PEMBAHASAN
A .
Pengertian Al – Maslahah Al –
Mursalah
Al-maslahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang
tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada ketentuan syari’at dan tidak
ada ‘illat yang keluar syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian
tersebut. Kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai hukum syara’ yakni suatu
ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu
manfaat dari kemaslahatan tersebut.
Menurut
istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di
antaranya: Imam Ar-Razi mendefinisikan mashlahah yaitu perbuatan
yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi
memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta
bendanya. Imam Al-Ghazali mendefinisikan
sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak
madarat. Selanjutnya is menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa maksudnya
adalah menjaga maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama, jiwa, akal, nasab,
dan harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur
dari maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada
salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah, maka ia merupakan mafsadat, sedang
mencegahnya adalah mashlahah.
1.1 Menurut Etimologi
Dari segi bahasa kata al-mashlahah yaitu seperti lafazh
al-manfa’at baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu
kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah. Bisa juga dikatakan bahwa al-mashlahah
itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata al-mashalih. Pengarang
kamus lisan al-‘arab manjelaskan dua arti, yaitu al-mashlahah
yang berarti al-shalah dan al-mashlahah yang berarti bentuk
tunggal dari al-mashalih. Semuanya mengandung arti adanya manfaat
baik secara asal maupun melalui suatu proses. Manfaat yang dimaksud oleh
hukum syara’(Allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan
hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluk-Nya. Manfaat itu adalah kenikmatan atau
sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.
Dengan
kata lain, tahshil al-ibqa. Maksud tahshil adalah penghimpunan
kenikmatan secara langsung, sedangkan yang dimaksud al-iqba adalah
penjagaan terhadap kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemadharatan
dan sebab-sebabny.
1.2 Menurut Terminologi
Kemaslahahan yang oleh syar’i
tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang
menunjukan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu bersifat mutlak
(umum) karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan dan dalil pembatalan.
Al-mashlahah
al-mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali
hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun
berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqashid
as-syari’ah).
Kemaslahahan yang menjadi tujuan syara’ bukan
kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab
tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahahan
manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk
kerusakan. Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah
merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain
melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika
dibandingkan dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid
asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan,
maka pendekatan melalui maqashid asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih
fleksibel, karena pendekatan ini akan hukum Islam yang bersifat kontekstual.
Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan
jiwa fleksibilitas hukum Islam, hukum Islam akan kaku (rigid) sekaligus akan
kehilangan nuansa kontekstualnya.
B . Peristilahan Al-mashlahah
al-mursalah Menurut para Ulama
Peristilahan Al-maslahah al-mursalah
Dalam kajian usul fiqh, dapat
disebut maslahah mursalah (dalam
bentuk mufrad) atau masalih mursalah (dalam bentuk jamak). Keduanya lazim
digunakan. Menurut penelitian Dr. Muhammad Sa’ad asy-Syanawi, tokoh usuliyyin
yang pertama kali memunculkan dan mempopulerkan istilah istislah ini adalah
imam al-Haramain al-Juwaini (w.478 H). Al-Ghazali menyebutkan dalam kitabnya
al-Mankhul dengan istidlal sahih. Sebagian fuqaha dan usuliyyin menamakannya
denagan munasib mursal. Sebagaian ulama menggunakan istilah al-maslahah
al-mursalah itu dengan al-munasib al-mursal.
Ada
juga yang menggunakan al-istishlah dan ada pula yang menggunakan istilah al-istidlal
al-mursal.
Setiap
hukum yang didirikan atas dasar mashlahah dapat ditinjau dari tiga segi
yaitu :
Melihat mashlahah yang terdapat pada
kasus yang dipersoalkan.
Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan
syara’ (al-washf al-munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum
agar tercipta suatu kemaslahatan.
Melihat proses penetapan hukum terhadap
suatu maslahah yang ditunjukkan oleh dalil khusus.
Walaupun para ulama berbeda-beda dalam
memandang al-mashlahah al mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap
manfaat yang didalamnya terdapat tujuan syara’,
C . Teori mashlahah dalam syariat
islam
Dalam bahasa arab mashlahah merupakan sinonim dari
kata manfa’at dan lawan kata dari kata kerusakan. Kata manfa’at sendiri selalu
di artikan dengan ladzdah (rasa enak) dalam kajian syariat, kata mashlahat
dapat di pakai sebagai istilah untuk mengungkapkan pengertian yang khusus
meskipun tidak lepas dari arti aslinya. Sedangkan arti mashlahat adalah
menarik manfa’at atau menolak mudharat.
Menurut ‘izz ad-Din bin ‘Abdul Salam mashlahah dan
mafsadah sering di maksud dengan baik dan buruk, karena mashlahah itu baik
sedangkan mafsidah itu semua buruk membahayakan dan tidak baik untuk manusia.
Dalam bagian lain ‘izz ad-Din mengemukakan
bahwa mashlahah itu ada empat macam yaitu kelezatan, sebab-sebab nya,
kesenangan dan sarana nya. Sedangakan mafsadah juga ada empat macam, yaitu rasa
sakit atau tidak enak, penyebab atau hal-hal yang menyebabkannya, rasa sedih
dan penyebabnya atau hal-hal yang menyebabkannya imam al-Razi8 menyatakan
bahwa pengertian manfa’at itu tidak perlu di definisikan seperti itu sebab Al
Ghozali menjelaskan bahwa menurut asalnya maslahah itu berarti
sesuai yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat yang hakikatnya adalah
memelihara tujuan syara dalam menetapkan hukum. Yusuf Hamid dalam kitabnya al-maqashid yang dikutip oleh Amir Syarifudin
menjelaskan keistimewaan maslahah syari dibandingkan dengan maslahah. Ketiga,
maslahah dalam arti syara’ tidak terbatas pada rasa enak dan tidak enak dalam artian
fisik jasmani saja tetapi juga enak dan tidak enak dalam artian mental
spiritual atau secara rohaniah.
D . Pandangan Para Ahli Hukum Islam
Terhadap Maslahah Mursalah
Para ahli hukum islam dalam menghadapi mashlahah
mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum terbagi dua golongan. Golongan
pertama mengatakan bahwa pengguna mashlahah mursalah sebagai dalil hukum dalam
melaksanakan ijtihad yaitu diperbolehkan dan dapat dipakai sebagai
landasan untuk ijtihad, golongan kedua mengatakan penggunaan mashlahah
mursalah sebagai dalil hukum dalam ijtihad tidak diperbolehkan.
Pandangan Ulama Malikiyah
Suatu
mashlahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’
yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyat
(primer) maupun hajjiyat (sekunder). (Al – I’tisham, juz 11 : 1229).
Ulama
Malikiyah dan Hanabilah menerima Maslahah Mursalah sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak
dan luas penerapanya. Untuk menjadikan maslahah mursalah menjadi dalil, ulama
Malikiyah dan Hanabilah bertumpu pada;
v Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah
mursalah diantaranya, saat sahabat mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa
mushaf. Padahal hal ini tidak dilakukan pada masa Rosululloh SAW. Alasan yang
mendorong mereka tak lain untuk menjaga al-Quran dari kepunahan karna banyak hafidz
yang meninggal. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah,
“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan alquran, dan sesungguhnya kami
benar-benar memeliharanya”(Q.S: Al-hijr).
v Adanya maslahath berarti sama dengan merealisasikan maqosid
as-syari’. Oleh karena itu, wajib menggunakan dalil maslahah karena merupakan
sumber hukum pokok yang berdiri sendiri.
v Seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang
jelas mengandung maslahat, maka orang-orang mualaf akan mengalami kesulitan,
Allah berfirman:
Artinya; “Dia tidak sekali-kali menjadikan kamu dalam agama
suatu kesempitan” (Q.S: Al Hajj 78).
Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan
oleh imam malik dan hanabilah. Sedangkan dari golongan syafi’I dan hanafi tidak mengagap maslahah mursalah sebagai sumber
hukum yang berdiri sendiri dan memasukannya kedalam bab qiyas. Para penolak
legalitas maslahah mursalah mendasarkan pendapatnya dengan beberapa alasan:
v Penerapan maslahah mursalah
berpotensi mengurangi kesakralitasan hukum-hukum syariat.
v Posisi maslahah mursalah berada dalam pertengahan penolakan
syara’ dan pengukuhannya pada sebagian yang lain.
v Penerapan maslahah mursalah akan merusak unitas dan
universalitas syariat islam.
Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai metode ishtimbath huukum dengan alasan:
Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai metode ishtimbath huukum dengan alasan:
ü Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa
setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
ü Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi
perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat islam
terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
Menurut Imam al-Ghazali (450-505 H)
مُعَيّن نَصُّ وَلَابِالْاِعْتِبَرِ بِالْبُطَلاَنِ الشَّرْعِ مِنَ لَهُ
يَشْهَدْ مَالَمْ
“Maslahat yang tidak ditunjukan oleh dalil tertentu
dari syara’,
yang membatalkan atau membenarkan.”
Al-Ghazali membagi maslahah menjadi tiga :
Pertama, maslahah yang dibenarkan oleh syara’.
Hal ini dapat dijadikan sebagai hujjah dan implementasinya kembali kepada
qiyas.
Kedua, maslahah yang dibatalkan (tidak dibenarkan oleh syara’). Hal
ini tidak dapat dijadikan hujjah.
Ketiga, maslahah yang tidak ada dalil tertentu yang
membenarkan atau membatalkannya. Hal ini masih diperselisihkan dan disebut
dengan maslahah mursalah.
Untuk mempertegas mashlahah dalam
katagoru ketiga, Al – Ghazali mengatakan:
“Setiap maslahah yang kembali untuk memelihara tujuan syara yang diketahui al
kitab
(al-Qur’an ),
sunnah dan ijma, maslahah itu tidak keluar dari dalil-dalil tersebut. Ia tidak dinamakan qiyas, tetapi
dinamakan maslahah mursalah sebab qiyas ada dalilnya tertentu. Adanya maslahah
tersebut dikehendaki oleh syara’ diketahui bukan saja dari satu dalil, namun
berdasarkan dalil yang cukup banyak yang tidak terhitung, baik dari alquran,
sunnah, kondisi dan situasi, serta tanda tanda yang lain, yang karenanya
dinamakan maslahah mursalah”.
Dapat
disimpulkan menurut al-Ghazali ialah maslahat yang sejalan dengan tindakan
syara’ (mula’imah li-tasarrufat asy-syar’), yang dimaksudkan untuk memelihara
tujuan syara’ (hukum islam), tidak ada dalil tertentu yang menunjukkannya, dan
kemaslahatan itu tidak berlawanan dengan al-Qur’an,sunnah, atau ijma’.
Pandangan Ulama Al- Tuhvi
Najm
al-Din al-Thufi (675-716 H / 1276-1316 M), sebagaimana dikutip Musthafa Zaid
berpendapat bahwa menurut al-Thufi, al-mashlahah al-mursalah merupakan
dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan
hukum syara', baik mashlahah itu mendapat dukungan dari syara' maupun tidak.
Karenanya ia tidak membagi mashlahah tersebut, sebagaimana yang dikemukakan
para ahli ushul fiqh di atas.
Di
antara pemikiran at-Thufi yang amat bertentangan dengan arus umum mayoritas
ulama ushul fiqh tentang konsepmashlahah bertolak dari hadis
Rasulullah yang berbunyi :
Tidak boleh memudaratkan dan tidak
boleh (pula) dimudaratkan (orang lain)
Menurutnya, inti dari seluruh ajaran
Islam yang termuat dalamnash adalah mashlahah bagi
umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemashlahatan disyari'atkan dan
kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik
oleh nash tertentu maupun oleh makna yang terkandung dalam
oleh sejumlah nash. Oleh karena itu, mashlahah menurutnya
merupakan dalil yang paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan
dalam menentukan hukum syara'.
Menurut
at-Tufi maslahat tidak berlaku pada bidang ibadah, muqaddarad dan sejenisnya.
At-Tufi membangun pendapatnya di atas, atas empat dasar sebagai berikut;
ü Akal manusia dapat menemukan dan membedakan mana maslahatdan
mana mafsadat. Karena akal manusia dapat membedakan mana maslahat danmana yang
mafsadat maka;
ü Maslahat menurut at-Tufi merupakan dalil yang berdiri
sendiri, terlepas dari nass.
ü Lapangan operasional maslahat, hanya dalam bidang muamalah
dan adat, bukan pada bidang ibadah dan muqoddarod.
ü Maslahat merupakan dalil hukum Islam yang paling kuat,
karena itu menurut at-Tufi, maslahat bukan hanya hujjah ketika tidak ada nass
dan ijma’ melainkan harus pula didahulukan atas nass dan ijma’ ketika terjadi
pertentangan di antara keduanya. Menurut Ahmad Munif Surtmaputra, engutamaan
maslahat atas nass dan ijma’ tersebut dilakukan oleh at-Tufi dengan jalan
takhsis dan bayan, bukan dengan jalan meninggalkan nass, sebagaimana
mendahulukan as-Sunnah atas al-Qur’an dengan jalan bayan. Kedudukannya
sebagai Sumber Hukum islam
Para Jumhur Ulama’ berbeda pendapat
mengenai kedudukan Mashalihul Mursalah sebagai sumber hukum.
v jumhur menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan;
§
bahwa dengan nash-nash dan qiyas
yang dibenarkan, syariat senantiasa memperlihatkan kemaslahatan umat manusia.
Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syari’at
melalui petunjuknya.
§
Pembinaan hukum islam yang
semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan
hawa nafsu.
§
Akan melahirkan perbedaan hukum
akibat berbedaan suatu wilayah atau negara.
v Imam MAlik membolehkan
berpegang tuguh kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi’i boleh
berpegang kepda Mashalihul Mursalah apabila sesuai dengan dalil Kully atau
dalil Juz’y dari syara’.
Pendapat kedua ini berdasarkan:
§
kemashlahatan manusia selalu
berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika pembinaan hukum dibatasi hanya
pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari syar’i (Allah SWT), tentu
banyak kemashlahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat yang
berbeda-beda.
§
Para sahabat dan tabi’in serta para
mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan mashlahat yang tidak ada
petunjuknya dari Syar’i, misalnya membuat penjara, mencetak uang,
mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Qur’an dan sebagainya.
KESIMPULAN
Mashlahah
berasal dari kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah.
Sedangkan Mursalah artinya dengan mutlaqah yaitu terlepas. Dengan
demikian, mashlahah mursalah adalah
suatu kemashlahahn yang tidak mempunyai dalil, tetapi juga tidak ada
pembatalnya. Tujuan utama mashlahah mursalah adalah memelihara dari
kemudharatan dan menjaga kemanfaatannya.
Semua pendapat para ulama dan imam –
imam perlu kita amati dan kita pahami maksud dari pikiran – pikiran dari umat
nabi Muhammad semakin maju zaman hukum pun harus kita kembangkan, walaupun
berbeda – beda tetapi maksud dari pemikiran – pemikiran para imam dan ulama
tetap sama menegakkan hukum islam yang suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar