malik dan hanabilah. Sedangkan dari golongan syafi’I dan hanafi tidak mengagap maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukannya kedalam bab qiyas. Para penolak legalitas maslahah mursalah mendasarkan pendapatnya dengan beberapa alasan:
v  Penerapan maslahah mursalah berpotensi mengurangi kesakralitasan hukum-hukum syariat.
v  Posisi maslahah mursalah berada dalam pertengahan penolakan syara’ dan pengukuhannya pada sebagian yang lain.
v  Penerapan maslahah mursalah akan merusak unitas dan universalitas syariat islam.
Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai metode ishtimbath huukum dengan alasan:
ü  Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
ü  Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
   Menurut Imam al-Ghazali (450-505 H)
مُعَيّن نَصُّ وَلَابِالْاِعْتِبَرِ بِالْبُطَلاَنِ الشَّرْعِ مِنَ لَهُ يَشْهَدْ مَالَمْ
Maslahat yang tidak ditunjukan oleh dalil tertentu dari syara’,
yang membatalkan atau membenarkan.”
Al-Ghazali membagi maslahah menjadi tiga :
Pertama,  maslahah yang dibenarkan oleh syara’. Hal ini dapat dijadikan sebagai hujjah dan implementasinya kembali kepada qiyas.
           Kedua, maslahah yang dibatalkan (tidak dibenarkan oleh syara’). Hal ini tidak dapat dijadikan hujjah.
            Ketiga, maslahah yang tidak ada dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkannya. Hal ini masih diperselisihkan dan disebut dengan maslahah mursalah.
Untuk mempertegas mashlahah dalam katagoru ketiga, Al – Ghazali mengatakan:
           “Setiap maslahah yang kembali untuk memelihara tujuan syara yang diketahui al kitab
(al-Qur’an ), sunnah dan ijma, maslahah itu tidak keluar dari dalil-dalil tersebut. Ia tidak dinamakan qiyas, tetapi dinamakan maslahah mursalah sebab qiyas ada dalilnya tertentu. Adanya maslahah tersebut dikehendaki oleh syara’ diketahui bukan saja dari satu dalil, namun berdasarkan dalil yang cukup banyak yang tidak terhitung, baik dari alquran, sunnah, kondisi dan situasi, serta tanda tanda yang lain, yang karenanya dinamakan maslahah mursalah”.
           Dapat disimpulkan menurut al-Ghazali ialah maslahat yang sejalan dengan tindakan syara’ (mula’imah li-tasarrufat asy-syar’), yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan syara’ (hukum islam), tidak ada dalil tertentu yang menunjukkannya, dan kemaslahatan itu tidak berlawanan dengan al-Qur’an,sunnah, atau ijma’.

           
Pandangan Ulama Al- Tuhvi
            Najm al-Din al-Thufi (675-716 H / 1276-1316 M), sebagaimana dikutip Musthafa Zaid berpendapat bahwa menurut al-Thufi, al-mashlahah al-mursalah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum syara', baik mashlahah itu mendapat dukungan dari syara' maupun tidak. Karenanya ia tidak membagi mashlahah tersebut, sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh di atas.
            Di antara pemikiran at-Thufi yang amat bertentangan dengan arus umum mayoritas ulama ushul fiqh tentang konsepmashlahah bertolak dari hadis Rasulullah yang berbunyi :
Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh (pula) dimudaratkan (orang lain)
Menurutnya, inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalamnash adalah mashlahah bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemashlahatan disyari'atkan dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik oleh nash tertentu maupun oleh makna yang terkandung dalam oleh sejumlah nash. Oleh karena itu, mashlahah menurutnya merupakan dalil yang paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syara'.
            Menurut at-Tufi maslahat tidak berlaku pada bidang ibadah, muqaddarad dan sejenisnya. At-Tufi membangun pendapatnya di atas, atas empat dasar sebagai berikut;
ü  Akal manusia dapat menemukan dan membedakan mana maslahatdan mana mafsadat. Karena akal manusia dapat membedakan mana maslahat danmana yang mafsadat maka;
ü  Maslahat menurut at-Tufi merupakan dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari nass.
ü  Lapangan operasional maslahat, hanya dalam bidang muamalah dan adat, bukan pada bidang ibadah dan muqoddarod.
ü  Maslahat merupakan dalil hukum Islam yang paling kuat, karena itu menurut at-Tufi, maslahat bukan hanya hujjah ketika tidak ada nass dan ijma’ melainkan harus pula didahulukan atas nass dan ijma’ ketika terjadi pertentangan di antara keduanya. Menurut Ahmad Munif Surtmaputra, engutamaan maslahat atas nass dan ijma’ tersebut dilakukan oleh at-Tufi dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan meninggalkan nass, sebagaimana mendahulukan as-Sunnah atas al-Qur’an dengan jalan bayan. Kedudukannya sebagai Sumber Hukum islam  
     Para Jumhur Ulama’ berbeda pendapat mengenai kedudukan Mashalihul Mursalah sebagai sumber hukum.
v  jumhur menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan;
§  bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperlihatkan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syari’at melalui petunjuknya.
§  Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
§  Akan melahirkan perbedaan hukum akibat berbedaan suatu wilayah atau negara.
v  Imam MAlik membolehkan berpegang tuguh kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi’i boleh berpegang kepda Mashalihul Mursalah apabila sesuai dengan dalil Kully atau dalil Juz’y dari syara’.


Pendapat kedua ini berdasarkan:
§  kemashlahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari syar’i (Allah SWT), tentu banyak kemashlahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-beda.
§  Para sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan mashlahat yang tidak ada petunjuknya dari Syar’i, misalnya membuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Qur’an dan sebagainya.
































KESIMPULAN
            Mashlahah berasal dari kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah. Sedangkan Mursalah artinya dengan mutlaqah yaitu terlepas. Dengan demikian, mashlahah  mursalah adalah suatu kemashlahahn yang tidak mempunyai dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Tujuan utama mashlahah mursalah adalah memelihara dari kemudharatan dan menjaga kemanfaatannya.

            Semua pendapat para ulama dan imam – imam perlu kita amati dan kita pahami maksud dari pikiran – pikiran dari umat nabi Muhammad semakin maju zaman hukum pun harus kita kembangkan, walaupun berbeda – beda tetapi maksud dari pemikiran – pemikiran para imam dan ulama tetap sama menegakkan hukum islam yang suci. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar